Nelayan Natuna, Kepulauan Riau, resah setelah belasan kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, kembali terlihat beroperasi di dekat wilayah tangkap mereka.
I still remember an article on the last page of a national newspaper in the last century.
Agar konflik antarnelayan tidak terus berlarut, pemerintah didesak segera melakukan kajian mendalam terhadap alat tangkap baru modifikasi yang diberi nama jaring tarik berkantong.
Nelayan tradisional di Natuna meminta bukti kesiapan nelayan cantrang berganti alat tangkap yang ramah lingkungan. Dikhawatikan, nelayan pantura hanya mengganti nama cantrang dengan istilah lain.
Enam perwakilan nelayan dari Kepulauan Riau pergi ke Jakarta untuk menemui Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono. Sebuah tujuan yang sangat sederhana sebetulnya, tetapi penuh dengan lika-liku dalam prosesnya.
Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna berhenti melaut karena tinggi gelombang di perairan itu lebih dari 6 meter. Meskipun harga ikan sedang tinggi, mereka terpaksa ganti profesi karena kemampuan kapal tidak memadai.
Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna mulai memasang rumpon untuk menghalangi kapal cantrang beroperasi di perairan 0-30 mil. Protes penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan terus meluas.
Penolakan nelayan tradisional terhadap penggunaan cantrang yang tidak ramah lingkungan semakin lantang di Kepri. Belakangan, sejumlah elite politik lokal di Anambas dan Natuna juga mulai menyuarakan hal yang sama.
Sepanjang 2020, nelayan di Natuna tenggelam dalam konflik dengan kapal pukat dari luar dan dalam negeri. Kembali dilegalkannya cantrang dinilai ada hubungannya dengan rencana pemerintah membuka akses bagi kapal asing.
Pemerintah diharapkan mengoreksi total kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan selama satu tahun terakhir.