Fenomena kriminalisasi petani makin meningkat. Petani di wilayah Kumpeh, Jambi, menuntut pengembalian lahan yang diklaim perusahaan sawit.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Masyarakat Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, melakukan aksi duduk di halaman markas Kepolisian Daerah Jambi, Senin (10/4/2023). Warga menuntut keadilan atas lahan mereka yang diduduki sebuah perusahaan kebun sawit. Perihal keabsahan status lahan sebagai milik masyarakat telah ditetapkan Pengadilan Negeri Sengeti, Muaro Jambi.
JAMBI, KOMPAS — Ramadhan kali ini terasa lebih berat bagi masyarakat Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Tak hanya menahan lapar dan haus, para petani juga makin repot karena harus bolak-balik menjalani rangkaian panjang proses hukum di Kota Jambi.
Persoalan konflik agraria menahun di wilayah itu telah menyita waktu, tenaga, materi, dan juga ketenteraman batin masyarakat. ”Sudah terlalu berlarut-larut masalah ini. Kami mohon negara serius menegakkan keadilan,” kata Arlina (45), di sela aksi di depan markas Kepolisian Daerah Jambi, Senin (10/4/2023).
Arlina membawa anak keduanya, Hisbullah (7), turut serta di tengah ratusan warga lainnya. Mereka mengantar Bahusni, suami Arlina, diperiksa di markas polda.
Bahusni dan dua warga lain saat ini berstatus tersangka karena menduduki lahan milik mereka sendiri. Lahan tersebut telah mereka kelola sejak lama, tetapi belakangan digarap perkebunan sawit PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL).
IRMA TAMBUNAN
Masyarakat Desa Sumber Jaya, Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, melakukan aksi duduk di halaman markas Kepolisian Daerah Jambi, Senin (10/4/2023). Warga menuntut keadilan atas lahan mereka yang diduduki sebuah perusahaan kebun sawit. Perihal keabsahan status lahan sebagai milik masyarakat telah ditetapkan Pengadilan Negeri Sengeti, Muaro Jambi.
Bahusni mengatakan, tanah tersebut merupakan milik masyarakat desa. Mereka telah mengelolanya sejak sebelum 1960. Perihal keabsahannya juga telah ditetapkah oleh Pengadilan Negeri Sengeti, Muaro Jambi, pada sidang tahun lalu.
Belum ada
Bahusni lalu menyebut bahwa perusahaan justru belum memiliki hak guna usaha (HGU) di Desa Sumber Jaya. Perusahaan hanya memiliki izin HGU di Desa Teluk Raya, tetapi menggarap lahannya di Desa Sumber Jaya. ”Luasnya 340 hektar lahan di desa kami digarap perusahaan tanpa seizing masyarakat,” ujarnya.
Sebagai bentuk protes, berulang kali masyarakat menduduki kebun itu untuk mengambil alih, tetapi tak berhasil. Malahan, perusahaan melaporkan ketiga warga ke polisi. Warga diduga menggarap kebun yang bukan miliknya. Akibatnya, Bahusni dan kawan-kawan ditetapkan menjadi tersangka doleh penyidik Polda Jambi.
Kuasa Hukum PT FPIL, Hamdani, mengklaim perusahaan itu sudah punya HGU. Namun, sewaktu Kompas minta dirinya menunjukkan bukti legalitas yang dimaksud, ia bilang tidak memiliki. ”Saya tidak pegang suratnya,” ujarnya dalam sambungan telepon.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Christian Tory mengatakan, pihaknya telah menelusuri kasus tersebut dan memastikan seluruh alat bukti dan saksi telah lengkap. Berkas kasusnya akan dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jambi, Selasa (11/4/2023).
Perihal izin HGU yang disebut-sebut belum dimiliki perusahaan, menurut dia sudah ada. Surat yang dimaksud merupakan HGU yang masuk dalam wilayah Desa Teluk Raya.
Namun, ia memperkirakan di masa lalu, kedua desa merupakan satu wilayah. “Kalau alat buktinya belum kuat, tidak mungkin kami siap limpahkan kasusnya ke penuntut umum,” jelasnya.
Jika masyarakat tidak percaya dengan proses hukum yang ditangani aparat penegak hukum, kata Christian, masyarakat bisa mengajukan praperadilan.
Ia pun menyebut aparat bersikap hati-hati menangani kasus tersebut. Ketiga tersangka tidak ditahan hingga kini.
Adapun, izin HGU PT FPIL sempat ditunjukkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal. Izin tersebut sesuai Surat Keterangan Nomor 41/HGU/BPN Tahun 2008.
Kalau alat buktinya belum kuat, tidak mungkin kami siap limpahkan kasusnya ke penuntut umum. (Christian Tory)
Perihal lokasi izin yang hanya mencakup wilayah Teluk Raya, aktivis Perkumpulan Hijau, Fery Irawan, mengatakan, perusahaan wajib melengkapi terlebih dahulu dokumen HGU-nya. Jika HGU tersebut belum mencakup areal lahan yang dipersengketakan, berarti perusahaan mengelolanya secara ilegal.
Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria Jambi, Fransdoddy menyayangkan masih adanya tindakan intimidasi dan kriminalisasi para petani agar mereka berhenti berjuang. KPA mencatat sepanjang 2022 kenaikan angka intimidasi dan kriminalisasi meningkat.
Memasuki 2023, fenomena serupa masih berlanjut, khususnya di wilayah yang menjadi lokasi prioritas penyelesaian konflik agraria. Bahkan, peningkatannya diwarnai tindakan kekerasan.
WALHI
Data Konflik Agraria Sumber: Walhi, 9 Mei 2019
Salah satunya terjadi awal Februari lalu. Aktivis KPA Jambi, Irman, menyebut, oknum petugas perusahaan menganiaya salah seorang petani dengan senjata trisula pada bagian punggungnya. Peristiwa itu telah dilaporkan kepada kepolisian. Akan tetapi, proses hukumnya dinilai berjalan lambat hingga kini.