Lindungi Anak Aceh dari Predator, Revisi Qanun Jinayah Mendesak
Hukuman berat terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban adalah kunci menyelamatkan anak-anak Aceh dari kekerasan seksual. Jika tidak, entah berapa banyak lagi anak menjadi korban.
Qanun/Perda Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinilai lemah terhadap perlindungan anak korban kekerasan seksual. Para pihak mendesak Pemprov Aceh merevisi qanun tersebut dan mengembalikan penanganan kasus dengan menggunakan UU Perlindungan Anak.
Pada Kamis, 16 September 2021, publik Aceh kembali dikejutkan dengan keputusan kontroversial hakim pengadilan Mahkamah Syariyah (MS) Aceh yang memvonis bebas SUR (45), terdakwa pemerkosa anak kandung berusia 5 tahun. Padahal, pada pengadilan tingkat pertama, hakim MS Kabupaten Aceh Besar menghukum terdakwa 16 tahun penjara dan membayar restitusi kepada korban Rp 14,2 juta.
Putusan sidang banding itu dibacakan oleh majelis hakim, yakni Ansyari sebagai ketua serta Alidin dan Khairil Jamal sebagai anggota. Hakim membebaskan terdakwa sekaligus membatalkan putusan pengadilan MS Aceh Besar.
Dalam salinan putusan Nomor 22/JN/2021/MS-Aceh itu disebutkan keterangan saksi ibu korban, keterangan dokter, keterangan psikolog, dan bukti visum et repertum tidak cukup kuat untuk menyatakan terdakwa bersalah.
Hakim membebaskan terdakwa tanpa mempertimbangkan keterangan dokter. Ini menjadi aneh. Hakim itu ahli hukum, bukan ahli medis.
Ini bukan kali pertama hakim MS Aceh membebaskan terdakwa pemerkosa anak. Pada Mei 2021, hakim MS Aceh juga membebaskan DP (35), terdakwa pemerkosa keponakan. Padahal, dalam putusan pengadilan MS Aceh Besar, DP divonis 16 tahun penjara. Sementara dalam kesempatan lain, MS Aceh Besar menjatuhkan vonis bebas terhadap MA (33), terdakwa pemerkosa anak kandung.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul menilai putusan itu menunjukkan hakim MS tidak punya kapasitas yang cukup untuk mengadili perkara kekerasan seksual terhadap anak. Keterangan dokter, psikolog, dan hasil visum adanya luka robek pada selaput dara korban dinafikan oleh hakim.
”Hakim membebaskan terdakwa tanpa mempertimbangkan keterangan dokter. Ini menjadi aneh. Hakim itu ahli hukum, bukan ahli medis,” kata Syahrul.
Ketua MS Aceh Rosmawardani menuturkan, dalam memutuskan perkara, majelis hakim independen, tanpa ada tekanan pihak mana pun, tetapi murni kebebasan hakim dalam menilai pembuktian dan memutus berdasarkan keyakinan majelis hakim itu sendiri.
Baca juga : Legislatif Aceh Wacanakan Revisi Qanun Jinayah
”Adanya perbedaan putusan antara tingkat banding dan tingkat pertama adalah bagian dari kebebasan hakim yang dilakukan secara bertanggung jawab,” kata Rosmawardani.
Dualisme regulasi
Persoalan di atas pangkalnya karena dualisme regulasi. Di Aceh penanganan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat diproses dengan Qanun Jinayah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jika tuntutan menggunakan qanun, putusan diadili hakim Mahkamah Syariyah, sedangkan tuntutan menggunakan UU Perlindungan Anak, sidang dilakukan di pengadilan negeri.
Dualisme hukum membuat perbedaan persepsi pada aparat penegak hukum. Di jajaran kepolisian sebagian penyidik menjerat pelaku dengan qanun dan sebagian dengan UU Perlindungan Anak. Perbedaan pengunaan regulasi berimplikasi pada perbedaan vonis.
Dalam Qanun Jinayah, hukuman bagi terdakwa berupa cambuk atau penjara atau denda emas. Ancaman hukuman dalam Qanun Jinayah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 50. Sementara dalam UU Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah penjara.
”Qanun Jinayah memberikan pilihan bagi hakim MS menjatuhkan hukuman cambuk atau penjara atau denda. Sementara UU Perlindungan Anak, hukumannya penjara dan denda, bahkan ada pemberatan,” ujar Syahrul.
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, sebagian hakim menjatuhkan hukuman cambuk dan sebagian hukuman penjara. Perbedaan hukuman menimbulkan ketidakadilan dalam penanganan perkara.
Baca juga : Komnas Perempuan Sarankan Qanun Jinayah Tidak Mengatur Kekerasan Seksual pada Anak
Menurut Syahrul, cambuk bukan hukuman yang berat bagi pelaku kekerasan seksual dibanding penderitaan korban. Dalam konteks Qanun Jinayah, hukuman cambuk di depan khalayak untuk mempermalukan pelaku agar dia tidak mengulangi kejahatan yang sama. Setelah dicambuk, pelaku kembali ke masyarakat.
”Hukuman cambuk tidak adil bagi korban. Bayangkan setelah dicambuk, pelaku berkeliaran kembali di lingkungan korban. Ini akan menimbulkan trauma berat bagi korban,” kata Syahrul.
Hukuman qanun lemah
Namun, untuk menepis perbedaan penggunaan regulasi penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, pada 18 Desember 2020, Mahkamah Agung menerbitkan surat edaran agar hakim MS menjatuhkan hukuman penjara bagi terdakwa.
Akan tetapi, kata Syahrul, hukuman penjara dalam Qanun Jinayah sangat lemah dibandingkan dengan dalam UU Perlindungan Anak. Dalam qanun, hukuman penjara maksimal 200 bulan (16,6 tahun). Sementara dalam UU Perlindungan Anak hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Namun, dalam UU Perlindungan Anak ada pemberatan hukuman. Jika pemerkosaan dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana.
”Sebagaimana kita tahu, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang dekat dengan korban,” kata Syahrul.
Baca juga : Vonis 19 Tahun Penjara bagi Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak
Tidak sampai di sana, dalam UU Perlindungan Anak, hukuman bisa mencapai 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup, dan hukuman mati jika korban lebih dari satu orang atau korban mengalami luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal.
Dalam Qanun Jinayah tidak disebutkan ancaman hukuman jika jumlah korban lebih dari satu orang dan dampak yang korban alami. ”Sebenarnya hukuman dalam UU Perlindungan Anak lebih berat dibandingkan dengan Qanun Jinayah karena itu kami mendesak qanun ini untuk direvisi,” ujar Syahrul.
Kekurangan lain dalam Qanun Jinayah juga tidak mengatur pemberatan hukuman jika kekerasan seksual terhadap korban dilakukan lebih dari sekali.
Contoh kasus terjadi di Aceh Timur. Seorang anak perempuan berusia 17 tahun mengalami pencabulan 15 kali dalam rentang Januari 2019 hingga Mei 2020. Korban hamil lalu dinikahkan secara siri oleh pelaku. Selang beberapa bulan, pelaku menceraikan korban. Kasus ini dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Oleh hakim MS Aceh, pelaku hanya dihukum 75 bulan penjara (6,25 tahun) dan cambuk 100 kali.
Baca juga : Hukuman Cambuk Tidak Adil bagi Korban
Dalam salinan putusan disebutkan, hakim tidak menjatuhkan hukuman maksimal karena menganggap pelaku dan korban melakukan hubungan badan sebanyak 15 kali atas dasar suka sama suka.
”Sementara dalam UU Perlindungan Anak, tidak dikenal istilah suka sama suka. Selama korban usia anak, tetap diposisikan sebagai korban,” kata Syahrul.
Revisi mendesak
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati mengatakan, Qanun Jinayah mendesak direvisi dengan mencabut Pasal 47 dan Pasal 50 yang mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual kepada anak.
”Jika dua pasal ini dihapus, penanganan perkara otomatis kembali ke UU Perlindungan Anak,” kata Riswati.
Riswati menuturkan, kasus kekerasan seksual pada anak di Aceh masih tinggi. Namun, nyaris tidak ada penguatan regulasi untuk melindungi anak sebagai korban dan memperberat hukuman terhadap pelaku.
Jika dua pasal ini dihapus, penanganan perkara otomatis kembali ke UU Perlindungan Anak.
”Qanun juga tidak mengatur hak restitusi bagi anak korban kekerasan seksual,” ujar Riswati.
Desakan elemen sipil revisi qanun disambut baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka memberikan lampu hijau untuk merevisi Qanun Jinayah dengan semangat memperkuat perlindungan anak.
Ketua Komisi I DPRA Muhammad Yunus menuturkan, saat ini pihaknya menunggu dokumen dari lembaga masyarakat sipil berisi poin-poin usulan revisi. ”Revisinya bisa dicabut atau dipertegas. Salah satunya pasal tentang kekerasan seksual pada anak,” ujar Yunus.
Yunus menginginkan revisi memberatkan hukuman bagi pelaku serta menjamin hak dan perlindungan bagi korban.
Baca juga : Cerita Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Alidar berpendapat, dua pasal yang diusulkan dihapus dari Qanun Jinayah tetap akan dipertahankan. ”Saya sepakat revisi, tetapi bukan dihapus pasal, tetapi diperkuat. Qanun Jinayah ini adalah keistimewaan Aceh untuk menerapkan syariat Islam,” ujar Alidar.
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menunjukkan, sejak 2017 hingga 2020, kekerasan terhadap anak terjadi 2.946 kasus. Kasus paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis sebanyak 837 kasus, pelecehan seksual 671 kasus, kekerasan fisik 405 kasus, dan pemerkosaan 289 kasus.
Kasus-kasus tersebut tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. Lima daerah kasus tertinggi adalah Kota Banda Aceh 198 kasus, Aceh Utara 160 kasus, Bireuen 128 kasus, Bener Meriah 98 kasus, dan Aceh Barat Daya 86 kasus.
Dari data yang dicatat oleh DP3A Aceh sejak 2017 hingga 2020, jika disimpulkan, kekerasan berbasis seksual (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, sodomi, dan inses) sangat tinggi, mencapai 1.100 kasus atau anak. Nyaris separuh dari total kasus kekerasan.
Hukuman berat terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban adalah kunci menyelamatkan anak-anak Aceh dari kekerasan seksual. Jika tidak, entah berapa banyak lagi anak menjadi korban.
Baca juga : Hukuman Kebiri Agar Memberikan Efek Jera