Sejumlah Aremania, suporter Arema FC, diperiksa oleh penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri di Markas Kepolisian Resor Kota Malang Kota, Senin (19/12/2022). Pemeriksaan terkait laporan mereka sebulan lalu.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sejumlah Aremania, suporter Arema FC, diperiksa oleh penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Polri di Markas Kepolisian Resor Kota Malang Kota, Senin (19/12/2022). Pemeriksaan terkait laporan mereka sebulan lalu atas dugaan pelanggaran kode etik profesionalitas Polri dalam Tragedi Kanjuruhan. Aremania berharap mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta turut menjalani proses hukum karena dinilai bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Pemeriksaan pada Senin dilakukan terhadap sembilan Aremania yang melaporkan kasus Tragedi Kanjuruhan ke Propam Polri pada 19-21 November 2022 lalu. Dijadwalkan sebanyak 20 Aremania akan diperiksa dalam dua hari ini pada 19-20 Desember.
Dalam laporan Aremania terdapat sejumlah perwira Polri, antara lain mantan Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta, mantan Kapolres Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat, Satuan Samapta Polda Jatim, serta Satuan Brimob Polda Jatim. Mereka dinilai melanggar kode etik profesionalitas Polri dalam kasus Tragedi Kanjuruhan. Laporan versi Aremania tersebut merupakan kasus yang berbeda dengan kasus yang kini tengah diproses oleh Polda Jatim.
Di antara para pelapor yang diperiksa hari Senin itu, ada seorang perempuan yang turut menjadi korban. Perempuan itu bahkan kehilangan suami dan anak balitanya dalam tragedi itu.
”Ini tindak lanjut laporan kami ke Propam Polri pada 19-21 November 2022 lalu terkait Tragedi Kanjuruhan. Materi pemeriksaan kali ini terkait dugaan pelanggaran etik, dalam proses pengamanan dan penggunaan gas air mata pada peristiwa 1 Oktober 2022 di Tragedi Kanjuruhan. Kami menduga ada penggunaan kekerasan berlebih dan ada penggunaan kekuatan kepolisian di luar SOP (prosedur standar operasi). Untuk itu, kami mengujinya melalui laporan dugaan pelanggaran kode etik ini,” kata Kuasa Hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) Anjar Nawan Yusky.
Meski hanya berupa laporan pelanggaran etik, menurut Anjar, jika penyidikan atas kasus itu benar-benar serius, harapannya bisa melebar ke luar masalah pelanggaran kode etik Polri. ”Sanksi pelanggaran etik Polri ini bisa berupa tunda pangkat, demosi, hingga pemberhentian dengan tidak hormat. Namun, harapan kami, kasus ini tidak akan berhenti pada etik. Penyidik diharapkan bisa jauh membuka tabir kasus ini sebagaimana penyidikan kasus Sambo Cs yang akhirnya melebar ke mana-mana,” kata Anjar.
Anwar Mohammad Aris, kuasa hukum dari Tim Gabungan Aremania lainnya, menambahkan, pihaknya memiliki harapan besar atas kedatangan dan pemeriksaan Propam Polri kali ini.
”Yang kami permasalahkan adalah profesionalitas Polri. Kami punya harapan besar atas kedatangan Propam Polri ini, bisa menyelidiki dengan tuntas kasus ini. Tidak profesionalitasnya Polri dalam kasus Kanjuruhan, misalnya, adalah saat jelas-jelas rekonstruksi di Polda Jatim menyebut tidak ada penembakan gas air mata di tribune. Padahal, faktanya hal itu terjadi. Makanya, kami butuh rekonstruksi ulang,” kata Anwar.
”Dengan fakta hukum yang disampaikan langsung oleh korban dan keluarga korban kali ini, kami harap bisa menggugah nurani Polri dan meminta penyelidikan dan investigasi terhadap anggota Polri berpangkat perwira, terutama Irjen Niko Afinta yang harus bertanggung jawab pada Tragedi Kanjuruhan,” lanjutnya.
Menurut Anwar, mereka patut menduga bahwa Polri dalam hal ini Direktorat Reskrimum Polda Jatim tidak profesional dalam melakukan proses lidik, sidik, dalam Tragedi Kanjuruhan.
”Bahwa mereka hanya berkutat pada pasal 359 dan 360 KUHP (kelalaian menyebabkan kematian). Pasal itu hanya mampu menjerat pelaku-pelaku atau orang-orang yang bukan Polri atau aparat penegak hukum atau yang tidak berseragam. Lalu bagaimana dengan adanya korban anak-anak? Kenapa pelaku tidak dijerat UU Perlindungan Anak? Padahal ada korban anak. Kenapa tidak ada aturan dijadikan legal standing untuk menjerat aparat penegak hukum baik Brimob maupun Samapta?” kata pria yang juga merupakan pendamping dari Biro Hukum Federasi Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) tersebut.
Lalu bagaimana dengan adanya korban anak-anak? Kenapa pelaku tidak dijerat UU Perlindungan Anak? (Anwar Mohammad Aris)
Satu hal paling terlihat dalam ketidakprofesionalitasan Polri dalam kasus Kanjuruhan, menurut Anwar, adalah ucapan Irjen Nico Afinta sehari setelah kasus yang menyatakan penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur.
Elmiati (33), salah seorang korban Tragedi Kanjuruhan yang kehilangan suami dan anaknya dalam tragedi itu, mengaku ditanya seputar meninggalnya suami dan anaknya. Mereka bertiga pada malam itu menonton laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan. Saat tragedi terjadi, Elmiati bisa selamat, sedangkan suami dan anaknya meninggal dunia.
”Hari ini saya ditanya soal meninggalnya anak saya seperti apa. Harapannya, yang memerintahkan menembak di tribune segera diadili. Yang memerintahkan menembak adalah Pak Nico,” kata perempuan asal Blimbing tersebut.
Tragedi Kanjuruhan adalah kasus tewasnya 136 Aremania (dan dua polisi) pada 1 Oktober 2022, seusai laga liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Ratusan orang tewas seusai timbul kepanikan setelah polisi menembakkan gas air mata ke tribune penonton.
Dalam tragedi itu, Polri menetapkan enam tersangka sebagai pihak yang dinilai paling bertanggung jawab. Mereka adalah Ahmad Hadian Lukita (Direktur Utama Liga Indonesia Baru/LIB selaku penyelenggara Liga I), Abdul Haris (Ketua Panitia Pelaksana Arema), Komisaris Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Operasi Polres Malang), Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang), Ajun Komisaris Hasdarwan (Komandan Kompi Brimob Polda Jatim), dan Suko Sutrisno (Security Steward).
Beberapa hari setelah kejadian, Irjen Nico Afinta meminta maaf atas kekurangan saat pengamanan laga. Nico pun dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Jatim. Ia dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Kapolri.