Abaikan Protes China, Indonesia Tambah Tambang Migas di Natuna
Pemerintah Indonesia mengabaikan protes China dan terus meningkatkan kegiatan hulu migas di Laut Natuna Utara. Pemerintah daerah dan warga Natuna mendukung langkah tersebut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
HUMAS BAKAMLA
Petugas Bakamla RI berpatroli dekat pengeboran lepas pantai Noble Clyde Boudreaux di Blok Tuna, Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, awal Juli 2021.
BATAM, KOMPAS — Pemerintah menyetujui rencana pengembangan lapangan minyak dan gas di Wilayah Kerja Tuna, Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Langkah pemerintah yang mengabaikan protes China terkait kegiatan hulu migas di perairan perbatasan itu didukung pemerintah daerah dan warga Natuna.
Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, Rabu (11/1/2022), menyatakan, pemerintah dan warga Natuna mendukung rencana pengembangan (plan of development/POD) di Wilayah Kerja (WK) Tuna yang akan dioperasikan perusahaan asal Inggris, Premier Oil. Peningkatan kegiatan hulu migas itu dinilai semakin mempertegas hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU).
”Salah satu cara untuk melindungi Natuna adalah memperbanyak investasi asing. Dengan begitu, akan semakin banyak negara yang terlibat menjaga Natuna saat ada pihak yang mau mengganggu hak berdaulat Indonesia,” kata Rodhial saat dihubungi dari Batam.
Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, di rumahnya di Natuna, Kepulauan Riau, saat menunjukkan lokasi zona ekonomi eksklusif Indonesia yang dinamakan Laut Natuna Utara, Kamis (9/1/2020).
Pada Agustus-Oktober 2021, kapal survei China, Haiyang Dizhi 10, terpantau beroperasi di LNU. Kapal itu diduga menggelar riset bawah laut di sekitar lapangan migas WK Tuna dan WK Natuna Timur.
Tak berselang lama, China mengirim nota diplomatik untuk memprotes Indonesia yang melakukan pengeboran migas di LNU. Protes itu diabaikan pemerintah karena Indonesia tidak pernah mengakui Sembilan Garis Putus yang diklaim China di Laut China Selatan.
Pada 28 Desember, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan bahwa Blue Sky menjadi pemenang lelang WK Paus di lepas pantai Natuna Timur. Estimasi gas bumi di sana sebesar 2,5 triliun kaki kubik (TCF).
PANDU WIYOGA
Peta menunjukkan lintasan dan pergerakan kapal survei China, Haiyang Dizhi-10, pada 1-24 September 2021.
Kemudian, pada 2 Januari, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengumumkan pemerintah telah menyetujui POD di WK Tuna. Pemerintah diperkirakan akan memperoleh pendapatan hingga Rp 18,4 triliun.
Lewat pernyataan tertulis, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada 2 Januari menyatakan, pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan tidak hanya semata mengenai hitung-hitungan ekonomi semata. Namun, juga ada kepentingan kedaulatan negara yang perlu dipertimbangkan.
”Persetujuan POD akan dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna. Dengan begitu, akan bertambah aktivitas di wilayah perbatasan yang menjadi salah satu titik panas geopolitik dunia itu. TNI AL akan turut mengamankan proyek hulu migas itu sehingga secara ekonomi dan politik, menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut,” kata Dwi.
Foto udara hamparan batu granit berukuran besar di kawasan wisata Alif Stone Park di Sepempang, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang tutup, Rabu (5/2/2020).
Manfaat untuk daerah
Luas daratan Natuna hanya 1,2 persen, sisanya merupakan laut. Sebaran potensi migas juga hampir 100 persen berada di wilayah laut. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas jadi penopang utama perekonomian Natuna.
Terkait hal itu, Rodhial berharap, peningkatan kegiatan hulu migas di LNU dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dari penduduk lokal. Saat ini, Pemkab Natuna berjuang untuk mendapatkan saham partisipasi (participating interest/PI) sebesar 10 persen.
”Kami berharap kegiatan tambang migas di LNU memberi dampak ekonomi kepada Natuna. Pemerintah pusat kalau bisa juga sekalian membangun fasilitas pengolahan migas di Natuna, jangan langsung disalurkan lewat pipa bawah laut ke Singapura seperti yang sudah-sudah,” ujar Rodhial.