Hambatan Mendapatkan Keadilan bagi Anak Korban Pelecehan Seksual di Aceh
Polemik penggunaan "qanun jinayat" dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dalam menjerat pelaku pelecehan seksual di Aceh masih berkepanjangan. Perlindungan korban perlu dikedepankan.
Penggunaan aturan hukum dalam menjerat tersangka pelaku pelecehan seksual pada anak di Aceh masih berpolemik antara qanun jinayat atau Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berbagai pihak perlu mengedepankan perlindungan pada korban.
DR (25) bersama anaknya, S, duduk terpisah saat tim kuasa hukum memberikan keterangan pers, Kamis (10/2/2022), di sebuah warung kopi di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, terkait kasus yang menimpanya anaknya.
”Saya salah karena lalai menjaga anak, tetapi saya minta keadilan. Pelaku harus dihukum,” kata DR.
DR tinggal di Kabupaten Bireuen. Demi mencari keadilan bagi anaknya, dia menempuh perjalanan 5 jam ke Banda Aceh.
Awalnya DR optimistis pelaku pelecehan seksual terhadap anaknya yang berusia empat tahun empat bulan itu akan diganjar hukuman. Namun, kini harapan itu nyaris sirna. Berkas perkaranya nyangkut di kejaksaan.
Hari itu kuasa hukumnya menggelar konferensi pers karena proses hukum perkara tersebut tertahan di kejaksaan. Jaksa penuntut umum tidak bersedia melimpahkan perkara ke Pangadilan Mahkamah Syar’iyah atau pengadilan agama dengan alasan alat bukti yang diajukan penyidik tidak mencukupi.
Pelecehan berulang kali
DR menceritakan kronologi anaknya menjadi korban pelecehan seksual. Pelaku kerap mengajak korban jalan-jalan dan membeli jajanan. Bentuk pelecehan berupa pelaku mencium dan kemaluan pelaku digesek pada kemaluan korban. Kejadian itu dari September hingga Desember 2021.
Baca juga: Lindungi Anak Aceh dari Predator, Revisi Qanun Jinayah Mendesak
”Saya merasa tidak enak hati. Setelah pulang bermain dengan pelaku, anak saya mengalami lecet pada kemaluan. Waktu saya cebok, dia mengeluh perih,” ujar DR.
Setelah digali, korban mengaku telah dilecehkan oleh pelaku. Dalam keadaan sedih, DR membawa anaknya ke bidan desa dan ke puskesmas. Hasil pemeriksaan dokter, selaput dara korban masih utuh. Namun, korban telah mengalami pelecehan berkali-kali. Lokasi kejadian di sebuah ruko di Bireuen. DR mengatakan, pengakuan dari anaknya bahwa pelaku ada empat orang.
Setelah melecehkan korban, pelaku mengatakan ini kepada korban, ”Jangan bilang sama mama dan ayah ya, nanti om dipukuli. Adek kan sayang sama om.”
Pada 6 Desember 2021, keluarga korban melaporkan kasus itu kepada polisi. Beberapa hari kemudian polisi menetapkan M (22) sebagai tersangka.
"Qanun jinayat"
Penyidik Kepolisian Resor Bireuen memanggil beberapa saksi, tetapi yang ditetapkan sebagai tersangka hanya satu orang. Penyidik di Polres Bireuen menjerat tersangka dengan Qanun/Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat atau dikenal dengan Perda Syariah Islam.
Baca juga: Komnas Perempuan Sarankan Qanun Jinayah Tak Atur soal Kekerasan Seksual
Dalam Qanun disebutkan, pelaku pelecehan seksual terhadap anak diancam hukuman cambuk paling banyak 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan.
Di Aceh, penanganan perkara kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat diproses dengan qanun jinayat atau Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jika tuntutan menggunakan qanun, putusan diadili hakim Mahkamah Syar’iyah, sedangkan tuntutan menggunakan UU Perlindungan Anak, sidang dilakukan di pengadilan negeri. Perbedaan penggunaan regulasi berimplikasi pada perbedaan vonis.
Penyidik Polres Bireuen telah melimpahkan berkas perkara dengan tersangka M kepada Kejaksaan Negeri Bireuen. Namun, jaksa Kejari Bireun tidak dapat meneruskan berkas itu ke pengadilan dengan alasan tidak memenuhi syarat formil seperti yang disebutkan dalam qanun.
Tersangka wajib ditahan dan diekspose ke media agar memberikan multi-efek jera sehingga mengurangi tindak pidana tersebut.
Dihubungi terpisah, Direktur Direktorat Kriminal Umum Polda Aceh Komisaris Besar Ade Haryanto dan Kabid Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy mengatakan, penggunaan qanun jinayat untuk menjerat terdakwa dilakukan karena ada surat edaran Kejaksaan Agung yang meminta jajaran kejaksaan di Aceh menggunakan qanun untuk perkara kekerasan seksual terhadap anak.
Namun, kata Winardy, baru-baru ini Kepala Polisi Daerah Aceh Inspektur Jenderal Ahmad Haydar telah mengarahkan seluruh Polres di Aceh memproses hukum perkara kekerasan seksual agar menggunakan Kita Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lainnya, serta tidak mencantumkam qanun dalam berkas perkara.
"Tersangka wajib ditahan dan diekspose ke media agar memberikan multi-efek jera sehingga mengurangi tindak pidana tersebut," ujar Winardy.
Namun, berkas perkara anak DR telanjur menggunakan qanun untuk proses hukumnya.
Terhenti di kejaksaan
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Aceh Tarmizi Yakub, yang merupakan kuasa hukum korban, menuturkan, berkas perkara pelecehan seksual terhadap S itu kini terhenti di kejaksaan.
Baca juga: Sempat Bebas, MA Menjatuhkan Vonis 15 Tahun Penjara pada Pemerkosa Anak Kandung
Penggunaan qanun hukum jinayat telah membuat syarat formil perkara tidak terpenuhi, padahal jika diproses hukum menggunakan UU Perlindungan Anak perkara itu memenuhi syarat untuk masuk ke persidangan. "Alasan JPU pelaku tidak mengaku, kemaluan korban tidak rusak, dan tidak ada saksi yang melihat langsung," ujar Tarmizi.
Dalam qanun disebutkan, ada tujuh alat bukti yang harus dipenuhi, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, barang bukti, surat, bukti elektronik, keterangan terdakwa, dan pengakuan terdakwa.
Sementara dalam KUHAP alat bukti hanya lima, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Menurut Tarmizi, permintaan JPU agar penyidik melengkapi alat bukti sesuai qanun mustahil dapat dipenuhi. "Rasanya mustahil ada saksi yang melihat kasus pelecehan seksual," katanya.
Tarmizi berharap kasus pelecehan seksual terhadap anak diproses hukum menggunakan UU Perlindungan Anak sebab hierarki regulasi undang-undang lebih tinggi daripada qanun/perda.
"Saya berharap agar Kejaksaan Agung melimpahkan kembali persoalan anak ke pengadilan negeri sesuai UU Perlindungan Anak," ujar Tarmizi.
Dihubungi terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen Mohd Farid Rumdana menuturkan, kasus itu belum dilimpahkan karena berkas perkara belum lengkap sesuai aturan, yakni qanun.
Farid menambahkan, penggunaan qanun sebagai dasar hukum penyelesaian perkara pelecehan seksual terhadap anak sesuai dengan surat edaran Jaksa Agung Nomor SE-2/E/EJP/11/2020 tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana umum dengan hukum jinayat di Provinsi Aceh.
Baca juga: Terdakwa Kasus Pemerkosaan Anak di Aceh Dibebaskan
Farid mengatakan, pada Pasal 72 Qanun Hukum Jinayat disebutkan perbuatan jarimah/kejahatan sebagaimana diatur dalam qanun dan diatur juga dalam KUHP atau ketentuan pidana diluar KUHP, yang berlaku adalah aturan jarimah dalam qanun ini.
Dengan demikian, KUHP dan UU Perlindungan Anak telah digeser oleh perda/qanun.
Desakan revisi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul menuturkan, surat edaran dari Kejaksaan Agung bukan produk hukum sehingga tidak cukup kuat alasan kepolisian dan kejaksaan untuk menggunakan qanun. Surat edaran merupakan kebijakan internal yang bersifat teknis, tidak bisa membatalkan undang-undang, ketika surat edaran tersebut menganulir UU maka itu kebijakan yang keliru.
Syahrul menilai surat edaran telah melampaui kewenangan Kejaksaan Agung dan dapat disebut kebijakan yang tidak tepat. "Sebagai aparat penegak hukum, penyidik kepolisian dan JPU harusnya sadar, itu kebijakan yang sesat dan tidak harus diikuti karena sejatinya mereka itu tunduk pada undang-undang bukan pada pimpinan," katanya.
Syahrul mengatakan, hierarki regulasi undang-undang lebih tinggi daripada perda. Sangat aneh saat qanun hukum jinayat dapat menggeser posisi KUHP dan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak harusnya diutamakan untuk kasus anak karena mengatur lebih lengkap dan komprehensif, serta hukuman lebih berat.
"Kami menganggap pihak kepolisian dan kejaksaan yang masih menggunakan qanun jinayat untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak, mereka itu tidak memiliki semangat dan perspektif perlindungan anak," kata Syahrul.
Vonis kasus pemerkosaan pada anak yang menggunakan qanun jinayat pun beberapa kontroversial. Pada 30 Maret 2021 misalnya, Mahkamah Syariah Aceh Besar membebaskan MA (33) terdakwa pemerkosa anak kandungnya, K (10). Akan tetapi pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis pada MA 16,5 tahun penjara.
Kami menganggap pihak kepolisian dan kejaksaan yang masih menggunakan "qanun jinayat" untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak, mereka itu tidak memiliki semangat dan perspektif perlindungan anak
Kasus lain, Mahkamah Syariah Aceh membebaskan SUR (45) terdakwa pemerkosa anak kandung berusia 5 tahun. Namun MA membatalkan putusan Mahkamah Syariah dengan menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun penjara pada SUR.
Desakan revisi qanun hukum jinayat pun menguat dan disambut oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Revisi qanun itu masuk dalam program legislasi daerah atau qanun prioritas tahun 2022. Namun, DPRA belum mengagendakan jadwal pembahasan revisi.
Baca juga: Pemprov Aceh Didesak Tetapkan Status Darurat Kekerasan Seksual
Sebelumnya anggota Komisi I DPRA, Darwati Agani, mengatakan, revisi dianggap penting karena selama ini kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi. Pembahasan akan difokuskan pada Pasal 47 dan 50 mengatur tentang hukuman.
Sementara itu, Direktur Flower Aceh, LSM perempuan dan anak, Riswati berharap agar Pasal 47 dan 50 dihapuskan dari qanun itu. Jika kedua pasal itu dihapuskan, penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak otomatis kembali ke KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Meski sudah masuk dalam prioritas, jalan menuju revisi masih panjang. Tarik ulur dan debat para pihak hal biasa dalam proses penyusunan regulasi. Sementara DR dan anaknya butuh keadilan saat ini.