Perlindungan perempuan dan anak masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Berbagai kekerasan hingga kini masih mengancam perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan merupakan kewajiban semua pihak. Komitmen dan sinergi yang kuat lintas pemangku kepentingan sangat penting menyusul semakin kompleksnya permasalahan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
”Guna mencapai hasil yang optimal berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas, harus dilakukan konvergensi dalam kebijakan dan program mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada monitoring dan evaluasi, serta berada dalam sistem pembangunan,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pembangunan PPPA Tahun 2022, Selasa (13/9/2022), di Tangerang, Banten.
Pada Rakornas yang mengambil tema ”Konvergensi Kebijakan dan Program Perlindungan Perempuan dan Anak”, Bintang Darmawati menegaskan indikator dan target keberhasilan pembangunan PPPA yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis Kementerian PPPA seharusnya juga menjadi indikator dan target keberhasilan perlindungan perempuan dan anak di pusat dan di daerah.
”Penetapan program strategis di tingkat pusat harus dapat menjawab kebutuhan pembangunan di daerah, begitu pula sebaliknya,” ujar Bintang.
Laporan Human Development Report yang baru saja diluncurkan menunjukkan kemerosotan dialami oleh hampir semua negara, termasuk Indonesia.
Menteri PPPA juga mengingatkan amanat dari Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) soal pembentukan penyelenggaraan layanan terpadu di setiap daerah. Melalui layanan tersebut, korban kekerasan seksual akan diterima dan ditangani langsung di tempat dan tidak berpindah dari satu instansi ke instansi lainnya. Pemerintah daerah yang belum membentuk unit pelayanan teknis daerah (UPTD) PPPA wajib membentuknya paling lambat tiga tahun sejak UU TPKS diundangkan.
Alokasikan DAK
Untuk membantu pelaksanaan kewenangan daerah dalam menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatkan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, Menteri PPPA mengatakan, mulai tahun 2021 pemerintah pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK NF PPA) dan berlanjut tahun 2023 sebesar Rp 132 miliar.
”Harapan kami, DAK NF PPA benar-benar dimanfaatkan seoptimal dan seefektif mungkin di daerah untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi perempuan dan anak korban kekerasan, tindak pidana perdagangan orang, dan anak berhadapan dengan hukum,” kata Bintang.
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Kementerian PPPA Destri Handayani dalam laporannya menyatakan, Rakornas PPPA Tahun 2022 ini bertujuan memperkuat komitmen pemangku kepentingan dalam melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dan TPPO, melalui pemetaan program/kegiatan, kelompok sasaran, dan sumber pendanaan perlindungan perempuan dan anak di pusat dan daerah.
Selain itu, memastikan keselarasan program dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak antara pusat dan daerah serta terciptanya mekanisme pengawasan dan evaluasi secara bersama dan berkelanjutan.
Rakornas PPPA juga diharapkan menyepakati konvergensi program dan kegiatan perlindungan perempuan dan anak di tahun 2022 dan 2023 di tingkat pusat pada kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan lainnya.
”Hasil yang diharapkan dari acara ini adalah tersusunnya rekomendasi untuk penguatan rencana aksi perlindungan perempuan dan anak ke depan dan tersedianya peta program atau kegiatan, kelompok sasaran, dan sumber pendanaan perlindungan perempuan dan anak di tahun 2022 dan 2023,” kata Destri.
Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan Misiyah menyatakan, meskipun banyak kemajuan yang dicapai, tantangan dalam perlindungan perempuan dan anak juga semakin berat mengingat pandemi Covid-19 menimbulkan dampak jangka panjang.
”Laporan Human Development Report yang baru saja diluncurkan menunjukkan kemerosotan dialami oleh hampir semua negara termasuk Indonesia. Yang mesti menjadi perhatian serius adalah penilaian khusus tentang indeks norma sosial jender,” kata Misiyah.
Data tersebut menunjukkan, di Indonesia orang yang tidak memiliki bias (bias jender) sangat mengejutkan, yaitu hanya 0,34 persen atau sangat jauh tak tertandingkan ketertinggalannya dari negara yang paling tinggi sebesar 68,24 persen.
”Bagaimana Rakornas PPPA merespons isu bias jender tersebut dalam masyarakat, institusi-institusi sosial, bahkan di dalam kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,” kata Misiyah.