Tragedi Kanjuruhan dan Kampung-kampung yang Berselimut Kain Hitam
Kami melihat kondisi tangga di pintu 13. Pegangannya patah dan pintu besi penyok bekas tekanan kuat. Pintu itu saksi bisu saat para suporter berdesakan keluar akibat tembakan gas air mata yang mengarah ke tribune.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Warga masih berdatangan ke Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Jumat (7/10/2022). Salah satu titik yang paling banyak didatangi adalah pintu 13 karena banyak terdapat korban di tempat ini. Di depan pintu 13 mereka menabur bunga dan mendoakan korban meninggal di Tragedi Kanjuruhan.
Kelamnya Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, masih membekas. Warga masih memendam duka karena kehilangan anak, suami, istri, dan teman untuk selama-lamanya.
Ratusan lainnya terluka di bagian mata, dada, tulang, kulit, dan bagian tubuh lain dalam peristiwa yang terjadi usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022.
Ungkapan duka mereka tuliskan di atas kain hitam yang membentang di banyak tempat di seantero Malang. Kami melihatnya berulang-ulang selama meliput tragedi ini, 27 Oktober-20 November 2022.
Bentangan kain hitam mulai terlihat di sekitar Bandara Abdul Rachman Saleh, Kabupaten Malang. Spanduk hitam pertama yang kami lihat bertuliskan ”Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan”.
Di pusat Kota Malang, bentangan kain hitam semakin sering kami temui di ruang-ruang publik. Salah satunya di depan Kantor Wali Kota Malang. Terlihat bentangan spanduk bertuliskan ”Saudara Kami Meninggal karena Gas Air Mata”, ”Korban Butuh Keadilan”, dan ”Tidak Ada Sepakbola Seharga Nyawa Manusia”.
Spanduk tuntutan agar kasus Tragedi Kanjuruhan diusut tuntas masih terpampang di sejumlah titik di area Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, seperti terlihat Kamis (20/10/2022), atau 20 hari pascatragedi yang menewaskan ratusan suporter Arema FC.
Kami mengira, spanduk-spanduk kain hitam itu hanya ada di wilayah kota. Ternyata, di kampung-kampung di wilayah Kabupaten Malang pun juga ada bentangan kain hitam itu, seperti terlihat di Desa Slorok, Kecamatan Kromengan.
Ada dua warga setempat yang menjadi korban meninggal saat menonton pertandingan di tribune selatan stadion. Belasan warga lainnya mengalami luka. Rata-rata berusia 20-30 tahun.
Kami khawatir, lambat laun kasus ini akan tenggelam tanpa ada tindak lanjut yang jelas.
Y (31), suporter Arema, mengatakan, keberadaan spanduk-spanduk itu sebagai ungkapan duka sekaligus kekecewaan warga terhadap tindakan represif aparat yang menggunakan gas air mata.
Pada Kamis (10/11/2022), ribuan suporter Arema FC menggelar demonstrasi 40 hari pasca-Tragedi Kanjuruhan di beberapa titik di daerah Malang Raya. ”Kami khawatir, lambat laun kasus ini akan tenggelam tanpa ada tindak lanjut yang jelas,” ucapnya.
Kekecewaan suporter yang diungkapkan lewat coretan di tembok Stadion Kanjuruhan, Senin (31/10/2022).
Absennya petugas
Seiring munculnya spanduk-spanduk kain hitam itu, kami jarang melihat polisi berseragam di jalanan Kota Malang. Beberapa pos polisi tampak sepi dan minim penjagaan. Kalaupun ada, satu dua petugas saja yang berjaga.
Terkait hal ini, TL (47), warga Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang, mengaku merasa tidak nyaman. Betapa pun warga masih membutuhkan polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tanpa kehadiran polisi, dia khawatir gangguan keamanan semakin meningkat. Proses hukum semestinya dapat berjalan tanpa meniadakan kehadiran aparat kepolisian di tengah-tengah warga.
”Kami butuh kehadiran polisi. Kalaupun ada yang terkait kasus Kanjuruhan, cukup yang terkait saja. Tidak semuanya tersangkut masalah di sana,” kata TL.
Menurut TL, situasi seperti ini tidak boleh terus berlangsung. Sebab, bisa jadi ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. ”Kami sebenarnya khawatir kalau ini terus terjadi, tingkat kriminalitas di Malang bisa meningkat,” katanya.
TL miris, ada sejumlah anggota kepolisian sampai harus mengenakan jaket saat makan di warung. Ia menduga, ini disebabkan perkembangan situasi di Malang Raya yang sedang tidak baik-baik saja.
Dia berharap, kecaman tidak asal ditujukan ke semua personel polisi karena yang tidak bersalah tidak perlu turut menanggung beban dalam tugasnya.
Dukungan untuk penuntasan kasus Tragedi Kanjuruhan melalui media mural tergambar di bawah jembatan layang Bintaro, Jakarta, Minggu (6/11/2022). Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 Aremania akibat berdesak-desakan setelah polisi menembakkan gas air mata ke tribune di Stadion Kanjuruhan menjadi salah satu indikator menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian. Hal itu berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas.
Dampak psikis
Salah satu pentolan suporter Arema, S, melihat dampak tragedi ini juga merembet ke psikis keluarga polisi. Istri dan anak-anak polisi seperti ikut menanggung beban psikis akibat tragedi itu. Mereka ikut dihujat karena suami atau ayahnya yang polisi dianggap sebagai penyebab kematian banyak orang di Stadion Kanjuruhan.
”Padahal, anak-anak polisi yang diledek itu tidak tahu apa-apa, kasihan mereka jadi korban perundungan,” ucapnya.
Mantan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, polisi perlu melakukan pendekatan humanis agar bisa diterima kembali oleh warga Malang.
Kami juga melihat mural bertuliskan ”Seng Bapake Polisi Gak Usah Dibolo” di salah satu tembok pinggir jalan. Arti tulisan tersebut, 'yang bapaknya polisi tidak usah ditemani'.
Mural bertuliskan ”Kalian Bawa Senapan, Kami Bawa Harapan” juga terlihat di tembok Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Tidak hanya itu, ada juga coretan di tembok stadion bertuliskan ”Gas Air Mata Versus Air Mata Ibu”.
Mantan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, polisi perlu melakukan pendekatan humanis agar bisa diterima kembali oleh warga Malang. ”Contohnya, Kapolri datang lagi ke Malang tanpa mengenakan seragam polisi dan menemui para korban,” ujarnya.
Rompi steward yang ditumpuk di sisi lapangan Stadion Kanjuruhan, Senin (31/10/2022). Rompi-rompi ini digunakan untuk menutup wajah jasad korban tragedi Kanjuruhan, Sabtu (01/10/2022) .
Sepatu tak bertuan
Hari Senin (31/10/2022), kami masuk ke Stadion Kanjuruhan untuk melihat langsung kondisi pascatragedi. Bekas rompi steward (penjaga pertandingan) tampak tergeletak di rumput lapangan. Rompi-rompi itu bekas dipakai untuk menutupi jenazah korban meninggal saat upaya evakuasi.
Ada pula berbagai properti penonton yang tercecer, seperti bekas tiket gelang, kacamata, dan sepatu. Barang-barang itu terpisah dari pemiliknya ketika situasi di dalam dan luar stadion rusuh dalam peristiwa 1 Oktober lalu.
”Rompi-rompi ini digunakan untuk menutup wajah jasad korban yang kami evakuasi dari tiap penjuru stadion,” ucap salah satu steward yang menemani kami ke dalam stadion.
Dia kemudian tak kuasa melanjutkan cerita. Kenangan pedih masih membekas karena menyaksikan peristiwa itu.
Akankah korban mendapat keadilan? Apakah semua yang bersalah, tanpa terkecuali, akan bertanggung jawab?
Kami lalu melihat kondisi tangga di pintu 13 yang menjadi saksi bisu saat para suporter berdesakan keluar setelah gas air mata ditembakkan ke arah tribune selatan. Pegangan tangga terlihat patah, pintu besi penyok ke arah luar akibat tekanan amat kuat dari dalam saat kejadian. Aroma wangi bunga yang ditaburkan di luar pintu 13 tercium jelas hingga ke area tangga ini.
Sulit membayangkan bagaimana rasanya berdesakan di area sesempit itu di tengah kepungan gas air mata. Tak ada bayangan pula bagaimana cerita ini akan berakhir.
Apakah akan berlalu begitu saja dan pelan-pelan dilupakan? Akankah korban mendapat keadilan? Apakah semua yang bersalah, tanpa terkecuali, akan bertanggung jawab?