Cegah kekerasan seksual, pemerintahan keluarkan PP No 70/2020 Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual ke Anak.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan melakukan kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan anak bertujuan untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Hukuman ini sebagai upaya pengobatan dan rehabilitasi terhadap pelaku agar dapat mengendalikan dirinya.
Kebijakan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. PP tersebut telah diundangkan pada 7 Desember 2020.
Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tubagus Erif Faturahman mengatakan, PP No 70/2020 merupakan turunan dari Undang-Undang No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
PP No 70/2020 ini dikeluarkan dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
”PP No 70/2020 ini dikeluarkan dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,” kata Tubagus, Senin (4/1/2021).
Ia menegaskan, kejahatan dan kekerasan seksual terahdap anak semakin masif terjadi dan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Dikutip dari Kompas.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat, sejak 1 Januari hingga 31 Juli 2020, ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, terdapat 2.556 anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut Tubagus, korban kekerasan terancam dan akan menderita trauma fisik serta psikis selama ia hidup. Bahkan, bisa berdampak pada penelantaran. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak secara siginifikan.
UU No 17/2016 ditetapkan dengan maksud melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual dan menimbulkan efek jera bagi pelaku. PP No 70/2020 berorientasi pada pelaksanaan hukuman terhadap pelaku. Mereka yang dikenai hukuman ini termasuk yang melakukan ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksanaan, atau perampasan kemerdekaan anak dengan melawan hukum.
Hukuman kebiri kimia dan alat pendeteksi elektronik diterapkan kepada pelaku bukan untuk balas dendam. Namun, sebagai upaya pengobatan dan rehabilitasi terhadap pelaku agar dapat mengendalikan dirinya.
Dalam PP No 70/2020 disebutkan, tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain untuk menekan hasrat seksual berlebih yang disertai rehabilitasi.
Dalam pelaksanaannya, kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun. Tindakan kebiri kimia dilakukan melalui tiga tahapan, yakni penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan. Penilaian klinis dilakukan oleh tim yang terdiri dari petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri.
Dalam praktiknya, hukuman ini mengedepankan asas kehati-hatian. Pelaksanaan hukuman ini melibatkan banyak pemangku kebjijakan, seperti pengadilan, kejaksaan, kementerian bidang kesehatan, kementerian bidang hukum, dan kementerian bidang sosial. Hukuman ini akan diberikan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hukuman ini tidak berlaku pada pelaku yang dikategorikan sebagai anak.
Adapun untuk korban, haknya diatur dalam UU No 13/2006 tentang Perlindungan Sanksi dan Korban juncto UU No 31/2014 tentang Perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, ada PP No 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
”Berdasarkan aturan dimaksud, korban berhak mendapatkan restitusi atau kompensasi, bantuan kesehatan dan rehabilitasi psiko-sosial, serta hak legal lainnya. Terkait hak legal, ada sekitar 15 item yang bisa diperoleh korban,” kata Tubagus.
Tak bisa berbasis hukum
Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, hukuman kebiri kimia sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU No 17/2016. Sebab, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual belum terbukti.
Menurut Erasmus, pelaksanaan hukuman dengan tindakan klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah. PP No 70/2020 tidak detail dan memberikan keterangan jelas seperti mekanisme pengawasan, pelaksanaan, serta pendanaan.
”Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya,” ujar Erasmus.