Para korban kekerasan seksual masih harus berjuang keras menyuarakan hak untuk mendapatkan keadilan serta pemulihan mental.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
AL telah keluar dari penjara! Informasi itu terus membayangi pikiran Ng (40), ibunda Ni (13), korban pencabulan sang guru agama, AL.
Tak disangka-sangka, Ng melihat AL melintas di jalan kampung mereka di Kota Jambi. Ia benar-benar telah bebas dari penjara. Ng pun bergegas pulang untuk memberi tahu sang putri. Ni diwanti-wanti agar berhati-hati. Jangan lagi bermain di sekitar rumah. Begitu pula berangkat ke sekolah harus diantar dan pulang langsung dijemput. ”Jangan sampai anak kami jadi korban lagi,” katanya, Sabtu (17/12/2022).
Langkah itu diambil demi melindungi anaknya. Perjuangan untuk menjauhkan si pelaku kejahatan dari kehidupan mereka di kampung itu sangatlah sulit. Tak hanya dirinya, para orangtua korban lainnya sudah pernah meminta kepala kampung untuk memindahkan pelaku, tetapi gagal. Karena minimnya dukungan perlindungan itulah, para korban dan keluarganya terpaksa berjuang sendiri. Mereka membangun benteng perlindungan sendiri.
AL merupakan guru agama berstatus pegawai negeri sipil yang membuka praktik kursus belajar agama di rumahnya. Dua tahun silam, ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh majelis hakim Mahkamah Agung. Ia terbukti mencabuli anak-anak didik yang mengikuti kursus di rumahnya.
Perbuatan cabulnya terungkap saat salah seorang anak meminta berhenti diajar. Setelah ibunya menanyakan, anak perempuan itu akhirnya bercerita akan kejahatan yang dialaminya. Kasus itu dengan cepat menyeruak. Belakangan diketahui korban AL rupanya mencapai belasan anak.
AL kini bebas setelah menjalani dua tahun masa hukuman, lebih singkat dari vonis. Hal itulah yang meresahkan para keluarga korban. ”Padahal baru dua tahun dipenjara, tetapi sudah bebas. Mungkin, dia mendapatkan remisi,” keluh Ng.
Selama masa-masa itu, ia sebenarnya berharap akan adanya dukungan pemulihan psikis dari negara. Akan tetapi, selama itu hanya satu kali saja ada psikiater didatangkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Jambi. Hingga kini, anaknya masih sering kali tampak gelisah dan emosional jika teringat peristiwa yang dialami.
”Anak-anak kami trauma atas kekerasan yang dialami. Mereka butuh pemulihan mental,” tambahnya.
Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan, yang mendampingi korban dan keluarganya, menceritakan, kasus-kasus kekerasan seksual kurang mendapatkan dukungan. Malahan yang terjadi, korban mendapatkan stigma negatif ketimbang mendapatkan perlindungan. Sering kali perlakuan tak berpihak itu mereka alami di tengah traumatik yang besar.
Suara korban
Karena itulah, pihaknya bekerja sama dengan mahasiswa dan sukarelawan untuk menyuarakan beban dan harapan para korban. Suara para korban dihadirkan dalam pameran karya dan instalasi di Taman Budaya Jambi, Kamis-Jumat (15-16/12/2022).
Suasana pameran sarat akan nuansa pilu. Dihadirkan pakaian-pakaian korban sewaktu mengalami musibah kekerasan, dilengkapi narasi tentang kejahatan yang mereka alami.
Hadir pula sejumlah pakaian dan boneka-boneka Kl (5) bocah cilik yang tewas dibunuh dan dibuang dalam kolam septik, Juli silam. Kl adalah korban kekerasan seksual. Tim dokter memastikan adanya bukti-bukti kekerasan pada organ vitalnya.
Sudah lima bulan berlalu, kata Zubaidah, kasus Kl belum mampu diungkap aparat Kepolisian Daerah Jambi. Padahal keluarga korban sangat berharap akan penegakan hukum yang seadil-adilnya. ”Belum ada penetapan tersangka hingga hari ini,” ujarnya.
Nur Hidayat, kurator dari Cinema Universitas Sulthan Thaha Syaifudin Jambi, menceritakan, ada sebanyak 30 karya dari keluarga dan korban kekerasan seksual. Sebagian besar berupa foto, tulisan, dan gambar hasil karyanya untuk dipamerkan.
Di antaranya adalah goresan-goresan tangan mereka sendiri yang menceritakan kejahatan yang telah dialami. ”Kami ditutup mulutnya biar nggak teriak…. Setelah ngaji, kami disuruh masuk ke kamar sebelah, yang kecil. Kami tidak boleh lihat ke mana-mana. Disuruh lihat ke buku bae. Lalu guru kami mengimpit punggung kami. Kami tidak bisa teriak karena takut dicekik”, salah satu goresan tangan korban pencabulan.
”Ini hantu yang melecehkan kami. Dia akan bebas satu bulan lagi. Kami takut. Kami tidak mau hantu itu bebas,” tulis salah seorang korban lainnya pada sebuah sosok hantu yang ia gambarkan sebagai sang pelaku.
Catatan tahunan yang dibuat Komisi Nasional Perempuan juga menyebutkan, sebanyak 299.911 kasus kekerasan seksual pada perempuan terjadi tahun 2020. Hasil survei menunjukkan banyak korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku atau korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam. Korban didapati mengalami persoalan literasi teknologi. Persoalan lainnya, model layanan pengaduan belum memadai.
Selain merekomendasikan perlunya penegakan hukum yang adil, Komnas Perempuan juga mengusulkan adanya penambahan sistem pelayanan rumah aman bagi perempuan korban, memberikan penguatan psikososial kepada korban, serta mendorong perlindungan sosial dan kesehatan
Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Provinsi Jambi Dalmanto mengatakan, untuk membantu meringankan beban para korban kekerasan seksual, pihaknya mengupayakan program pemulihan psikis dan bantuan sosial. Caranya dengan mendatangkan psikiater berkomunikasi dengan korban. Namun, diakuinya itu masih perlu dimaksimalkan.