Diduga Incar Cadangan Migas, Alasan Kapal Survei China di Laut Natuna Utara
Satu bulan terakhir, China diduga mengerahkan kapal survei untuk menggelar riset bawah laut di Natuna Utara. Pemerintah belum mengambil langkah tegas, padahal lokasi itu mengandung cadangan migas terbesar di Indonesia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
HUMAS BAKAMLA
Petugas Bakamla RI berpatroli dekat pengeboran lepas pantai Noble Clyde Boudreaux di Blok Tuna, Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, pada awal Juli 2021.
Kapal survei China, Haiyang Dizhi Shihao 10, terpantau beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejak akhir Agustus 2021. Pada 2-27 September, kapal itu terpantau melintas zig-zag dan diduga melakukan riset bawah laut di perairan mengandung cadangan minyak dan gas paling besar di Indonesia.
Kehadiran Haiyang Dizhi 10 dan sejumlah kapal penjaga pantai China di Laut Natuna Utara (LNU) memancing kedatangan kapal induk Amerika Serikat, USS Carl Vinson, pada 11 September. Dua hari kemudian, China merespons hal itu dengan mengirimkan sejumlah kapal militernya, salah satu yang teridentifikasi adalah kapal perusak Kunming-172.
Peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, Sabtu (2/10/2021), mengatakan, berdasarkan sinyal perangkat identifikasi otomatis (AIS), Haiyang Dizhi 10 terpantau telah keluar dari ZEE Indonesia pada 29 September 2021. Kapal itu saat ini sandar di gugusan karang Fiery Cross.
Walaupun China sudah meratifikasi UNCLOS, mereka tidak mau mendasarkan klaim di Laut China Selatan berdasarkan kesepakatan internasional itu.
Gugusan karang di Laut China Selatan yang juga diklaim oleh Vietnam dan Filipina itu dikuasai China pada 1988. Kini, China menggunakan Fiery Cross sebagai pangkalan armada penjaga pantai mereka. Selain itu, China juga membangun landasan udara di gugusan karang tersebut.
”Tampaknya Haiyang Dizhi 10 tengah mengisi ulang perbekalan di Fiery Cross. Kemungkinan besar kapal itu akan kembali lagi ke LNU dalam waktu dekat,” kata Imam.
CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Citra satelit menunjukkan apa yang oleh CSIS Asia Maritime Transparency Initiative disebut sebagai senjata antipesawat dan sistem senjata lain di gugusan karang Johnson (kiri) dan landasan udara di Fiery Cross yang dibangun China.
Haiyang Dizhi 10 menghidupkan AIS selama beroperasi di LNU. Sinyal AIS yang dipancarkan Haiyang Dizhi 10 dapat digunakan untuk memetakan pergerakan kapal tersebut. Terlihat pada 2-27 September 2021, Haiyang Dizhi 10 melintas zig-zag di perairan yang berada di antara Blok Migas Tuna dan Blok Migas Sokang.
Haiyang Dizhi-10 merupakan kapal survei yang dilengkapi berbagai peralatan untuk mengambil dan meneliti sampel makhluk hidup, sedimen, dan gambar dari bawah laut. Selain itu, Haiyang Dizhi-10 juga memiliki peralatan seismic wave detection untuk memetakan kontur dasar laut.
Menurut Imam, lintasan zig-zag itu menjadi indikasi kuat bahwa Haiyang Dizhi 10 melakukan riset bawah laut di LNU. Oleh karena itu, IOJI mendesak Pemerintah RI segera agar mencari tahu point of interest dari Pemerintah China yang mengerahkan kapal surveinya untuk menggelar riset di lokasi tersebut.
Data AIS menunjukkan pergerakan kapal survei China, Haiyang Dizhi Shihao 10, pada 30 Agustus hingga 29 September 2021.
Kaya migas
Lintasan zig-zag Haiyang Dizhi 10 terlihat berada di sekitar lapangan gas D-Alpha dan lapangan gas Dara yang disebut menyimpan 20 persen cadangan migas Indonesia. Sejak lapangan gas D-Alpha ditemukan pada 1973 dan lapangan gas Dara ditemukan pada 2000, hingga saat ini keduanya belum berhasil dieksploitasi.
Dalam opini Kegiatan Hulu Migas di Laut Natuna yang dimuat Kompas pada 23 Juli 2016, mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Haposan Napitupulu menyatakan, klaim sembilan garis putus-putus China memang mencakup lapangan gas D-Alpha dan lapangan gas Dara. Klaim China mencaplok lebih kurang 83.000 kilometer (km) persegi atau 30 persen luas perairan Indonesia di Natuna.
Kompas
Peta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan lokasi kegiatan eksploitasi minyak dan gas di Laut Natuna Utara.
Menurut dia, cadangan migas di lapangan gas D-Alpha dan Dara itu merupakan yang terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia. Di sana terdapat cadangan gas 222 triliun kaki kubik dan 310 juta barel minyak dengan luas 25 x 15 km persegi dan tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.
Namun, sayangnya, sampai kini kedua lapangan gas tersebut belum dapat dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan gas CO2 yang mencapai 72 persen.
Haposan menilai, klaim China di Laut Natuna Utara seharusnya memicu pemerintah menggalakkan kegiatan operasi migas di wilayah ini. Pemerintah bisa memberikan insentif kepada perusahaan migas dalam usaha ”mengejar” keekonomian lapangan untuk mengakomodasi biaya pemisahan gas CO2 yang cukup tinggi untuk mendapatkan gas bumi yang bersih.
Foto udara hamparan batu granit berukuran besar di kawasan wisata Alif Stone Park di Sepempang, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (5/2/2020).
Tidak tegas
Operasi Haiyang Dizhi 10 selama lebih kurang satu bulan di LNU merupakan gangguan terlama yang dilakukan China terhadap hak berdaulat Indonesia. Meski demikian, Pemerintah RI belum memberikan respons tegas terhadap ulah China di Natuna.
Kapal serupa, Haiyang Dizhi 8, pernah membuat Pemerintah Malaysia geram karena menggelar survei eksplorasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia selama satu bulan pada April 2020. Sama dengan kejadian di LNU, kapal tersebut juga melakukan riset di perairan Malaysia yang kaya migas.
Dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, Kamis (9/9/2021), menilai, pemerintah seharusnya menanyakan maksud kehadiran Haiyang Dizhi 10 di LNU. Apabila kapal survei itu memang melakukan penelitian kelautan dan survei hidrografi, seharusnya China meminta izin kepada Pemerintah Indonesia.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur dengan jelas bahwa penelitian kelautan dan survei hidrografi di ZEE oleh negara asing harus dilakukan atas izin negara pantai. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia.
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Kapal penjaga pantai China-5202 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020).
”Walaupun China sudah meratifikasi UNCLOS, mereka tidak mau mendasarkan klaim di Laut China Selatan berdasarkan kesepakatan internasional itu. China menggunakan sembilan garis putus-putus yang menurut mereka lebih historis,” kata Andi saat dihubungi.
Sebenarnya, klaim China yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016 karena tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, China mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, Jumat (1/10/2021), tidak bersedia menerangkan secara gamblang apakah Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan mengenai aktivitas Haiyang Dizhi 10 di LNU. Ia hanya menyebutkan, mekanisme komunikasi diplomatik terus dimanfaatkan Indonesia untuk membicarakan berbagai isu yang menjadi kepedulian, termasuk isu kemaritiman, dengan China.