Pemilihan penjabat Gubernur Aceh, yang akan memimpin Aceh selama dua setengah tahun, sangat krusial karena kompleksitas permasalahan di Aceh. Aceh butuh figur perekat untuk mencapai kata kemakmuran dan kesejahteraan.
Oleh
MASRIADI SAMBO
·4 menit baca
Masa jabatan Gubernur Aceh Nova Iriansyah tinggal menghitung hari, yaitu 5 Juli 2022. Selanjutnya, Aceh akan dipimpin Penjabat Kepala Daerah hingga Pemilihan Umum 2024. Bukan hanya Nova, sebanyak 101 kepala daerah mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota juga berakhir masa jabatannya tahun ini.
Untuk Aceh, tampaknya ini akan menjadi istimewa, bersama Papua dan Papua Barat. Tiga provinsi ini menjadi daerah bekas konflik dan konflik yang sedang berlangsung.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Aceh kita tahu porak karena perang dan poranda karena tsunami. Karena itu pula, langkah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sangat penting di Aceh. Penting, untuk memperpanjang umur perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI. Situasi kondusif selama 15 tahun terakhir ini harus dipertahankan. Jika pun ada insiden, ibarat kerikil dalam sepatu perdamaian. Bisa dipindah dan dibuang, hingga tidak melukai kaki.
Tito pula yang akan menentukan tiga nama untuk diajukan kepada Presiden Joko Widodo. Satu dari tiga nama itu akan diangkat menjadi Pj Gubernur Aceh lewat keputusan presiden.
Penjabat Gubernur Aceh kali ini bukan penjabat biasa. Rentang waktunya dua tahun lebih hingga pelantikan gubernur terpilih hasil Pemilu 2024. Setidaknya, penjabat gubernur ini akan mengatur tiga kali APBD murni dan dua kali APBD perubahan. Untuk Aceh, dana APBD per tahun lebih dari Rp 16 triliun.
Sayangnya, uang ternyata tak mampu menggaransi Aceh bebas dari angka kemiskinan. Provinsi ini tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera (BPS, 2021). Angka kemiskinan mencapai 15 persen dari total penduduk Aceh yang sebanyak 4,7 juta jiwa.
Belum lagi persoalan pengangguran, minim lapangan kerja, dan rendahnya investasi. Kompleksitas masalah Aceh tentu akan semakin ruwet jika dipimpin oleh penjabat kepala daerah ”bertangan kasar”, tanpa rasa sensitif dan iktikad mengurai benang kusut pembangunan daerah paling ujung Sumatera itu.
Sisi politik, Aceh masih berkutat dengan turunan MOU Helsinki yang belum seluruhnya dituntaskan. Kabar terbaru, Fraksi Gerindra DPR, Ketua MPR Ahmad Muzani, bersama Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian bertemu membahas tanah untuk 3.000 eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam klausul MOU, negara memberikan tanah 2 hektar per mantan kombatan GAM yang hingga kini belum terealisasi (Kompas, 13 April 2022). Poin menarik lainnya, membahas kemungkinan pengibaran bendera Aceh yang masih menjadi polemik hingga kini.
Perdamaian Aceh dan Indonesia di Helsinki pada 2005 sejatinya menjadi titik tolak pembangunan. Konflik panjang menuju perdamaian itu menghancurkan perekonomian, mental, dan trauma mendalam anak bangsa. Ribuan nyawa hilang, ribuan keluarga menjadi yatim dan piatu. Ini tentu menjadi rekam pilu dalam sejarah bangsa yang harus dikenang, agar tidak terulang.
Kompleksitas masalah Aceh tentu akan semakin ruwet jika dipimpin oleh penjabat kepala daerah ”bertangan kasar ”, tanpa rasa sensitif dan iktikad mengurai benang kusut pembangunan daerah paling ujung Sumatera itu.
Langkah Jokowi
Untuk itulah, langkah Presiden Jokowi memilih kepala daerah di Aceh menjadi penting. Jokowi tentu sedikit banyak paham karakter masyarakat Aceh, karena pernah lama menetap di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Figur penjabat kepala daerah ini bukan semata-mata mengacu kepada sindiran populer harus memiliki integritas, kapasitas, dan isitas. Isitas diidentikkan dengan politik transaksional kalangan elite politik negeri. Menempatkan kolega dan kelompok untuk menjadi pejabat daerah dengan barter mahar tertentu yang disebut isi tas (baca-uang).
Jika ini terjadi, kita tidak berkutat dari persoalan klasik yang disebut mahar politik. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dalam riset 2016 menyebutkan, mahar politik untuk gubernur dalam pemilihan kepala daerah langsung sekitar Rp 100 miliar. Jumlah yang sangat fantastis.
Dalam transaksional penentuan penjabat kepala daerah, sinyalemen politik transaksional tetap mengemuka di hadapan publik. Ini penyakit ibarat angin busuk dalam lambung manusia. Bau busuk, tetapi tidak terlihat kasatmata.
Untuk itu, Presiden Jokowi perlu menunjukkan sikap khusus untuk Aceh agar perdamaian bisa langgeng. Menempatkan figur yang kompeten, paham akan seluk- beluk Aceh dan masalah di dalamnya, serta menjadi petarung untuk memperjuangkan kebenaran.
Aceh butuh figur perekat untuk mencapai kata kemakmuran dan kesejahteraan. Setara dengan provinsi lainnya dan keluar dari lubang jarum daerah termiskin. Sosok penjabat gubernur menjadi faktor penting agar kita tidak terjerembab pada masalah klasik, korupsi, dan abai akan kebutuhan mendasar rakyat.
Maka, penting figur penjabat gubernur berintegritas dan berkapasitas. Walau bisa jadi tak punya isitas dalam lobbying untuk menjadi pejabat daerah. Saya menyakini, masih banyak generasi Aceh yang memiliki nurani bersih, untuk membangun daerah ini. Tentu itu semua butuh sentuhan Jokowi. Tangan dingin Jokowi memilih sosok tepat berdampak kepada kemajuan daerah dengan penerapan syariat Islam ini.
Aceh tidak butuh sebatas elite yang menjalankan rutinitas dan menguras anggaran daerah untuk jangka waktu 2 tahun 6 bulan selama menjabat penjabat gubernur. Aceh butuh kejujuran, ketulusan, dan keberanian penjabat gubernur untuk melangkah maju ke depan setara dengan provinsi lainnya di Nusantara.
Masriadi Sambo, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh Aceh; Sekretaris Lembaga Pusat Studi Sosial dan Humaniora (LP2SH) Aceh.