Jajak pendapat ”Kompas” menunjukkan 53,5 persen responden mengaku belum puas terhadap kinerja pemerintah dalam penegakan hukum pada kasus perempuan korban kekerasan. Perlu upaya serius mengatasinya.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·3 menit baca
Belum kuatnya jaminan keadilan bagi korban kekerasan berbasis jender menambah daftar panjang pekerjaan rumah pemerintah di bidang penegakan hukum. Kekerasan berbasis jender, khususnya yang merundung perempuan, masih berujung pada penuntasan yang belum berkeadilan.
Peringatan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Internasional pada 25 November menjadi momentum mengingatkan kembali bangsa ini betapa pentingnya menjamin keadilan hukum bagi perempuan korban kekerasan. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu merekam, 53,5 persen responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam penegakan hukum, terutama terkait dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Temuan jajak pendapat ini menguatkan hasil Survei Nasional Kompas yang menunjukkan tren negatif terkait kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum.
Pada survei nasional Oktober 2022, kepuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menjamin perlakuan yang sama di depan hukum tercatat berada di angka 45,3 persen. Angka ini turun 10 poin dari survei Juni 2022. Rapor kurang baik juga tampak pada kinerja pemerintah dalam penuntasan kasus hukum. Pada Oktober 2022, hanya 54,8 persen responden yang mengapresiasi kerja pemerintah di aspek ini. Pencapaian itu turun hampir lima poin dari periode survei sebelumnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan terbilang dekat dengan kehidupan masyarakat. Jajak pendapat Kompas juga menangkap, sebanyak 12,4 persen responden mengakui memiliki pengalaman terkait kasus ini yang menimpa anggota keluarga perempuannya.
Namun, sebagian besar responden yang anggota keluarganya pernah mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan ini cenderung menghindari penyelesaian hukum. Hampir separuh responden menyebutkan, kasus kekerasan yang menimpa anggota keluarga perempuannya ini diselesaikan secara kekeluargaan. Penyelesaian kasus kekerasan dengan model kekeluargaan seperti ini cenderung masih menyisakan potensi ketidakadilan, terutama bagi korban.
Bahkan, tidak sedikit yang justru menganggap kasus kekerasan yang menimpa keluarga mereka menjadi ”aib” sehingga cenderung mendiamkan. Setidaknya gejala ini juga tertangkap dalam jajak pendapat. Sebanyak 17,5 persen responden yang keluarganya pernah mengalami kasus kekerasan terhadap perempuan mengaku cenderung menyimpan kasus tersebut sebagai rahasia keluarga korban. Bahkan, tidak sedikit yang juga menjawab kasus tersebut tidak diselesaikan dan dibiarkan menggantung.
Ketidakadilan
Belum masifnya penyelesaian kasus kekerasan pada perempuan lewat jalur hukum meningkatkan potensi ketidakadilan bagi korban. Apalagi, jalur ”damai” ataupun restorative justice juga semakin merendahkan harkat perempuan. Salah satunya lewat upaya menikahkan korban dan pelaku.
Misalnya dalam penyelesaian kasus pemerkosaan pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan UKM oleh empat rekan kerjanya yang kemudian dipaksa menikah dengan salah satu pelaku yang masih lajang. Kasus ini bergulir sejak 2019 dan korban masih mencari keadilan hingga kini.
Sebelumnya, upaya menikahi korban oleh pelaku juga tampak pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan anak anggota DPRD Bekasi, Jawa Barat, berinisial AT, terhadap anak di bawah umur, PU. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, AT menyebut akan menikahi korban yang disinyalir sebagai upaya lepas dari hukuman.
Dua kasus di atas hanyalah puncak gunung es. Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dalam laporan Barometer Kesetaraan Jender Tahun 2020 menyebutkan, ada 26,2 persen korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku sebagai bentuk penyelesaian. Artinya, keadilan untuk perempuan sebagai korban masih ibarat api jauh dari panggang.
Seperti yang dikutip dari laman cpps.ugm.ac.id, 5 Juli 2021, peneliti jender Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Widyaningrum, menilai, menikahkan korban dengan pelaku berarti menjebak korban dalam lingkaran kekerasan seumur hidup. Korban berpotensi mengalami multiple forms of violence. Tidak hanya itu, menikahkan korban mengingkari upaya menghentikan kekerasan itu sendiri. Kekerasan justru dilegalkan dalam ikatan pernikahan.
Kesadaran
Jajak pendapat juga menangkap, sebagian besar responden mengaku sudah memahami dan tahu kekerasan terhadap perempuan tidak sekadar fisik semata, tetapi juga terjadi dalam bentuk psikis dan ekonomi.
Kekerasan ekonomi sendiri tercantum di Pasal 9 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal ini melarang setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Jamak diketahui, kasus kekerasan terhadap perempuan tidak sedikit yang dipicu masalah ekonomi dalam rumah tangga.
Namun, jika dilihat lebih dalam, pengetahuan soal kekerasan terhadap perempuan ini cenderung lebih banyak disebutkan responden perempuan dibandingkan laki-laki. Hal yang sama juga dilihat dari pendidikan. Responden dengan pendidikan tinggi lebih banyak yang memahami dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Pada akhirnya, edukasi menjadi pilar penting untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap kekerasan berbasis jender. Sudah saatnya kita mengakhiri pengabaian kasus kekerasan terhadap perempuan ini dengan memperlebar jaminan keadilan hukum bagi perempuan yang menjadi korban.