Menteri Koperasi dan UKM Teten Masuki berencana merevisi UU Perkoperasian. UU perlu diubah untuk menambah kekuatan pengawasan terhadap koperasi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992. Revisi dilakukan untuk menambah muatan, dengan tujuan menambah kekuatan pemerintah untuk mengawasi koperasi, dan mencegah terjadinya pelanggaran seperti tindak pidana pencucian uang oleh unit usaha tersebut.
”Revisi UU mendesak untuk dilakukan. Selama ini kita kurang memiliki kekuatan karena hanya bertindak dengan berlandaskan aturan berupa Permenkop,” ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat berkunjung ke Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (16/2/2023).
Sebelum UU tentang Perkoperasian direvisi, Teten memastikan, pihaknya akan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit bersama terhadap koperasi-koperasi yang bermasalah.
Selain karena memiliki kekuatan pengawasan yang lemah, Teten mengatakan, pihaknya juga mengalami keterbatasan sumber daya manusia dan tenaga untuk melakukan pengawasan sendiri. Mulai dari tingkat pusat di Kementerian Koperasi dan UKM hingga daerah, jumlah tenaga pengawas koperasi terdata sekitar 1.300 orang, sedangkan jumlah koperasi simpan pinjam di Indonesia saja terdata hingga 18.000 koperasi.
Tindak pengawasan yang dilakukan para tenaga pengawas tersebut, menurut dia, diakui kurang optimal karena sebatas dilakukan dengan melihat neraca.
”Dalam neraca semuanya bisa terlihat seimbang dan benar. Sementara kenyataan di lapangan, kita juga tidak pernah tahu ada aset yang digelapkan dan tidak dicatatkan sebagai aset koperasi,” ujarnya.
Berbeda dengan bank yang diawasi secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan harus membuat laporan keuangan setiap hari, pengawasan terhadap koperasi memang terbilang relatif longgar. Oleh karena itu, dia pun mendukung agar ada pengawasan yang lebih ketat dan intensif pada koperasi.
Seperti diberitakan sebelumnya, PPATK menemukan 12 koperasi simpan pinjam terlibat tindak pidana pencucian uang senilai Rp 500 triliun. Namun, diakui Teten, sebagian tindak pidana tersebut dilakukan tahun 2014.
Terkait Koperasi Simpan Pinjam Indosurya, PPATK juga menemukan adanya aliran dana ke luar negeri.
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Selasa (14/2/2023), khusus untuk KSP Indosurya, pihaknya sudah melaporkan temuan tersebut kepada Kejaksaan Agung dan Kementerian Koperasi dan UKM.
Tindak pidana tersebut dilakukan Indosurya dengan menjalankan skema ponzi. Adapun skema ponzi adalah skema penipuan berkedok investasi dengan menawarkan imbal hasil besar kepada nasabah. Namun, sumber dana imbal hasil tersebut bukan berasal dari investasi, melainkan dari dana nasabah berikutnya.