Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022, Kemauan Politik Kunci Penyelesaian
Sebanyak 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 dan 497 kasus kriminalisasi dialami oleh pejuang hak atas tanah di berbagai wilayah. Upaya penyelesaian konflik agraria ini dipandang belum ada perubahan signifikan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia meningkat sepanjang 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Seluruh pihak, khususnya pemerintah, harus menunjukkan sikap atau kemauan politik yang kuat untuk benar-benar menyelesaikan konflik agraria yang telah mengakar selama puluhan tahun ini.
Meningkatnya kasus konflik agraria terangkum dalam catatan akhir tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diluncurkan di Jakarta, Senin (9/1/2023). Catatan akhir tahun ini menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani hingga berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah sepanjang 2022.
Berdasarkan catatan KPA, 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agrobisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).
Sementara dilihat dari wilayahnya, lima provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar.
Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak.Luas konflik agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 provinsi ini mencapai 1,03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga.Sementara konflik agraria pada 2021 mencakup luas 500.000 hektar.
Selain itu, KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru tanah air. Angka ini bahkan meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyampaikan,KPA melihat belum ada perubahan signifikan dan mendasar yang dilakukan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, dalam penanganan serta penyelesaian konflik agraria. Respons pemerintah juga lemah dan lambat dalam upaya pencegahan sebelum konflik meluas ke permukaan.
Dari tiga tahun terakhir pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo, kami mencatat konflik agraria dari perusahaan pelat merah juga semakin meningkat.
”Dari tiga tahun terakhir pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo, kami mencatat konflik agraria dari perusahaan pelat merah juga semakin meningkat. Dulu, perkebunan swasta memang yang mendominasi, tetapi pelan-pelan perusahaan pelat merah dengan konflik lama yang tak kunjung tuntas kembali meledak ke permukaan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang, dan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RB Agus Widjayanto mengakui, konflik agraria terus terjadi karena sampai sekarang masih terdapat ketimpangan penguasaan tanah.
Agus juga menyebut penyelesaian konflik agraria lebih sulit dibandingkan masalah sengketa. Sebab, dimensi penyelesaian konflik agraria ini sangat luas dan kompleks. Bahkan, dalam satu kasus konflik agraria kerap melibatkan berbagai sektor, mulai dari sosial, politik, hukum, hingga keamanan.
”Biasanya terdapat kekuatan yang besar di balik pihak-pihak yang berkonflik tersebut. Jadi, persentase kasus konflik agraria memang tidak sebesar sengketa, tetapi penanganannya memerlukan waktu yang cukup panjang,” tuturnya.
Agus menekankan bahwa semua konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak seharusnya tetap bisa diselesaikan dengan kerangka regulasi yang sudah ada saat ini. Namun, regulasi ini masih tetap perlu disinkronkan agar ada persepsi yang sama dari kementerian/lembaga dan pihak-pihak terkait lainnya dalam melakukan implementasi di lapangan.
Kemauan politik
Upaya untuk menyelesaikan konflik agraria, menurut Dewi, harus dilakukan dengan terobosan politik dan hukum. Tanpa terobosan ini, masyarakat akan selalu dibenturkan oleh batasan hukum secara normatif sehingga dipaksa melepas hak atas tanah dan wilayahnya.
”Kami melihat kepemimpinan politik presiden untuk menuntaskan agraria BUMN (badan usaha milik negara) masih lemah. Seharusnya, apabila political will (kemauan politik) kuat, seluruh kementerian terkait membuat berita acara keputusan untuk mengeluarkan tanah rakyat dari klaim hak guna usaha negara,” ungkapnya.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Ahmad Sodiki memandang konflik agraria telah terjadi sejak masa kolonial. Jadi, permasalahan utama masih terjadinya konflik agraria ini adalah ketiadaan keadilan sosial bagi masyarakat. Petani dan masyarakat adat pun menjadi pihak yang paling menderita dalam konflik agraria ini.
”Sikap negara dan penjajah ketika datang dahulu itu sama, yakni merendahkan hukum adat. Masyarakat adat selalu berjuang sendiri sejak dahulu dan lawan mereka adalah pengusaha yang didukung negara,” ucap hakim konstitusi periode 2008-2013 ini.
Sodikijuga menegaskan bahwa persoalan konflik agraria baru bisa diselesaikan apabila pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat dalam menjalankan amanat konstitusi, khususnya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18B Ayat 2. Pasal tersebut mengatur agar negara harus mengakui dan menghormati masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya yang dituangkan dalam undang-undang.