Bubuh Ledok, Makanan Sehat dari Nusa Penida
Pulau Bali memiliki ragam makanan, yang khas. Selain menggugah selera, berbagai menu tradisional tersebut juga sehat dan kaya rasa.
Walaupun tinggal di pulau dengan tanah yang berkapur dan kering, warga Nusa Penida di Kabupaten Klungkung, Bali, memiliki ragam makanan yang tidak harus mengandalkan beras. Bubuh ledok, makanan khas Nusa Penida, mencerminkan daya adaptasi dan kreativitas penduduk kepulauan di tenggara Pulau Bali menjalani kehidupannya di lahan yang tidak subur.
Kehidupan di Nusa Penida yang tidak mudah itu tergambarkan dalam Noesa Penida, film Indonesia yang ditayangkan di bioskop pada era tahun 1980-an dengan aktor, di antaranya, Ray Sahetapy. Namun, kondisi saat ini jelas sudah berbeda dengan gambaran dalam film tersebut karena sekarang Nusa Penida sudah dibangun dan berkembang, bahkan menjadi destinasi andalan Kabupaten Klungkung.
Akan tetapi, bubuh atau bubur ledok masih menjadi makanan khas Nusa Penida. Bahan utamanya adalah jagung yang dtumbuk kasar dan singkong. Bubur dengan beragam jenis sayur di dalamnya, di antaranya labu kuning yang disebut temale atau tabu, kacang lindung yang sejenis kacang panjang, bayam, dan kemangi, terasa berbeda dengan bubur lain. Hampir semua bahannya tersebut tumbuh dari lahan di Nusa Penida.
Boga bagi masyarakat Bali tidak hanya sekadar presentasi makanan, namun juga sebagai ritual dan sosial.
Baca juga : Layanan ”Plus-plus” di Nusa Penida
Makanan khas Nusa Penida ini disebut rendah gula sehingga bubur ledok dapat disebut makanan sehat. Selain itu, aroma bumbu rempahnya juga mantap. Dan, menyantap semangkuk bubuh ledok saat hari menjelang siang ternyata mampu mengenyangkan perut sampai waktu makan malam.
Namun, bubuh ledok dikhawatirkan semakin kurang diminati warga Nusa Penida. Selain karena beras sudah mudah diperoleh warga Nusa Penida, pembuatan bubur ledok yang memakan waktu hingga satu jam lebih juga dianggap tidak praktis. Lebih mudah dan cepat membuat nasi goreng dibandingkan memasak bubur ledok.
Hal itu dibenarkan Jro Padmawati (43), pengurus Kelompok Wanita Tani (KWT) Bodong Lestari di Banjar Bodong, Desa Ped, Nusa Penida. Ditemui di Warung Pondok, Banjar Bodong, Desa Ped, Rabu (29/6/2022), Padmawati mengungkapkan, bubuh ledok pernah menjadi makanan sehari-hari warga Nusa Penida sampai warga setempat lebih sering mengonsumsi nasi beras.
”Jadi, singkong menjadi bahan makanan utama warga Nusa Penida sebagai pengganti beras. Juga jagung,” kata Padmawati di sela-sela kegiatannya memasak bersama ibu-ibu anggota KWT Bodong Lestari, Desa Ped, Nusa Penida. Padmawati menambahkan, bubur ledok, nasi jagung, dan juga nasi singkong atau nasi olet pernah menjadi menu harian warga Nusa Penida. ”Ini makanan kami sejak kecil,” ujar Padmawati.
Baca juga : Pembangunan Pelabuhan Segitiga di Bali Perkuat Infrastruktur dan Konektivitas Daerah
Kondisi itu juga diakui Ni Wayan Sureani (70), yang dipanggil ”biyang” atau ibu oleh ibu-ibu anggota KWT Bodong Lestari di Desa Ped, Nusa Penida, dan juga Ni Made Martini (60), Ketua KWT Bodong Lestari Desa Ped. Martini menambahkan, berkembangnya Nusa Penida membawa perubahan, di antaranya beras mudah diperoleh dan dibeli di pasar.
”Bagi kami, makan bubur ledok bukan hal unik,” kata Martini, yang juga berprofesi sebagai guru sekolah dasar. ”Namun, bagi orang dari luar Nusa Penida, bubur ledok ini makanan unik dan dirasakan menarik karena tampilan dan rasanya berbeda dari bubur lainnya,” ujar Martini.
Dokumentasi
Baca juga : Gastronomi Nusantara: Resep dan Perjalanan Cita Rasa
Hari Rabu (29/6/2022), Padmawati dan Martini serta ibu-ibu anggota KWT Bodong Lestari memasak makanan khas Nusa Penida. Menu lokal Nusa Penida yang disiapkan di antaranya, bubuh ledok, nasi jagung, dan nasi singkong atau disebut nasi olet. Adapun menu tambahannya berupa sayur urap dan sop ikan bumbu kuning.
Keseluruhan kegiatan ibu-ibu KWT Bodong Lestari mulai dari mereka menyiapkan bahan sampai memasak di dapur tersebut diamati, dicatat, dan direkam tim Ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara yang dipimpin Meilati Murniani. Pendokumentasian bahan dan cara mengolahnya turut diamati Ragil Imam Wibowo atau lebih dikenal sebagai chef Ragil. Dengan saksama pula, chef Ragil dibantu anggota tim ekspedisi menakar bumbu dan bahan masakan serta menghitung waktu yang diperlukan untuk memasak.
Ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara merupakan kegiatan preservasi kebudayaan Nusantara yang dilakukan mulai dari riset, pencatatan, hingga pendokumentasian resep makanan yang bernilai budaya dan berkaitan dengan isu sosial dan lingkungan. Proyek pendokumentasian resep-resep khas Nusantara itu dikerjakan Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia dengan dukungan program Ambassador Fund for Cultural Preservation (AFCP) dari Pemerintah Amerika Serikat.
Project Lead Pusaka Rasa Nusantara Meilati Murniani mengatakan, pendokumentasian beraneka resep makanan Indonesia bertujuan menjaga dan melestarikan resep-resep warisan itu dari kepunahan akibat minimnya budaya literasi dan mencatat resep. Tim Pusaka Rasa Nusantara berkeliling ke semua provinsi untuk mendokumentasikan resep-resep khas lokal yang masih dipraktikkan, namun minim catatan atau belum pernah dicatat.
Baca juga : Adaptasi Rendang, dari Lokan hingga Dedaunan
Selain di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, tim ekspedisi bersama chef Ragil juga mendatangi beberapa tempat lain di Bali, misalnya, Buleleng dan Gianyar. Seperti halnya kegiatan di Nusa Penida, tim ekspedisi itu juga mendokumentasikan resep, bahan-bahan, cara pembuatan, dan kekhasan makanan tersebut. Adapun sebelum ke Bali, mereka mengumpulkan resep aneka makanan khas di Jawa Tengah, Maluku Utara, dan Sumatera Barat.
Lawar kelungah
Masih di Kabupaten Klungkung, pengumpulan resep dan pendokumentasian menu makanan asli Nusantara berlanjut ke Kecamatan Dawan pada Kamis (30/6/2022). Di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, terdapat kakak beradik yang masih mempraktikkan cara pembuatan lawar secara tradisional. Anak Agung Made Astika (57) dan Anak Agung Gede Oka Suastika (53) membuat beraneka lawar, atau sayur cincang khas Bali dengan base gede, atau bumbu beraneka rempah.
Yang spesial adalah lawar kelungah (kelapa muda) dan srosob (kuah) ayam panggang. Menu itu dilengkapi dengan lawar nangka muda, lawar gedang (pepaya muda) dan lawar pusuh (jantung pisang). Uniknya, meskipun berbeda-beda dan dibuat terpisah, semua makanan tersebut memakai bumbu dasar serupa, yakni, base gede atau base genep, yang terdiri atas belasan jenis rempah dengan empat bahan pokok, yaitu kesuna (bawang putih), cekuh (kencur), bawang merah, dan jahe.
Instruktur tata boga di Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional dan Sekolah Perhotelan Bali (SPB), yang juga pengurus Indonesian Chef Association (ICA) Bali Chapter, Anak Agung Anom Samudera (42), menerangkan, terdapat sejumlah referensi tradisional yang menjelaskan perihal makanan dan tata cara pembuatan serta kepentingannya. Samudera menyebutkan contohnya, yakni lontar Dharma Caruban.
Baca juga : Kembali Bertani demi Kedaulatan Pangan
”Boga bagi masyarakat Bali tidak hanya sekadar presentasi makanan, namun juga sebagai ritual dan sosial,” ujar Samudera kala mendampingi tim Pusaka Rasa Nusantara di Desa Paksebali, Klungkung, Kamis (30/6/2022).
Adapun Suastika mengaku belajar secara otodidak dalam mengolah makanan tradisional Bali khas Klungkung. Suastika menuturkan, beraneka bahan untuk lawar, terutama nangka, pepaya muda, ataupun kelapa muda, dapat diperoleh tanpa harus membeli ke pasar karena bahan-bahan tersebut umumnya dapat diperoleh dari kebun sekitar rumah.
Astika mengatakan, kaum pria di Bali rata-rata bisa memasak karena secara tradisi, lelaki Bali juga bertugas mengolah dan menyiapkan makanan untuk keperluan ritual dan makan bersama (megibung) dengan anggota banjar ketika berlangsung upacara adat ataupun ritual keagamaan.
Dalam tradisi masyarakat Bali, koki atau chef dikenal sebagai mancagera, sedangkan juru pencicip atau executive chef disebut belawa. Menurut Astika, belawa ini bertugas sebagai pencicip awal sebelum makanan siap disajikan. ”Kalau belawa sudah menyatakan olahan itu jaen (enak), baru makanan itu disajikan untuk megibung,” ujar Astika.
Chef Ragil mengungkapkan, pendokumentasian resep dan cara memasak serta hubungan makanan dengan lingkungan dan kehidupan sosial serta budaya masyarakat menjadi menarik dan penting dilakukan. ”Tidak semua daerah memiliki kebiasaan meneruskan tradisi memasak dan pengetahuan tentang bahan-bahan makanannya,” kata chef Ragil.
”Ketika warisan kekayaan kuliner itu tidak diteruskan, pengaruhnya besar ke lingkungan dan pengetahuan tentang bahan-bahan makanan pun akan menghilang. Ketika makanan itu tidak lagi menjadi menu komunitas di suatu daerah, bahan-bahan makanan itu pun ikut menghilang,” ujarnya.