Pemprov Aceh Didesak Tetapkan Status Darurat Kekerasan Seksual
Sejumlah kalangan mendesak Aceh segera menetapkan status darurat kekerasan seksual. Beragam kasus yang muncul ke permukaan menjadi ironi yang urung bisa dicegah.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
TAKENGON, KOMPAS — Koalisi lembaga masyarakat sipil mendesak Pemerintah Provinsi Aceh segera menetapkan status darurat kekerasan seksual pada anak. Lemahnya perlindungan hukum memicu banyak kasus terus terjadi.
Desakan itu disampaikan berbagai organisasi di Aceh. Mereka adalah Yayasan Anak Bangsa, Walhi Aceh, hingga Koalisi NGO Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh.
Direktur Yayasan Anak Bangsa Sri Wahyuni, di Aceh, Sabtu (18/12/2021), menuturkan, Pemprov Aceh harus memandang kasus kekerasan seksual pada anak sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, butuh langkah preventif yang kuat untuk menanganinya.
”Segera tetapkan Aceh sebagai daerah darurat kekerasan seksual. Selain itu, segera bentuk tim khusus pencegahan kekerasan seksual,” kata Sri.
Setidaknya ada dua kasus pemerkosaan anak di Aceh yang menarik perhatian banyak pihak dalam seminggu terakhir. Seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Nagan Raya diperkosa 14 lelaki, Sabtu (11/12/2021). Usia pelaku 17-21 tahun. Sembilan orang di antaranya telah ditangkap. Lima orang lainnya masih dikejar polisi.
”Kami meminta pelaku segera menyerahkan diri,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Nagan Raya Ajun Komisaris Machfud.
Sehari kemudian atau Minggu (12/12/2021), pemerkosaan terjadi di kebun sawit di Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa. Korban D (19) diperkosa AR (28). Setelah ditangkap personel keamanan kebun sawit, pelaku kini ditahan polisi.
Sri mengatakan, dengan beragam kejadian yang muncul, semua pihak di Aceh harus terlibat mencegah kasus hingga memulihkan korban. Dia menambahkan, perlu gerakan perbaikan nilai-nilai dan budaya untuk mencegah praktik itu.
”Di Aceh, banyak tokoh pendidikan dan ulama. Saya berharap mereka terlibat dalam kampanye pencegahan kekerasan seksual,” kata Sri.
Sri juga meminta pengawasan aparatur desa terhadap warganya diperkuat. Alasannya, banyak pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban.
Kasus pencabulan pada anak berusia 14 tahun oleh ayah tiri di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, jadi salah satu contoh nyata. Pelaku beraksi enam kali di rumahnya sendiri periode 15-27 April 2021.
Masih di Aceh Utara, anak usia 16 tahun dijual kerabatnya untuk bisnis prostitusi anak, selama Juni-Oktober 2021. Kini, korban hamil empat bulan. Pertengahan Desember, polisi meringkus sembilan tersangka.
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Aceh menunjukkan, jangka waktu 2017-2020, ada 2.946 kasus kekerasan pada anak. Kejadian terbanyak adalah kekerasan psikis dengan 837 kasus, pelecehan seksual (671), kekerasan fisik (405), dan pemerkosaan (289).
Kepala Dinas P3A Aceh Nevi Ariani menuturkan, kasus-kasus itu sangat memprihatinkan. Semua menunjukkan kampanye perlindungan anak belum maksimal. ”Kami akan berupaya melakukan kampanye lebih kuat,” kata Nevi.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Khairil mengatakan, Pemprov Aceh, pemkab/pemkot, dan legislatif harus bergerak bersama menyusun langkah pencegahan. ”Mereka sebagai pihak yang memiliki kuasa penuh, mulai kebijakan dan anggaran, tidak boleh menutup mata,” kata Khairil.