Penantian Panjang Masyarakat Adat di Aceh Mengelola Hutan
Kami telah merawat dan menjaga hutan secara turun-temurun. Namun, kami butuh kepastian hukum agar suatu saat hutan yang dikelola tidak dirampas oleh pihak lain.
Oleh
ZULKARNAINI
·6 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Imum Mukim Beungga, Ilyas (memakai peci), menunjukkan kawasan hutan lindung di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, yang akan diusulkan sebagai hutan adat, Selasa (14/2/2023).
Masyarakat hukum adat Mukim Beungga di Kecamatan Tangse, Mukim Paloh, dan Mukim Kunyet di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, masih menanti penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Keputusan terakhir kini ada di tangan Menteri Siti Nurbaya.
Tiba di jalan yang menurun, mobil yang ditumpangi Imum Mukim Beungga, Ilyas (59), berhenti. Ilyas berjalan ke tepi lalu berdiri di tanah yang tinggi dan membuang pandangan ke perbukitan yang hijau. ”Itu hutan yang kami usulkan sebagai hutan adat,” ujar Ilyas, Selasa (14/2/2023), di Desa Beungga, Kecamatan Tangse, Pidie.
Hutan yang ditunjuk Ilyas terlihat masih perawan. Tutupan hutan padat. Hutan itu berada pada lereng yang terjal sehingga tidak cocok dijadikan lahan pertanian. ”Kami perlu menjaga (hutan ini) untuk sumber mata air,” ujar Ilyas.
Mukim merupakan lembaga adat yang terdiri atas beberapa gampong (desa). Pemerintahan mukim merupakan warisan struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda.
Mukim dipimpin oleh seorang imum mukim dibantu perangkat adat, seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.
Ilyas mengatakan, lembaga adat Mukim Beungga telah mengusulkan hutan seluas 10.988 hektar (ha) di wilayahnya sebagai hutan adat. Secara geografis, hutan itu berada dalam enam desa. Status hutan yang diusulkan saat ini masih berupa hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas.
”Secara resmi, kami mengusulkan hutan adat pada 2015, tetapi inisiasi telah dimulai sejak 2007. Kami heran mengapa sampai sekarang belum ditetapkan,” ujar Ilyas.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Imum Mukim Beungga, Ilyas, menjelaskan terkait kawasan hutan lindung di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, yang akan diusulkan sebagai hutan adat, Selasa (14/2/2023).
Hak kelola
Negara telah memberi hak kelola hutan kepada masyarakat melalui lima skema perhutanan sosial, yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Melalui hutan adat, negara memberikan hak kelola hutan sepenuhnya kepada masyarakat adat tanpa batas waktu. Dalam kata lain, hutan adat akan menjadi milik masyarakat adat, tetapi pengelolaan harus sesuai dengan fungsi hutan.
Untuk empat skema lainnya, waktu hak kelola dibatasi, maksimal 30 tahun dengan opsi izin dapat diperpanjang sekali.
Selain Mukim Beungga, dua mukim lain, yakni Mukim Paloh dan Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, juga mengusulkan hutan adat. Mukim Paloh mengusulkan 2.921 ha dan Mukim Kunyet 4.106 ha. Total luas usulan hutan adat di Pidie 18.015 ha.
Usulan tersebut telah disepakati bersama oleh semua kepala desa dan perangkat adat yang berada di bawah pemerintahan mukim melalui surat pernyataan yang ditandatangan bersama ditujukan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Merespon usulan itu, KLHK telah mengeluarkan peta indikatif untuk ketiga usulan itu. ”Tinggal satu langkah lagi, penetapan oleh menteri,” kata Ilyas.
Ditemui secara terpisah, Imum Mukim Paloh, Muhammad Nasir, mempertanyakan mengapa usulan masyarakat adat di Pidie belum dikabulkan, sementara daerah lain sudah.
”Kami telah merawat dan menjaga hutan secara turun-temurun. Namun, kami butuh kepastian hukum agar suatu saat hutan yang dikelola tidak dirampas oleh pihak lain,” kata Nasir.
Sekarang saja hutan mulai dirusak, tambang ilegal dan perambahan. Kami tidak bisa mencegah karena tidak punya kewenangan.
Meski belum ditetapkan sebagai hutan adat, saat ini warga di bawah Mukim Paloh menggarap hutan sebagai lahan pertanian. Penghasilan dari usaha pertanian menjadi sumber pendapatan menghidupi keluarga.
Nasir waswas, suatu saat, atas nama investasi hutan, warisan nenek moyang mereka akan dikuasai pihak lain dan mereka kehilangan mata pencarian.
”Sekarang saja hutan mulai dirusak, tambang ilegal dan perambahan. Kami tidak bisa mencegah karena tidak punya kewenangan. Padahal, secara historis, itu adalah wilayah hutan adat yang diwariskan oleh nenek moyang,” ujar Nasir.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Kawasan hutan lindung di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, yang akan diusulkan sebagai hutan adat, Selasa (14/2/2023).
Imum Mukim Kunyet Khalidin memperkuat apa yang disampaikan Nasir dan Ilyas. Menurut Khalidin, masyarakat hukum adat mukim akan menjaga hutan dan mengelola tanpa mengubah fungsi hutan.
Masyarakat hukum adat mukim memiliki aturan adat untuk menjaga hutan, misalnya tidak boleh menebang pohon di dekat sungai dan tidak boleh merusak sumber mata air.
Untuk menjaga hutan, lembaga adat mukim memiliki pawanguteun (panglima hutan). Panglima hutan bertugas mengawasi, memfasilitasi, dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di hutan.
Pidie termasuk daerah yang rawan bencana banjir dan konflik satwa lindung. Merawat hutan merupakan salah satu cara untuk menekan bencana. ”Saat ini saja, kami sudah menjaga, apalagi kalau sudah ditetapkan sebagai hutan adat,” ujar Khalidin.
Kecamatan Tangse dan Padang Tiji dikenal sebagai daerah penghasil durian, kopi, dan beras premium. Komoditas unggulan itu akan tetap produksi jika hutan dirawat dengan baik.
Peneliti dari Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala, Dr Teuku Muttaqin Mansur, mengatakan, pengajuan usulan hutan adat oleh mukim sudah tepat karena wilayah hutan adat ini dikelola oleh mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang struktur pemerintahannya mengoordinasi desa-desa.
Secara historis, mukim memiliki wilayah hutan yang dikelola secara turun-temurun.
Selain itu, di Aceh juga terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengketaan persoalan adat. LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.
Melalui hutan adat mukim, semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan mukim.
”Sekalipun ada gampong (desa) tidak beririsan dengan hutan, tetapi karena gampong tersebut dalam satu mukim, tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan adat mukim. Praktik ini sudah dilakukan turun-temurun,” kata Muttaqin.
Para mukim khawatir suatu saat hutan-hutan di wilayah mukim justru akan menjadi wilayah konsesi perusahaan, sementara warga butuh lahan untuk aktivitas ekonomi.
”Pengelolaan hutan adat oleh mukim tidak merusak hutan, justru memperbaiki kondisi hutan,” ujar Muttaqin.
Syarat pengusulan hutan adat telah terpenuhi, mulai dari penetapan peta kawasan, persetujuan bupati, hingga persetujuan semua kepala desa di wilayah mukim, tetapi usulan masyarakat Aceh itu hingga kini belum juga dikabulkan.
Hasil riset yang dilakukan terkait hal itu yang dilakukan oleh tim Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala juga telah diserahkan kepada KLHK pada Selasa, 14 Februari 2023. Dokumen hasil riset diterima oleh Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat (PKTHA) Muhammad Said.
Saat menerima dokumen itu, Muhammad Said menuturkan kajian tersebut dapat lebih meyakinkan pemerintah terhadap proses penetapan hutan adat mukim di Aceh.
Said mengatakan, selama ini ada keraguan adanya potensi konflik wilayah antara desa dan mukim terkait usulan hutan adat di Aceh.
”Dengan kajian dari tim peneliti, dapat menghilangkan keragu-raguan tersebut dan berharap proses usulan hutan adat dapat segera kita lanjutkan,” kata Said.
Kini, penantian panjang pemerintahan mukim di Pidie untuk diberi hak penguasaan hutan menanti jawaban dari KLHK.