Beberapa persoalan serius akan menjadi pekerjaan besar bagi Achmad Marzuki, Penjabat Gubernur Aceh yang baru ditunjuk. Ini, di antaranya, penanggulangan kemiskinan dan penguatan perdamaian.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Teka teki siapa Penjabat Gubernur Aceh terjawab. Presiden Joko Widodo akhirnya menunjuk Mayor Jenderal (Purn) Achmad Marzuki, mantan Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda. Ini merupakan kedua kalinya Aceh dipimpin oleh mantan militer.
Achmad Marzuki akan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Rabu (6/7/2022), di Banda Aceh. Penentuan penjabat gubernur merupakan hak prerogatif presiden. Penjabat gubernur akan memimpin Aceh selama 2,5 tahun hingga terpilihnya gubernur definitif pada pilkada serentak 2024.
Achmad Marzuki mengisi kursi gubernur Aceh yang ditinggalkan oleh Nova Iriansyah sejak 5 Juli 2022. Publik berharap Penjabat Gubernur Aceh merupakan putra kelahiran Aceh. Penunjukan Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh di luar prediksi publik di Aceh. Selain karena dari kalangan militer, Achmad Marzuki bukan putra kelahiran Aceh.
Meski Achmad masuk dalam bursa calon, publik memprediksi yang akan dipilih satu di antara tiga nama ini, yakni Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar; Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal; dan Direktur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat T Iskandar.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hendra Budian, saat dihubungi, Selasa (5/7/2022), menuturkan, polemik pemilihan calon Penjabat Gubernur Aceh telah usai. Achmad Marzuki sebagai pilihan Presiden harus diterima sebagai sosok yang tepat untuk memimpin Aceh.
Sebelum Presiden memutuskan Achmad Marzuki sebagai penjabat gubernur, perdebatan terjadi di kalangan sipil Aceh. Sebagian menolak kalangan militer jadi Penjabat Gubernur Aceh dan sebagian mendukung siapa pun, termasuk militer. ”Kami sebagai legislatif harus menerima keputusan Presiden. Selanjutnya, legislatif dan Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh bersinergi membangun Aceh,” kata Hendra.
Menurut Hendra, beberapa persoalan serius akan menjadi pekerjaan besar bagi Achmad Marzuki. Ini, antara lain, isu kemiskinan, persoalan narkoba, kekerasan seksual pada anak, dan penguatan perdamaian.
Per September 2021, jumlah penduduk miskin di Aceh 850.000 jiwa atau 15,53 persen, naik dibandingkan dengan September 2020, yakni 833.000 jiwa atau 15,43 persen. Selama setahun, jumlah penduduk miskin di Aceh bertambah 17.000 jiwa.
Achmad Marzuki pernah bertugas di Aceh sebagai Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda pada 2020-2021. Sebelum gempa dan tsunami 2004, Achmad Marzuki juga pernah bertugas di Aceh. Hendra mengatakan, sebagai orang yang pernah bertugas di Aceh, Achmad Marzuki sedikit banyak telah mengetahui persoalan mendasar di Aceh.
Direktur Institut Peradaban Aceh Haekal Afifa menuturkan, sebagai daerah bekas konflik, penguatan perdamaian harus menjadi salah satu agenda penting bagi Penjabat Gubernur Aceh. ”Siapa pun yang menjadi gubernur, penguatan perdamaian harus jadi salah isu penting karena perdamaian untuk memastikan pembangunan Aceh,” katanya.
Menurut aktivis perempuan Aceh, Cut Mutia, latar belakang militer, sipil, atau partai politik sama saja untuk penjabat Gubernur Aceh. Bagi Cut, yang terpenting dia paham persoalan Aceh dan komitmen menjalankan pemerintahan yang bersih.
Cut mengatakan, pada pundak penjabat gubernur, jangan dibebankan pembangunan yang besar. Sebab, dengan masa jabatan 2,5 tahun, tak banyak yang bisa dilakukan. Namun, penjabat gubernur harus mampu menyatukan atau merangkul para pihak di Aceh serta memastikan pilkada 2024 berjalan demokratis, aman, dan jujur.