Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Masih Terabaikan
Pameran Karya Korban Kekerasan Seksual di Jambi nembawa pesan dan harapan akan penegakan hukum yang kuat, penghapusan stigma bagi korban, serta dukungan pemulihan dan pemberdayaan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Pameran Karya Korban Kekerasan Seksual di Taman Budaya Jambi pada Kamis hingga Jumat (15-16/12/2022) menyuarakan harapan para korban. Membawa pesan dan harapan akan adanya penegakan hukum yang kuat, penghapusan stigma bagi korban, serta dukungan pemulihan dan pemberdayaan para penyintas.
JAMBI, KOMPAS — Pemulihan psikis belum menyentuh para korban kekerasan seksual. Banyak korban menjalani hidupnya di tengah trauma dan stigma, serta menjalani proses hukum yang kurang berpihak.
Pameran Karya Korban Kekerasan Seksual di Taman Budaya Jambi Kamis hingga Jumat (15-16/12/2022) menyuarakan harapan para korban. ”Membawa pesan dan harapan akan adanya penegakan hukum yang kuat, penghapusan stigma bagi korban, serta dukungan pemulihan dan pemberdayaan,” ujar Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan selaku penyelenggara pameran.
Pameran itu menampilkan karya seni para korban berupa gambar dan cerita yang mengekspresikan suara hati mereka. Ada pula pakaian sejumlah korban pedofilia dan pemerkosaan, serta korban kekerasan seksual lainnya yang berujung tewasnya korban, turut dihadirkan dalam pameran.
Menurut Zubaidah, upaya itu jadi sarana berkisah akan pengalaman pahit yang dialami para korban. ”Publik jadi lebih dapat merasakan dalam kepedihan yang dialami korban,” tambahnya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Pameran Karya Korban Kekerasan Seksual di Taman Budaya Jambi pada Kamis hingga Jumat (15-16/12/2022) menyuarakan harapan para korban. Membawa pesan dan harapan akan adanya penegakan hukum yang kuat, penghapusan stigma bagi korban, serta dukungan pemulihan dan pemberdayaan para penyintas.
Salam satu bilik ruang pameran diperlengkapi dengan audio yang menggambarkan suara-suara para korban yang tengah memanggil-manggil untuk mendapatkan keadilan dan pertolongan. Samar-samar suara audio dari bilik tersebut mengundang rasa penasaran pengunjung, sekaligus membangunkan empati yang lebih mendalam.
Pihaknya telah menerima32 pengaduandengan 6 jenis kasus. Yang paling menonjol adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan dalam bentuk pencabulan dan pemerkosaan. Rata-rata korban tidak memiliki akses komprehensif terhadap layanan pemulihan dan akses hukum dari negara. ”Situasi ini makin memperdalam beban trauma yang dihadapi oleh korban,” tambahnya.
Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, lanjutnya, belummampumendorongpembenahansistemlayanan yang mendekatkan akses keadilan bagi korban, khususnya di daerah.
Karya korban berupa tulisan dan puisi terinspirasi dari instalasi baju korban perkosaan bertajuk ”Is it my fault” yang pernah di gelar di Belgia. Baju korban dapat menjadi simbol korban untuk melawan budaya victim blaming bahwa perkosaan tidak terjadi karena pakaian korban, tapi karena motif pelaku untuk menaklukkan tubuh korban.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Pameran Karya Korban Kekerasan Seksual di Taman Budaya Jambi pada Kamis hingga Jumat (15-16/12/2022) menyuarakan harapan para korban. Membawa pesan dan harapan akan adanya penegakan hukum yang kuat, penghapusan stigma bagi korban, serta dukungan pemulihan dan pemberdayaan para penyintas.
Nur Hidayat dari Cinema Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha selaku kurator pameran menceritakan, ada lebih dari 20 hasil karya korban. Ada pula karya fotografi dan videografi selama berlangsungnya pameran. Pemilihan instalasi karya seni para korban, lanjutnya, sebagai ruang ekspresi menyampaikan luka dan harapan. Hal ini juga sebagai upaya memecah kebungkaman para korban dan penyintas.
Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Provinsi Jambi Dalmanto mengatakan, pihaknya telah membuat program pemulihan psikis dan bantuan sosial bagi korban kekerasan seksual. Caranya ialah dengan mendatangkan psikiater berkomunikasi dengan korban. Namun, diakuinya, itu masih perlu dimaksimalkan.
Salah seorang ibu korban kekerasan seksual, Neneng, menceritakan dukungan negara memberi pendampingan dan pemulihan psikis bagi anaknya dan juga anak-anak lain yang menjadi korban sangat minim. Kasus yang dialami anaknya berupa pencabulan hanya menyeret pelaku dengan hukuman tiga tahun penjara. Selain itu, di tengah trauma yang dialami anaknya, bantuan pemulihan psikis juga hanya berlangsung satu kali.
”Setelah itu tidak ada lagi kunjungan dari psikiater negara,” katanya.