Kapal Survei China Lalu-lalang di Natuna Utara, Armada RI Siaga
Kapal survei China, Haiyang Dizhi-10, terpantau lalu-lalang dekat pengeboran minyak lepas pantai di Natuna Utara. Sebelumnya, kapal serupa pernah membuat situasi kawasan memanas karena menggelar survei di ZEE Malaysia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Sejak akhir Agustus 2021, kapal survei dan penjaga pantai China terpantau lalu-lalang dekat pengeboran minyak lepas pantai di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Untuk mengantisipasi aktivitas itu, Badan Keamanan Laut dan TNI Angkatan Laut mengerahkan kapal untuk bersiaga di lokasi.
Kapal survei Haiyang Dizhi-10 berulang kali terpantau satelit melintas zig-zag di Laut Natuna Utara dengan dikawal sejumlah kapal penjaga pantai China. Kapal serupa, Haiyang Dizhi-8, pernah membuat situasi memanas karena menggelar survei eksplorasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia pada April 2020.
Pada 27 Agustus, akun Twitter @duandang mengunggah citra satelit yang menunjukkan KRI Bung Tomo milik TNI AL membayangi Haiyang Dizhi-10 dan kapal penjaga pantai China 5305 yang saat itu melintas dekat pengeboran minyak lepas pantai Noble Clyde Boudreaux di Laut Natuna Utara.
Kepala Humas dan Protokol Bakamla Kolonel Wisnu Pramandita, Kamis (9/9/2021), menduga, peningkatan aktivitas kapal-kapal China itu dipicu memanasnya tensi antara China dan AS di Laut China Selatan. Laut Natuna Utara termasuk dalam zona sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang diklaim China sebagai wilayah tangkap tradisional mereka.
”Sejauh (aktivitas kapal China) itu tidak mengganggu hak berdaulat Indonesia yang sedang melakukan pengeboran minyak, menurut saya, tidak masalah,” kata Wisnu melalui pesan tertulis.
Seperti dikutip dari Kompas (7/1/2020), wilayah kedaulatan bisa dijelaskan dengan membayangkan titik-titik yang ditarik dari bagian terluar Indonesia, termasuk Pulau Natuna. Dari titik-titik itu, lalu ditarik garis yang disebut garis pangkal. Jika dari garis pangkal ditarik 12 mil ke luar dan dibentuk garis baru, garis itu disebut garis teritorial. Dari garis teritorial hingga ke dalam, termasuk daratan Indonesia, ada kedaulatan RI.
Masih dikutip dari edisi Kompas yang sama, apabila dari garis pangkal ditarik garis ke luar sejauh 200 mil, daerah itu disebut ZEE, di mana sumber daya alam yang ada di ZEE ditujukan secara eksklusif untuk diolah negara pantai pemilik ZEE tersebut. Makna diolah, bisa saja negara pantai bekerja sama dengan pihak lain, termasuk negara lain atau swasta. Ini disebut hak berdaulat.
Hak berdaulat itu digunakan Indonesia untuk menambang minyak dan gas di Laut Natuna Utara dengan menggandeng perusahaan asing yang salah satunya adalah Noble Clyde Boudreaux. Pengeboran minyak oleh Noble Clyde Boudreaux di Blok Tuna, perairan Natuna, dimulai awal Juli 2021.
Menurut Wisnu, Bakamla menyiagakan sejumlah kapal patroli, yakni Kapal Negara (KN) Tanjung Datu-1101, KN Pulau Marore-322, dan KN Pulau Dana-323 untuk berpatroli di sekitar Blok Tuna. Selain itu, TNI AL juga menyiagakan sejumlah kapal di lokasi tersebut.
Situs China Global Television Network memberitakan, Haiyang Dizhi-10 merupakan kapal survei geologi bawah laut yang dibangun di Provinsi Guangdong pada 2017. Kapal sepanjang 75,8 meter dan lebar 15,4 meter itu dilengkapi berbagai peralatan untuk mengambil sampel makhluk hidup, sedimen, dan gambar dari bawah laut.
Haiyang Dizhi-10 juga memiliki laboratorium untuk meneliti sampel yang mereka ambil dari dasar laut. Selain itu, kapal survei itu membawa peralatan seismic wave detection untuk memetakan kontur dasar laut.
Dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, menilai, aparat seharusnya menanyakan tujuan Haiyang Dizhi-10 yang terpantau mondar-mandir di Blok Tuna tersebut. Apabila kapal survei itu memang melakukan penelitian kelautan dan survei hidrografi, seharusnya China meminta izin kepada pemerintah Indonesia.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur dengan jelas bahwa penelitian kelautan dan survei hidrografi di zona ekonomi khusus (ZEE) oleh negara asing harus dilakukan atas izin negara pantai. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia.
”Walaupun China sudah meratifikasi UNCLOS, mereka tidak mau mendasarkan klaim di Laut China Selatan berdasarkan kesepakatan internasional itu. China menggunakan sembilan garis putus-putus yang menurut mereka lebih historis,” kata Andi saat dihubungi.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur dengan jelas bahwa penelitian kelautan dan survei hidrografi di zona ekonomi khusus (ZEE) oleh negara asing harus dilakukan atas izin negara pantai.
Sebenarnya, klaim China yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016 karena tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, China mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu.
”Sayang sekali hukum internasional belum memiliki mekanisme yang tegas untuk memberikan sanksi kepada (negara) yang melanggar,” ucap Andi.