Akademisi: Celah Peraturan dan Masalah Parpol Melanggengkan Praktik Korupsi
Para akademisi melihat ada celah dalam undang-undang dan mekanisme di tubuh partai politik yang turut menjadi penyebab korupsi tak kunjung usai.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Setelah 20 tahun perubahan Undang-Undang Dasar 1945, praktik korupsi belum juga berhenti dari tingkat pusat hingga daerah. Sejumlah nama anggota DPR, kepala daerah, dan pejabat masih saja terjerat korupsi. Para akademisi melihat ada celah dalam undang-undang dan mekanisme di tubuh partai politik yang turut menjadi penyebab korupsi tak kunjung usai.
Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi publik bertajuk ”Korupsi Partai Politik dalam Penyelenggaraan Pemilu: Evaluasi 20 Tahun Perubahan UUD 1945” yang berlangsung daring, Selasa (15/11/2022). Forum itu diselenggarakan oleh Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Samarinda, dan Constitutional and Administrative Law Society.
Berdasarkan kajiannya, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi FH Unmul, Orin Gusta Andini, menyimpulkan, relasi korupsi dan partai politik sulit dipisahkan. Sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh kader partai politik yang menang pemilu, baik itu pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif. Beberapa yang lain merupakan anggota partai.
Dalam kajian Orin, dalam dua dekade terakhir kasus korupsi didominasi oleh kasus suap, baik itu suap izin usaha maupun dalam proyek pengadaan barang. Itu bersesuaian dengan data Komisi Pemberantasan Korupsi yang dirilis pada 2 Januari 2022. KPK mencatat, 64 persen kasus yang ditangani merupakan kasus suap. Itu dilakukan oleh kepala daerah, anggota DPR, hingga pejabat setingkat menteri.
Sejumlah kasus korupsi juga dilakukan oleh petinggi partai, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di Kalimantan Timur, misalnya, Abdul Gafur Mas’ud (AGM) ditangkap KPK pada Januari 2022 saat menjabat sebagai Bupati Penajam Paser Utara. AGM saat itu juga tercatat sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Balikpapan. Ada juga dugaan uang korupsi mengalir ke partainya.
”Sehingga kuat dugaan ketika aliran dana itu mengalir ke partai politik, maka parpol sebenarnya bisa dikatakan penikmat hasil tindak pidana korupsi yang dihasilkan oleh mereka yang punya posisi penting di dalam partainya,” kata Orin.
Dalam kajiannya, Orin menemukan penyebab klise dalam praktik korupsi di negeri ini, yakni adanya biaya politik yang tinggi. Itu terjadi dalam politik uang atau vote buying dan uang mahar politik yang rentan terjadi dalam setiap tahapan pemilu.
Sehingga kuat dugaan ketika aliran dana itu mengalir ke partai politik, maka parpol sebenarnya bisa dikatakan penikmat hasil tindak pidana korupsi yang dihasilkan oleh mereka yang punya posisi penting di dalam partainya.
Alhasil, para anggota partai yang bakal berkontestasi dalam pemilu butuh injeksi dana yang besar. Pemilik modal diikutsertakan dalam pemilu untuk bisa menyuplai politik uang. Akibatnya, saat menjabat sebagai penguasa, para kader partai itu ingin mengembalikan atau bahkan mendulang untung setelah pemilu.
”Perbuatan curang selama penyelenggaraan pemilu itu turut membawa dampak lanjutan pada terjadinya korupsi saat dia sudah menjabat,” ujar Orin.
Tindak pidana korupsi, kata Orin, adalah tipikal perbuatan yang dilakukan bersama-sama. Adapun orang yang melakukannya adalah yang memiliki spesifikasi tertentu, seperti punya kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan kebijakan publik. Akhirnya, korupsi itu adalah akibat dari terpilihnya orang-orang melalui proses yang tak sehat.
Mahalnya ongkos politik
Akademisi FH Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safaat, mengatakan, saat ini jamak ditemui praktik ”saling membajak” tokoh dari partai lain. Itu dilakukan untuk mendulang kemenangan dalam pemilu karena tokoh tersebut punya elektabilitas dan publisitas tinggi.
Fungsionaris atau ketua partai politik beberapa kali menyatakan itu menjadi salah satu penyebab tingginya biaya politik. Akibatnya, banyak terjadi praktik korupsi yang banyak dilakukan oleh politisi untuk mengembalikan modal politik.
”Walaupun tentu saja itu tidak dapat dibenarkan begitu saja karena soal biaya politik yang tinggi tentu saja bergantung bagaimana partai politik itu bisa mengorganisasi (keuangan) partai tersebut,” kata Ali Safaat.
Selain itu, presidential threshold atau adanya ambang batas untuk pencalonan presiden juga dinilai rentan politik transaksional. Sebab, hal itu tak memberikan peluang kontestasi bagi partai yang memiliki suara sedikit atau masyarakat nonpartai dalam pemilihan umum.
Akibatnya, kandidat pemilihan presiden hanya dikuasai oleh partai politik besar. ”Itu mempersempit ruang partisipasi bagi parpol yang meraih suara kecil. Padahal, partai kecil juga seharusnya punya hak untuk mencalonkan calon terbaik. Akhirnya mereka terpaksa berkoalisi dengan partai besar,” kata Ichsan Kabullah dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah belum adanya demokratisasi dalam proses pencalonan anggota partai yang bakal mengikuti pemilu. Selama ini, UU Partai Politik dan UU Pemilu tidak memberikan aturan yang lebih detail tata cara perekrutan yang demokratis dan terbuka.
Peraturan yang ada saat ini mendelegasikan mekanisme penentuan calon pemimpin dalam pemilu kepada partai politik. Misalnya, dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada, mekanisme pencalonan untuk calon kepala daerah diserahkan ke pengurus pusat partai. Setiap kepala daerah yang akan maju ke pemilihan gubernur, bupati, dan pemilihan wali kota harus mendapatkan surat persetujuan dari ketua umum dan juga sekretaris jenderal partai di tingkat pusat.
”Artinya, mekanisme desentralisasi kewenangan dalam proses perekrutan pencalonan parpol di level provinsi dan kabupaten pun itu tidak ada. Semua ditarik ke (pengurus partai) pusat,” kata Heroik M Pratama dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menurut Heroik, praktik korupsi yang selama ini terjadi juga perlu dilihat dari sistem yang tertutup di tubuh partai politik itu sendiri. Demokratis dan terbuka di tubuh partai politik adalah kunci utama untuk keluar dari praktik korupsi para kader partai saat menjabat.