Sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar yang tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota telah dipetakan. Kalimantan Utara memetakan wilayah adat terluas dalam pembaruan ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Hingga pertengahan Agustus 2022, sebanyak 1.119 wilayah adat seluas 20,7 juta hektar di 29 provinsi telah dipetakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat. Luas wilayah adat ini bertambah 3,1 juta hektar dari catatan terakhir pada Maret lalu.
Pembaruan luas registrasi wilayah adat tersebut terangkum dalam data terbaru tentang status pengkuan wilayah adat di Indonesia yang diluncurkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Selasa (9/8/2022). Data ini rutin diperbarui BRWA setiap dua kali setahun, yakni saat momentum Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret dan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada Agustus.
Secara rinci, 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar ini tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Jumlah dan luas ini mengalami peningkatan dari data terakhir pada Maret lalu yang saat itu baru 1.091 peta wilayah adat dengan luas 17,6 juta hektar di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota.
Selain membutuhkan waktu lama 1-2 tahun, pembuatan perda juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, minimal Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar per tahun.
Kepala BRWA Kasmita Widodo menyampaikan, wilayah yang berkontribusi terbesar dalam pemetaan wilayah adat ini adalah Kalimantan Utara, khususnya di Kabupaten Malinau dengan luas hampir mencapai 2,1 juta hektar. Adapun wilayah lainnya yang turut berkontribusi menambah luas pemetaan ini adalah Papua, khususnya di Jayapura.
BRWA juga mencatat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar yang telah memperoleh pengakuan. Pengakuan ini diperoleh dalam bentuk peraturan daerah (perda) dan surat keputusan (SK) kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Luasan tersebut berbanding jauh dengan wilayah adat yang belum memperoleh penetapan pengakuan, yakni sekitar 17,7 juta hektar. Dengan perbandingan data ini, tercatat baru 15 persen wilayah adat yang diakui oleh pemerintah daerah di seluruh wilayah Indonesia.
”Mengingat sampai saat ini Undang-Undang Masyarakat Adat masih dibahas dan belum disahkan, maka pengakuan masyarakat adat masuk dalam kerangka hukum kebijakan daerah. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari pemerintah daerah,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor BRWA, Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/8/2022).
Dukungan pemda dalam pengakuan wilayah adat ini penting karena capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat sampai sekarang belum optimal. Penetapan hutan adat ini baru seluas 75.783 hektar di 89 wilayah.
Menurut Kasmita, angka penetapan ini belum ada penambahan sejak terakhir kali surat keputusan hutan adat diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Februari lalu. Namun, informasi dari tim BRWA Kalimantan Barat menyebut bahwa beberapa waktu terakhir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang.
”Apabila dilihat konsesi hutan adat dari peta wilayah adat yang teregistrasi di BRWA, capaian pengakuan hutan adat ini masih sangat kecil karena di bawah 100.000 hektar. Percepatan ini membutuhkan suatu upaya yang lebih keras dari KLHK,” ucapnya.
Kasmita menyatakan, KLHK telah mencatat lebih dari 1 juta hektar cadangan hutan adat, tetapi sampai sekarang belum dilakukan verifikasi teknis di lapangan. Oleh karena itu, BRWA mendorong agar 1 juta hektar cadangan hutan adat ini bisa diproses dan ditetapkan pada sisa periode pemerintah Presiden Joko Widodo.
Tantangan
Dalam penetapan wilayah adat ini, Kasmita mengakui menemui sejumlah tantangan, khususnya terkait dengan pembuatan perda pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya. Selain membutuhkan waktu lama 1-2 tahun, pembuatan perda juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, minimal Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar per tahun.
Tantangan lainnya, menurut Kasmita, adalah masih sedikit kepada daerah yang memiliki tanggung jawab dan komitmen yang kuat dalam pengakuan wilayah masyarakat adat. Rendahnya komitmen ini pada akhirnya berimplikasi pada kapasitas kelembagaan dan staf untuk melaksanakan kegiatan teknis terkait penyusunan pedoman maupun pelaksanaan tahapan-tahapan pengakuan masyarakat adat.
Guna mempercepat proses registrasi dan pemetaan wilayah adat ini, Kasmita mendorong agar semua semua pihak menyediakan dukungan berupa peningkatan kapasitas jaringan. BRWA juga terus mengembangkan metode pemetaan yang lebih baik dengan skala lebih luas, termasuk dukungan teknologi berupa citra satelit.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi sebelumnya mengatakan, selama ini AMAN dan pihak-pihak lainnya telah banyak menyerahkan peta wilayah adat kepada pemerintah. Upaya yang perlu dilakukan pemerintah hanya tinggal mempercepat dan memastikan hambatan birokrasi maupun administrasi dalam proses penetapan wilayah atau hutan adat ini segera dituntaskan.
”Penetapan hutan adat ini sebenarnya bonus dari aspek administrasi. Hal terpenting adalah pengakuan yang utuh atas keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak ulayatnya dan ini tertuang dalam Rancangan UU Masyarakat Adat. Jadi, apabila pemerintah mau mempercepat investasi tidak ada pilihan lain selain pengakuan hak masyarakat adat,” katanya.