Asosiasi Diharapkan Atasi Kendala Pengelolaan Perhutanan Sosial
Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia masuk ke Kalimantan Tengah dengan membentuk badan pengurus daerah. Perhutanan sosial di Kalteng menghadapi berbagai macam tantangan seusai pemberian izin.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pengelolaan hutan pasca-pemberian izin perhutanan sosial masih menemukan banyak tantangan, bahkan ancaman. Untuk itu, para petani dan aparatur desa yang mengelola perhutanan sosial pun bergabung ke wadah Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia.
Pada Rabu (13/7/2022), Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) membentuk Badan Pengurus Provinsi (BPP) Kalimantan Tengah di Kota Palangkaraya. Pengurus diisi oleh Lembaga Desa Pengelola Hutan (LDPH) hingga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang sebagian besar merupakan aparatur desa dan petani-peladang di Kalteng. Wideni dari Desa Henda terpilih sebagai Ketua BPP Kalteng AP2SI.
Hadir dalam kegiatan itu Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ari Wibowo; Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Nasional (BPN) AP2SI Achmad Rozani; serta Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata.
Rusli, Ketua LDPH Desa Pilang, mengungkapkan, di desanya terdapat dua skema perhutanan sosial yang diberikan pemerintah, yakni hutan desa dan hutan adat. Dia menjelaskan, selama ini kawasan hutan desa baru dimanfaatkan untuk jasa lingkungan menjaga kawasan karena wilayah tersebut merupakan lokasi langganan kebakaran hutan dan lahan sejak 1997.
Kawasan hutan desa, lanjut Rusli, saat ini tutupannya masih cukup baik dengan berbagai tanaman endemik gambut tumbuh di tempat itu. Namun, ia berharap ada pendampingan serta mencari gagasan agar hutan desa bisa mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan untuk warga.
”Apalagi sekarang ada (program) Food Estate, jadi ada beberapa lahan di desa kami masuk dalam kawasan ekstensifikasi sehingga sekarang lahan itu jadi sawah untuk menanam padi,” ungkap Rusli.
Rusli menjelaskan, setidaknya 1.060 hektar kebun masyarakat berubah menjadi sawah setelah masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate atau lumbung pangan. Rusli dan masyarakatnya menerima program itu, bahkan sudah mulai menanam saat ini meski ia menyadari melawan prinsip perhutanan sosial dengan reforestasi.
”Kami berharap dengan adanya wadah ini ada pertukaran gagasan agar hutan desa dan hutan adat kami bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat,” ungkap Rusli yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Pilang.
Melihat hal itu, Ari Wibowo mengungkapkan, dalam pengelolaan hutan, pemerintah dan masyarakat tidak bisa berdiri sendiri. Banyak kelompok usaha juga pengurus pemegang izin perhutanan sosial didampingi oleh berbagai lembaga di luar pemerintah. ”Pengelolaan hutan ini harus melibatkan multipihak. Kami berharap besar terhadap wadah atau asosiasi ini,” ucapnya.
Ia tidak menampik pengelolaan perhutanan sosial di Kalteng memiliki banyak tantangan, bahkan ancaman. Ini, antara lain, terkait akses wilayah perhutanan sosial yang jauh dari pusat permukiman desa, alokasi areal yang tidak tepat sasaran, kurangnya pendampingan atau asistensi, ketergantungan kelompok pada pendamping, belum ada pemantauan dan evaluasi pada pengelolaan perhutanan sosial, hingga minimnya pelatihan pengembangan usaha.
AP2SI melakukan advokasi dalam kebijakan hingga masyarakat memegang penuh legalitas atas lahannya atau kawasan hutannya.
AP2SI merupakan wadah yang dibentuk atas inisiasi Walhi pada 2019 yang berisi 51 kelompok perhutanan sosial (KPS) dari seluruh Indonesia. Salah satu tujuan wadah ini adalah merangsang pengelola-pengelola perhutanan sosial baru, apalagi dengan target nasional yang dicanangkan Presiden Jokowi sebesar 12,7 juta hektar.
Achmad Rozani menjelaskan, dua tugas utama AP2SI meliputi pemantauan dan advokasi, mulai dari persoalan tata batas hingga ancaman-ancaman terhadap wilayah perhutanan sosial lainnya. Tujuannya adalah memberikan hak kuasa kepada masyarakat hingga mereka produktif dan menghasilkan dampak ekonomi.
Untuk memenuhi hak kuasa tersebut, lanjut Rozani, AP2SI melakukan advokasi dalam kebijakan hingga masyarakat memegang penuh legalitas atas lahannya atau kawasan hutannya. Ini dilakukan meskipun perhutanan sosial masih dibatasi dengan izin yang berdurasi 35 tahun dan luas wilayah hingga 5.000 hektar.
”Dalam konteks advokasi juga termasuk melihat kembali kebijakan-kebijakan yang mengancam lalu melakukan pemantauan sehingga kami bisa mendorong lembaga (pemerintah) terkait untuk melihat itu,” kata Rozani.
Rozani menambahkan, penguatan pengetahuan kelompok perhutanan sosial juga termasuk membantu promosi produk kawasan perhutanan sosial. Ia mencontohkan salah satu kelompok perhutanan sosial yang sukses di Indonesia ada di Sulawesi, tepatnya di Desa Labo yang memproduksi kopi.
Desa tersebut didampingi lembaga Balang Institute yang berhasil melakukan reforestasi, tapi dengan tetap menghasilkan keuntungan bagi masyarakat. ”Bahkan, ada satwa liar baru yang hidup di kawasan perhutanan sosial itu. Kenapa baru? Karena tidak ada bahasa lokal untuk menamai satwa yang seperti kuskus itu. Warga pun baru pertama kali melihatnya,” kata Rozani.
Lebih lanjut, Rozani menambahkan, ancaman dan tantangan di kawasan perhutanan sosial itu harus dapat diatasi untuk mewujudkan visi perhutanan sosial, yakni ”Rakyat Sejahtera, Hutan Lestari”. Untuk mewujudkan visi tersebut, program perhutanan sosial harus memiliki sistem kelola yang partisipatif dan integratif.
Hal tersebut mencakup skema wilayah kelola rakyat yang meliputi tata kuasa (pemberian akses), tata kelola (perencanaan dan pemanfaatan), tata produksi (hasil pemanfaatan), serta tata konsumsi (penggunaan dari hasil kelola dan produksi).