Penetapan Hutan Adat Sepanjang 2022 Dinilai Masih Rendah
Berdasarkan Catatan Akhir tahun 2022 AMAN, masyarakat adat belum sepenuhnya mendapat hak-hak mereka. Sepanjang tahun 2022, pemerintah baru menetapkan 105 hutan adat dengan luas 148.488 hektar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Suasana Desa Rantau Kermas Merangin dengan latar hutan adat. Masyarakat desa itu menerima Kalpataru 2019 sebagai penghargaan tertinggi di bidang penyelamatan lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2022, masyarakat adat baru menerima penetapan sebanyak 105 hutan adat dengan luas 148.488 hektar. Pemerintah melalui kementerian terkait didorong untuk terus mempercepat penetapan hutan adat ini dengan memonitor capaian pengakuan hutan adat di daerah dan memperluas kerja sama.
Penerimaan hutan adat tersebut terangkum dalam Catatan Akhir Tahun 2022 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dipublikasikan Senin (16/1/2023). Laporan ini merangkum berbagai peristiwa terkait AMAN dan masyarakat adat sepanjang tahun 2022.
Laporan tersebut mencatat, sepanjang 2022 pemerintah baru berhasil menetapkan 105 hutan adat dengan luas mencapai 148.488 hektar. Akan tetapi, masyarakat adat juga merasa hak dan permintaannya belum sepenuhnya dipenuhi karena seluas 2.400 hektar wilayah adat masih menggunakan sejumlah skema perhutanan sosial.
Pemda juga perlu menyiapkan atau mengaktifasi kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat serta mengalokasikan anggarannya.
Penetapan hutan adat ini masih sangat rendah dari luas wilayah adat yang telah diregistrasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Hingga Desember 2022, BRWA telah melakukan registrasi sebanyak 1.167 peta wilayah adat dengan luas mencapai 21,3 juta hektar yang mencakup wilayah adat di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota.
Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, selama ini registrasi wilayah adat yang dilakukan BRWA masih menemui sejumlah tantangan. Salah satu tantangan tersebut terkait dengan aksesibilitas karena areal kerja registrasi dan verifikasi wilayah adat yang tersebar luas sehingga sulit dijangkau oleh transportasi.
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN)
Catatan Akhir Tahun 2022 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
”Keterbatasan pembiayaan juga membuat BRWA memilih lokasi verifikasi wilayah adat sehingga mampu mengungkit pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat oleh pemerintah daerah,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa (17/1/2023).
Widodo pun menekankan sejumlah upaya yang perlu dilakukan sejumlah pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah, guna mempercepat penetapan hutan adat ini. Komponen pemerintah pusat yang dianggap paling signifikan perannya dalam mempercepat penetapan hutan adat ini, antara lain, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut Widodo, upaya yang perlu dilakukan Kemendagri ialah memonitor capaian pemerintah daerah (pemda) terhadap implementasi penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat. Hal ini penting dilakukan karena telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Sementara KLHK perlu memperluas kerja sama dengan pemda dalam pengakuan hutan adat yang secara paralel dapat mendukung pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Secara spesifik, pemda juga perlu menyiapkan atau mengaktifasi kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat serta mengalokasikan anggarannya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, capaian penetapan hutan hak dan hutan adat sepanjang 2022 telah melebihi target yang ditetapkan. Pada 2022, sebanyak 18 surat keputusan (SK) penetapan hutan adat telah dikeluarkan atau lebih banyak dari target awal, yakni 15 SK.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Masyarakat Adat Bergantung Hutan Warga Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, di Kabupaten Kerinci, Jambi, Rabu (3/12/2014), melintasi jalan setapak menuju ladang dan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Bambang Supriyanto menuturkan, keberhasilan pengelolaan hutan adat ini telah mendapat pengakuan dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Konflik masyarakat adat
Dalam catatan akhir tahun tersebut, AMAN juga mencatat sebanyak 19 kasus konflik masyarakat adat terjadi pada 2022 yang menyangkut wilayah adat seluas hampir 600.000 hektar. Konflik tersebut dialami masyarakat adat baik laki-laki, perempuan, maupun pemuda dan pemudi adat yang gigih memperjuangkan hak atas wilayah adatnya.
Kasus tersebut menambah jumlah konflik yang dialami masyarakat adat. Selama lima tahun terakhir, setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 masyarakat adat. Konflik tersebut terjadi di sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur.
Bambang mengatakan, KLHK telah menangani dan menyelesaikan 95 kasus konflik tenurial sepanjang 2022. Penyelesaian konflik tenurial ini juga meningkat dari tahun lalu sebanyak 87 kasus. Sementara kasus lainnya masih dalam penyelesaian.
Selama delapan tahun terakhir atau sepanjang 2015-2022, KLHK menerima pengaduan konflik agraria sebanyak 1.051 kasus dan 324 kasus di antaranya telah ditangani. ”Capaian tahun 2022 ini juga merupakan prestasi karena mencapai 317 persen dari target yang ditetapkan,” kata Bambang dalam acara refleksi akhir tahun 2022 KLHK akhir Desember 2022 lalu.