Penyerapan Karbon Bersih Perlu Diiringi Penetapan Hutan Adat
Implementasi FoLU Net Sink pada 2030 harus diiringi dengan penetapan hutan adat. Sebab, pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat dapat mendukung percepatan target program FoLU Net Sink 2030.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menetapkan kebijakan penyerapan karbon bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan atau FoLU Net Sink pada 2030 sebagai komitmen penurunan emisi sekaligus mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan. Namun, implementasi kebijakan ini juga harus diiringi dengan pemenuhan tuntutan masyarakat yang menjamin pengakuan dan akses di sektor kehutanan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Hukum dan Masyarakat (Huma) Agung Wibowo mengatakan, setiap kebijakan yang diambil dalam penurunan emisi, khususnya di sektor kehutanan, harus melibatkan masyarakat. Di sisi lain, sebelum menerapkan program kebijakan kehutanan seperti FoLU Net Sink, pemerintah harus memenuhi berbagai tuntutan masyarakat, salah satunya penetapan hutan adat.
”Dalam keputusan menteri tentang FoLU Net Sink banyak sekali menyebutkan frasa pelibatan masyarakat. Namun, terdapat motivasi pengusulan hutan adat dan alasannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dibandingkan perlindungan ekosistem hutan dan tatanan adat,” ujarnya dalam diskusi daring tentang pengelolaan hutan lestari, di Jakarta, Rabu (13/7/2022).
Menurut Agung, masyarakat menuntut pemerintah menetapkan hutan adat bukan hanya dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Akan tetapi, tuntutan ini dibuat karena terdapat masyarakat adat yang kehilangan akses dalam memanfaatkan kawasan hutan. Alasan lainnya yakni banyak kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di kawasan hutan.
Dalam keputusan menteri tentang FoLU Net Sink banyak sekali menyebutkan frasa pelibatan masyarakat. Namun, terdapat motivasi pengusulan hutan adat dan alasannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dibandingkan perlindungan ekosistem hutan dan tatanan adat.
Agung juga menyebut bahwa selama ini setiap permohonan masyarakat terkait pengelolaan hutan, seperti perhutanan sosial atau hutan adat, masih terkendala masalah legalitas.
Hal tersebut terjadi karena legalitas itu harus diperoleh dengan mekanisme hukum formal seperti peraturan daerah. Padahal, mayoritas masyarakat adat atau lokal masih menggunakan mekanisme hukum informal dalam setiap penyelesaian masalah.
Selain itu, ketika sudah ada produk hukum yang diterbitkan, masyarakat belum sepenuhnya bisa mendapat hak akses atas hutannya. Berdasarkan catatan Huma, sampai 2019 sudah terdapat 297 produk hukum daerah pengakuan masyarakat adat dengan potensi 453.831 hektar luas wilayah adat yang belum mendapat kejelasan.
”Hutan adat yang dikutip di FoLU Net Sink 2030 hanya seluas 79.000 hektar di 89 komunitas masyarakat adat. Padahal, jika merujuk hasil rekomendasi rapat koordinasi hutan adat yang prosesnya sudah panjang, seharusnya hutan adat yang dikutip bisa lebih luas,” katanya.
Agung menegaskan, pemberian hak atas akses hutan ini terbukti dapat mendukung pemulihan hutan dan ekosistem serta menyejahterakan masyarakat. Dari survei yang dilakukan Huma di hutan adat Marena, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, 51 persen masyarakat mengaku kesejahteraannya meningkat setelah mendapat akses pengelolaan hutan adat.
”Menghormati keberadaan hak-hak tradisional masyarakat adat merupakan tanggung jawab negara dan ini adalah mandat konstitusi. Hak-hak masyarakat adat ini harus dilindungi dan tidak bisa dirampas dari segala bentuk program yang dalihnya merehabilitasi,” ungkapnya.
Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Emmy Primadona menyatakan, adanya pengakuan dari negara akan memunculkan rasa aman bagi masyarakat dalam mengelola dan melindungi hutan. Sebaliknya, ketiadaan pengakuan akan membuat akses kawasan hutan tersebut tetap terbuka dan sulit dikontrol dengan optimal.
”Ketika masyarakat mendapat hak dalam pengelolaan kawasan hutan, mereka akan mencoba berimprovisasi dan berinovasi melalui pengembangan potensi yang ada,” ucapnya.
Agroforestri
Program FoLU Net Sink 2030 melibatkan sejumlah lembaga, termasuk Perum Perhutani. Kepala Departemen Pembinaan Sumber Daya Hutan (PSDH)Perum Perhutani Herta Pari mengatakan, penanaman hutan merupakan salah satu implementasi pembangunan hutan tanaman dan peningkatan stok karbon hutan untuk mencapai target FoLU Net Sink 2030.
”Penanaman ini dilakukan, antara lain, dengan cara agroforestri yang secara nyata dan langsung melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Agroforestri telah menjadi salah satu program strategis Perhutani untuk mendukung FoLU Net Sink 2030 dan ketahanan pangan,” katanya.
Kegiatan agroforestri dari Perum Perhutani hampir seluruhnya dilakukan melalui kerja sama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan entitas lain yang sudah berbadan hukum. Setiap LMDH memilliki anggota yang merupakan masyarakat sekitar hutan.
”Perhutani membantu program ketahanan pangan dengan mengoptimalkan kawasan hutan. Pengembangan lokasi model ketahanan pangan diharapkan dapat membantu program nasional dalam menjaga stabilitas dan gejolak harga pangan,” ujarnya.