Kementerian Koperasi dan PPATK Gelar Audit Bersama
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana bertemu di Jakarta, Rabu (15/2/2023), untuk tindak lanjut atas koperasi-koperasi simpan pinjam yang terindikasi terlibat pencucian uang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Para korban kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam Indosurya menunjukkan poster saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (18/12/2022). Mereka menuntut majelis hakim memutuskan agar aset terdakwa yang disita dikembalikan ke mereka alih-alih diserahkan ke negara
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan akan melakukan audit bersama atau joint audit terhadap sejumlah koperasi yang terindikasi terlibat pencucian uang. Sementara revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disegerakan karena problem yang ada dinilai amat serius.
Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Selasa (14/2/2023), PPATK melaporkan adanya indikasi 12 koperasi simpan pinjam (KSP) terlibat pencucian uang senilai sekitar Rp 500 triliun. Salah satunya adalah KSP Indosurya. Laporan itu berdasarkan penelusuran pada 2020-2022 dan 21 hasil analisis yang dilakukan PPATK (Kompas, 15/2/2023).
Menteri Koperasi dan UKMTeten Masduki di Jakarta, Rabu (15/2/2023), bertemu Kepala PPATK Ivan Yustiavandana untuk berkoordinasi terkait tindak lanjut terhadap kasus KSP yang terindikasi terlibat pencucian uang. Dalam kesempatan itu, Ivan menyerahkan data 12 koperasi yang terindikasi bermasalah tersebut.
”Kami akan melakukan joint audit. Bahkan, kami meminta kerja sama dengan PPATK untuk melihat lebih jauh. Sebab, kami khawatir ada praktik-praktik seperti gagal bayar karena salah dalam pengelolaan atau governance-nya kurang baik. (Audit) Kami fokuskan dulu di (koperasi) yang besar-besar. Sudah ada catatannya,” ujar Teten.
Teten menambahkan, Undang-Undang No 25/1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa pengawasan dilakukan oleh internal koperasi. Artinya, pengawas diangkat oleh koperasi. Sementara regulasi terkait pengawasan oleh kementerian hanya berupa peraturan menteri koperasi sehingga posisinya lemah dibandingkan undang-undang.
”Kami tak bisa melihat ke dalam, misalnya, sampai ada penggelapan aset dan sebagainya. Bahkan, shadow banking (himpun dana masyarakat, padahal bukan perbankan) pun tidak bisa kelihatan. Adanya kerja sama dengan PPATK, nanti kan bisa melihat lebih ke dalam,” jelas Teten.
Ivan menambahkan, koordinasi, sinergi, dan pengambilan langkah bersama perlu dilakukan dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Pihaknya akan mendukung Kemenkop dan UKM serta akan segera mewujudkan kerja sama tersebut secara konkret.
”Prinsipnya, kami ingin melindungi masyarakat. Koperasi harus tumbuh kuat, hebat, dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan. Namun, di sisi lain harus akuntabel dan mematuhi aturan yang ada. Ini tentu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,” kata Ivan.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki (kiri) bersama Kepala Pusat PPATK Ivan Yustiavandana memberi keterangan di Kemenkop dan UKM, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Kemenkop UKM dan PPATK akan melakukan join audit (audit bersama) terhadap sejumlah koperasi untuk melihat lebih dalam terkait adanya praktik seperti gagal bayar dan lainnya.
Ia menambahkan, pihaknya telah menyampaikan pula kepada Teten bahwa uang yang berasal dari tindak pidana pencucian tersebut berpotensi masuk sebagai bagian dari dana yang diinvestasikan di koperasi. Kemudian, ada penyelahgunaan kewenangan oleh pengurus dalam pengelolaan keuangannya.
”Angka perputaran tersebut yang kami lihat. (Koperasi) Ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Datanya sudah saya serahkan kepada Pak Menteri (Koperasi dan UKM),” ujar Ivan.
Di sisi lain, revisi UU No 25/1992 tentang koperasi diharapkan dapat menguatkan kewenangan kementerian dalam pengawasan. Selama ini, kata Teten, pengawasan oleh pegawai Kemenkop dan UKM, termasuk instansi di daerah, hanya melihat neraca yang dilaporkan. Pengawasan pun lebih bersifat permukaan sehingga tidak optimal.
”(Revisi UU Perkoperasian) Segera. Kemarin DPR sudah setuju. Kami harapkan pertengahan tahun ini selesai karena (problem) ini sudah sangat serius,” ujar Teten.
"Shadow banking"
Mengenai shadow banking, Teten mengatakan, hal itu melanggar aturan. Dengan berbadan hukum KSP, koperasi seharusnya bersifat closed loop (tertutup) atau hanya untuk anggota. Namun, ada praktik ponzi dengan membuka penyimpan dari luar anggota koperasi.
”Kalau dalam kasus (KSP) Indosurya, sebenarnya anggota yang dirugikan itu investasinya di perusahaan sekuritas. Kan satu grup. (Lalu) Dibukukan di KSP. Jadi, di awal-awal, lolos dari pengawasan kami dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena badan hukumnya koperasi, tetapi melakukan praktik shadow banking. Itu pidana perbankan,” ujar Teten.
Adapun Satuan Tugas Pengawasan Koperasi Bermasalah dibentuk hanya untuk mengawasi 8 koperasi bermasalah yang sudah menempuh Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan bagaimana PKPU itu dijalankan. Namun, kata Teten, ternyata pemenuhannya rendah. KSP Sejahtera Bersama, misalnya, baru memenuhi 3 persen, sementara KSP Indosurya sekitar 15 persen.
Menurut Teten, tingkat pemenuhan yang rendah itu antara lain karena karena sejumlah faktor, salah satunya asetnya digelapkan. Selain itu, putusan PKPU juga tidak menunjuk pihak ketiga atau manajemen baru untuk menjalankan putusan PKPU. Namun, menunjuk pengurus lama koperasi yang sudah gagal sehingga putusan tak dijalankan.
”Saya harus akui, Satgas Pegawasan Koperasi Bermasalah untuk menjalankan putusan PKPU itu hasilnya kurang bagus. Tapi kanPKPU-nya ada yang sampai 2024, ada juga yang sampai dengan 2026,” ujar Teten.
Munculnya kasus gagal bayar menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah di sektor koperasi.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Kementerian Koperasi dan UKM, Selasa (14/2.2023), anggota Komisi VI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sonny T Danaparamita, mengatakan, munculnya kasus gagal bayar menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah di sektor koperasi. Menurut dia, kementerian semestinya tetap bisa mengawasi karena dalam struktur organisasi ada jabatan Asisten Deputi Pengawasan Koperasi (Kompas.id, 14/2/2023).
Adapun salah satu simpulan dalam rapat tersebut yakni Komisi VI DPR mendukung rencana revisi UU Perkoperasian. Kemenkop dan UKM un diminta untuk segera menyelesaikan rancangannya.