Kekerasan Seksual pada Anak di Aceh, Perlindungan Lemah dan Hak Korban Terabaikan
Perkara di Mahkamah Syar'iyah Blangpidie, terdakwa pelaku pemerkosaan seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, sedangkan korban perempuan berusia 7 tahun. Hakim menilai alat bukti tidak cukup sehingga terdakwa dibebaskan
Kasus kekerasan seksual pada anak di Provinsi Aceh adalah peristiwa yang terus berulang. Upaya perlindungan lemah dan hak korban pun tak kunjung dipenuhi. Aceh memiliki qanun (peraturan daerah/perda) Hukum Jinayat. Namun, qanun itu dianggap tidak memihak pada korban. Dalam konteks perlindungan anak, Aceh justru mengalami kemunduran.
Pada 25 Mei 2022, Majelis Hakim Mahkamah Syar'iyah Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa pemerkosaan terhadap anak. Majelis hakim berdalih alat bukti tidak cukup sehingga terdakwa dinyatakan tidak bersalah.
Di Aceh, kasus kekerasan seksual pada anak ditangani menggunakan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sehingga disidang oleh pengadilan agama, Mahkamah Syar'iyah. Sebagai daerah otonomi khusus, Aceh diberikan kewenangan menerapkan qanun syariat Islam. Sementara di provinsi lain, kasus serupa ditangani menggunakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Vonis bebas di Blangpidie menambah daftar panjang terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dibebaskan oleh hakim Mahkamah Syar'iyah. Tahun 2021, Mahkamah Syar'iyah Provinsi Aceh membebaskan tiga terdakwa.
Baca juga: Pemprov Aceh Didesak Tetapkan Status Darurat Kekerasan Seksual
Pada perkara di Mahkamah Syar'iyah Blangpidie, terdakwa pelaku pemerkosaan adalah anak laki-laki berusia 14 tahun dengan korban anak perempuan berusia 7 tahun. Hakim menilai alat bukti tidak cukup sehingga terdakwa dibebaskan. Padahal, kuasa hukum korban telah mengajukan hasil visum, celana dalam dengan bercak darah, dan keterangan psikolog. Namun, hakim menyatakan terdakwa tidak bersalah.
Kuasa hukum korban, Rahmat Jeri Bonsapia, mengatakan, jaksa penuntut umum akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun kuasa hukum terdakwa, Tarmizi Yakub, mengatakan, terdakwa difitnah, padahal dia tidak pernah melakukan pemerkosaan terhadap korban.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul dalam webinar ”Urgensi Penguatan Kebijakan Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual di Aceh”, Selasa (2/8/2022), menuturkan, vonis bebas terdakwa di Blangpidie adalah contoh betapa penegakan hukum tidak memihak pada korban.
Baca juga: Catatan Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Seminar tersebut digelar oleh Flower Aceh, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada isu perempuan dan anak. Menurut Syahrul, Qanun Jinayat lemah bagi korban. Pihak korban dibebankan untuk mengajukan bukti fisik dan saksi, padahal dalam kasus kekerasan seksual bukti fisik dan saksi sulit dihadirkan.
”Seharusnya bukti bisa berupa pernyataan psikolog dan luka fisik bekas kekerasan yang ada pada tubuh korban. Ini yang menjadi celah untuk membebaskan pelaku,” ujar Syahrul.
Dalam qanun juga disebutkan jika terdakwa bersedia bersumpah atas nama Allah bahwa tidak melakukan pelecehan atau pemerkosaan, maka dia dapat dibebaskan dari tuntutan. Menurut Syahrul, poin ini menguntungkan pelaku.
Syahrul menambahkan, ancaman hukuman di dalam qanun membolehkan hakim memilih cambuk, denda, ataupun kurungan. Di bawah tahun 2020, sebagian terdakwa divonis cambuk. Setelah mendapat sorotan dari publik, Mahkamah Agung menerbitkan surat edaran meminta hakim menjatuhkan vonis penjara.
Baca juga: Lindungi Anak Aceh dari Predator, Revisi Qanun Jinayat Mendesak
Dalam Pasal 47 Qanun Jinayat disebutkan, hukuman maksimal untuk pelaku pelecehan seksual pada anak adalah cambuk 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan. Adapun pada Pasal 50, hukuman maksimal bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak adalah cambuk maksimal 200 kali atau denda 2.000 gram emas atau penjara 200 bulan.
Akan tetapi, menurut Syahrul, selama dalam qanun diberi pilihan bentuk hukuman tidak ada jaminan hakim akan selalu memilih vonis penjara. ”Jika hukuman cambuk, setelah dicambuk pelaku kembali ke kampung dan bertemu lagi dengan korban. Bisa dibayangkan bagaimana psikologis korban,” ujar Syahrul.
Pemenuhan hak
Kelemahan Qanun Jinayat lainnya tidak mengatur tentang hak restitusi bagi korban. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Padahal, korban berhak mendapatkan restitusi untuk memulihkan trauma hingga memastikan keberlangsungan hidup.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh, sejak 2018 hingga 2021, tercatat 392 anak menjadi korban pemerkosaan. Syahrul menilai tidak semua korban mendapatkan haknya, baik berupa restitusi maupun hak dari negara.
Baca juga: Diperkosa Pacar, Anak di Bawah Umur di Aceh Hamil
Banyaknya kasus pemerkosaan terhadap anak menunjukkan Qanun Jinayat belum mampu mencegah dan melindungi anak dari kejahatan seksual. ”Qanun Jinayat belum optimal mencegah kekerasan seksual pada anak,” ujar Syahrul.
Oleh karena itu, LBH Banda Aceh dan organisasi masyarakat sipil perempuan dan anak mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar merevisi Qanun Jinayat dengan menghapus Pasal 47 dan 50 yang mengatur ancaman hukuman dalam kasus pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak.
Jika dua pasal itu dihapus, penanganan perkara kejahatan seksual terhadap anak akan kembali ke UU Perlindungan Anak. Menurut Syahrul, UU Perlindungan Anak mengatur lebih komprehensif daripada Qanun Jinayat.
Anggota DPRA, Bardan Sahidi, juga menilai Qanun Jinayat belum sempurna, perlindungan terhadap korban lemah dan hukuman untuk pelaku ringan. Oleh karena itu, DPRA sepakat untuk merevisi qanun dengan memperkuat perlindungan dan memperberat hukuman.
Baca juga: Hambatan Mendapatkan Keadilan bagi Anak Korban Pelecehan Seksual di Aceh
Bardan mengatakan, dua pasal yang diusulkan dihapus tetap akan dipertahankan, tetapi direvisi dengan menambahkan besaran hukuman. Jika sebelumnya narasi hukuman memakai kata ”atau” akan diganti dengan yang lain sehingga memberi pilihan bagi hakim menjatuhkan hukuman cambuk ditambah denda dan kurungan.
Terkait dengan hak restitusi bagi korban, Bardan mengatakan, hal itu akan diatur dalam peraturan gubernur (pergub). Menurut Bardan, kewajiban untuk memenuhi hak korban harusnya menjadi kewajiban bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.
”Sekarang belum sepenuhnya hak korban terpenuhi. Kami mendesak pemerintah untuk memastikan hak mereka terpenuhi,” ujar Bardan.
Hingga kini revisi masih dibahas oleh DPR Aceh. Bardan mengatakan, rencananya pengesahan revisi paling telat pada Desember 2022.
Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati menilai pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten belum serius melindungi anak dan memenuhi hak korban. Hal itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran, tidak ada fasilitas rumah aman, hingga kurangnya jumlah pendamping korban.
Sementara itu, pengurus Forum Anak Tanah Rencong (Fatar), Cut Vahnaz Septya, mengatakan, dirinya merasa ironi menyaksikan deretan kasus kekerasan seksual pada anak. Kasus terjadi di rumah, lembaga pendidikan, hingga di ruang publik. Sementara pelaku adalah orang-orang yang dekat dengan korban.
Menurut Cut Vahnaz, anak yang menjadi korban dapat memicu depresi berat dan trauma berkepanjangan. Akibatnya, korban terancam kehilangan masa depan. Cut Vahnaz berharap perlindungan anak harus diperkuat dan pelaku dihukum berat. Jika tidak, anak-anak Aceh akan selalu berada dalam ancaman menjadi korban kekerasan seksual.
Baca juga: Terdakwa Kasus Pemerkosaan Anak di Aceh Dibebaskan