Gastronomi Nusantara: Resep dan Perjalanan Cita Rasa
Serat Centhini menjadi semacam jembatan untuk meniti cita rasa baru yang kelak pada pertengahan abad ke-19 mulai dibakukan dalam buku-buku masak.
Oleh
MELATI MEWANGI
·7 menit baca
Tak sedikit jenis kuliner Nusantara yang populer hingga berbagai pelosok dunia. Tentu dengan varian resep, bahan, nama, dan rasa yang khas. Masakan-masakan itu sebisa mungkin dibuat dengan cara dan resep asli seperti di tempat asalnya. Di sisi lain, kekhawatiran pada lenyapnya sejumlah masakan daerah karena ketiadaan generasi penerus yang bisa menghidangkannya ternyata bisa membuat hati menjadi masygul.
Kegelisahan itu tidak hanya dirasakan penikmat kuliner, tetapi sekaligus mempertanyakan bagaimana perjalanan rasa di masa depan. Apakah kita masih bisa menemukan dan merasakan kelezatan resep masakan asli tersebut beberapa tahun nanti?
Saat berkunjung ke suatu restoran atau rumah makan yang legendaris, coba perhatikan tembok sekeliling restoran. Adakah foto pemilik atau kondisi restoran pada zaman awal pembukaan restoran yang dipajang di sana? Jika iya, dokumentasi tersebut memang lumrah ada. Eksistensinya di zaman sekarang seolah menjadi penanda jejak panjang restoran yang mampu bertahan seiring perkembangan waktu. Asam-manis-pahit peristiwa rasanya pernah dilalui.
Ada pula beberapa warung makanan tradisional di Yogyakarta dan Surakarta, seperti gudeg atau nasi liwet, kerap dijumpai para penjual yang melayani pembeli adalah simbah-simbah sepuh. Jemari mereka begitu cekatan menyiapkan menu yang dipesan tanpa banyak berbicara. Di lokasi, aroma aneka lauk dan sayur yang tercium pekat membuat para pembeli tak sabar untuk menyantapnya.
Biasanya, penjual akan ditemani oleh seseorang di sampingnya. Mungkin sang anak atau kerabat dekat yang kelak dipercaya untuk menjadi penerus usaha kuliner tradisional tersebut. Pernah suatu ketika singgah ke lapak sate gajih sapi yang terletak di pinggir Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ada simbah dan anak perempuannya duduk di bawah payung sambil membakar satu demi satu tusukan sate.
Semasa kuliah, lapak ini merupakan tujuan favorit setelah berkeliling di sekitar Malioboro. Beberapa tahun kemudian, lapak ini tak lagi dilayani simbah, hanya ada anaknya dan sang suami. Meski simbah telah tiada, ternyata rasa sate tak berubah. Bumbu-bumbu yang digunakan masih sama seperti resep yang diajarkan almarhumah simbah. Kata putrinya, semua resep diajarkan simbah secara lisan. Tak ada bukti tertulis.
Resep masakan yang diturunkan secara turun-temurun atau tradisi lisan ini mengingatkan pada tradisi kuliner zaman dulu. Masyarakat Nusantara tidak terbiasa mencatat resep makanan. Penyebutan jumlah bahan-bahan atau ingredient yang digunakan pun tidak spesifik dengan bobot timbangan atau ukuran sendok, tetapi ”sedikit gula” atau ”gulanya segenggam” atau ”garam sejumput”. Meski begitu, sebagian resep tetap diteruskan dengan baik dan bertahan hingga kini karena keterlibatan orang-orang sekitar.
Bagi mereka yang awam, tak mudah untuk menduplikasi sebuah masakan dari resep lisan. Catatan detail langkah demi langkah dan bahan-bahan yang dibutuhkan menjadi petunjuk supaya tidak kehilangan arah. Dalam prosesnya, bahan yang digunakan sama sekalipun bisa menghasilkan cita rasa yang berbeda. Ada seni atau teknik tertentu yang membuat hasilnya berbeda, di sini lah manfaat pencatatan resep sebagai panduan.
Pada zaman kolonial, masakan Nusantara yang berkembang diarsipkan dalam bentuk buku kumpulan resep. Para penulis mencoba untuk menuangkan resep masakan dari riset sendiri dan sumber lisan. Dokumentasi makanan itu tak hanya menekankan pada cita rasa, tapi juga sanitasi, bahan yang digunakan, pengolahan, dan manfaatnya bagi kesehatan. Seiring berjalannya waktu, pengetahuan ini melahirkan para gastronom yang bertekun untuk memajukan khazanah kuliner lokal.
Para penulis mencoba untuk menuangkan resep masakan dari riset sendiri dan sumber lisan.
Banyak buku kumpulan resep yang diterbitkan oleh bangsa Eropa, salah satunya karya seorang ahli masak dan pakar sambal, Catenius van der Meijden (1860-1926), antara lain Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek (1902), De Specerijen en Ingredienten der Rijsttafel (1904), Groot Nieuw Volledig Indisch Kookboek: 1.381 Recepten van de Volledige Indische Rijsttafel met een Belangrijk Aanhangsel voor de Bereiding der Tafel in Holland (1915), dan Makanlah Nasi! De Indische Rijsttafel(voor Holland) (1922). Ada puluhan resep sambal yang berkembang di zaman itu, seperti sambel boedak, sambel bawang, sambel badjak, dan sambel serdadoe. Buku ini diperuntukkan bagi perempuan Belanda agar bisa mengolah beragam makanan lokal di Hindia Belanda.
Sejarah
Selama ini perkembangan gastronomi di Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan negara Barat. Meski demikian, sebenarnya gastronomi Nusantara sudah berkembang sejak dulu yang dibuktikan dengan catatan naskah kuno Nusantara, seperti dikatakan Fadly Rahman, pengamat sejarah kuliner Nusantara dari Universitas Padjadjaran, dalam webinar nasional bertajuk ”Bahas Prima: Gastronomi dan Kuliner Nusantara” yang diadakan Pusat Kajian Kuliner dan Gastronomi Indonesia (PKKGI) Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Selasa (28/12/2021).
”Warisan lokal yang merupakan akar dari gastronomi Nusantara perlu dihadirkan sebagai national cuisine. Melihat gastronomi tidak hanya dari sumber kolonial, tapi juga diimbangi dengan sumber lokal melalui naskah-naskah kuno yang menjadi karakter dari perkembangan gastronomi Nusantara,” ucapnya.
Menurut Fadly, konsep boga dari bhoga atau bhogi terdapat di Kakawin Ramayana. Istilah upabhoga juga ditemukan dalam naskah kuno Kitab Negarakertagama. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia upaboga bermakna kenikmatan, kelezatan, atau makanan. Salah satu tokoh penting dalam memopulerkan gastronomi di Indonesia adalah Suryatini N Ganie, yang menerbitkan majalah boga pertama di Indonesia.
Istilah upabhoga juga ditemukan dalam naskah kuno Kitab Negarakertagama.
Dokumentasi perihal makanan juga termuat dalam manuskrip kuno Serat Centhini yang ditulis tahun 1814-1823 di Surakarta, Jawa Tengah. Selain kuliner, manuskrip yang ditulis oleh sejumlah pujangga Keraton Surakarta ini memuat pengetahuan tentang jamu, obat-obatan tradisional, jenis tanaman, kehidupan, kebudayaan Jawa, hingga kesenian.
Dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), Fadly menyebutkan, Serat Centhini menjadi semacam jembatan untuk meniti cita rasa baru yang kelak pada pertengahan abad ke-19 mulai dibakukan dalam buku-buku masak. Sebelum menjejaki masa itu, serat ini juga menunjukkan fakta bahwa kesejahteraan manusia ditentukan dari apa yang mereka makan dan apa yang mereka makan dihubungkan dengan bagaimana tanah dikelola.
Indonesia memiliki kekayaan gastronomi yang sangat banyak dan memesona. Misalnya, ada puluhan variasi soto, sate, dan nasi goreng yang terdapat di Indonesia. Guru Besar Teknologi Pangan UGM Prof Murdijati Gardjito dalam seminar Soto Sebagai Representasi Cita Rasa Indonesia Indonesia yang diadakan Bekraf Creative Labs tahun 2017 mencatat ada 75 variasi soto di Indonesia. Sebanyak 61 jenis soto atau 81,33 persen di antaranya berada di Pulau Jawa dan Madura. Lainnya berkembang di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat.
Ragam soto pun dikaitkan dengan lokasi suatu daerah, antara lain soto Bandung, soto Betawi, soto Kudus, soto Padang, soto Surabaya, Soto Madura, dan soto Banjar. Yang membedakan antara soto yang satu dan yang lainnya adalah ingredient bumbu untuk kuah, sayuran (tauge, kol, kentang), bahan pelengkap (daun bawang, bawang merah goreng, koya), hingga potongan/suwiran daging.
Begitupun dengan kuliner nasi goreng yang berkembang di Indonesia cukup beragam. Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian FTP UGM, Dwi Larasatie Nur Fibri, dalam webinar bedah buku Fakultas Teknologi Pertanian UGM #2 bertajuk ”Nasi Goreng Indonesia Cita Rasa Mendunia” pada Juli 2021 menyebutkan, ada tiga tipe nasi goreng yang ada di Indonesia, yakni orisinal (dapat ditelusuri daerah asalnya), pengembangan (tidak dapat ditelusur daerah asalnya), dan campuran (terdiri dari campuran nasi dan bahan lain). Kombinasi bahan dan teknik pemasakan bisa menghasilkan cita rasa yang beragam.
Dwi mendata profil bumbu pada sejumlah nasi goreng tipe orisinal didominasi oleh bawang putih sekitar 94 persen, bawang merah (69 persen), garam (61 persen), cabai (58 persen), dan merica (56 persen). Sementara pada nasi goreng tipe pengembangan sebanyak 86 persen menggunakan bawang putih, garam (83 persen), cabai (49 persen), merica (49 persen), dan bawang merah (46 persen).
Tanpa disadari, makanan atau masakan tertentu mampu membangunkan memori seseorang akan suatu hal. Mungkin situasi saat menyantapnya, lokasi, juru masak, atau berhubungan juga dengan penginderaan suatu produk makanan yang meliputi rasa, warna, bau, dan sentuhan (organoleptik).
Dalam forum yang sama dengan Fadly, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM Prof Wening Udasmoro mengungkapkan, gastronomi dan kuliner Nusantara adalah serpihan-serpihan pengetahuan yang dialami sebagai hasil penemuan, inovasi, interaksi lokal dan global yang terus bergerak. Kuliner dan gastronomi merupakan budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Di dalamnya, ada pengetahuan dan penyesuaian yang terus berkembang.