Satu lagi hutan adat di Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, diusulkan melalui skema perhutanan sosial. Selain hutan adat, masyarakat juga mengusulkan skema hutan kemasyarakatan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Satu lagi hutan adat di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, diusulkan melalui skema perhutanan sosial. Selain hutan adat, masyarakat juga mengusulkan skema hutan kemasyarakatan.
Hutan adat pertama di Kalteng, yang mendapat pengakuan dari pemerintah melalui skema perhutanan sosial, berada di Desa Pilang, Pulang Pisau. Pengakuan diberikan Kementerian Lingkungan Hidup pada pertengahan 2019. Pengakuan diberikan atas Hutan Adat Barasak yang memiliki luas 102 hektar.
Saat ini, hutan adat kedua yang sedang diusulkan adalah Hutan Adat Simpur. Hutan adat tersebut berada di Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Jaraknya sekitar 112 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah.
Kepala Desa Simpur Ager menjelaskan, luas kawasan yang diusulkan menjadi hutan adat tersebut lebih kurang mencapai 700 hektar. Pihaknya sudah berupaya mengubah status kawasan itu menjadi hutan adat sejak 2010.
”Selama ini kawasan itu langganan kebakaran, kalau jadi hutan adat akan kami tanam lagi semua tanaman yang bisa tumbuh (endemik) di gambut,” kata Ager saat ditemui di Desa Simpur, Senin (6/7/2020).
Selama ini kawasan itu langganan kebakaran, kalau jadi hutan adat akan kami tanam lagi semua tanaman yang bisa tumbuh di gambut.
Ager menjelaskan, pihaknya selama ini tidak bisa mengelola lahan tersebut lantaran masuk dalam kawasan hutan lindung. Total terdapat 6.000 hektar kawasan yang ada di desa itu merupakan hutan lindung.
”Kalau tidak bisa dikelola artinya tidak bisa dijaga. Di sana setiap tahun jadi langganan kebakaran,” ungkap Ager.
Di Desa Simpur, masyarakat yang jumlahnya hanya 600 orang itu memiliki mata pencarian utama sebagai petani, penyadap karet, dan buruh sawit di perusahaan terdekat. Adanya hutan adat, Ager berharap, bisa memberikan banyak dampak ekonomi untuk masyarakat.
Tidak hanya hutan adat, lanjut Ager, pihaknya juga akan mengusulkan skema hutan kemasyarakatan (Hkm) agar bisa dikelola masyarakat. ”Jadi tanggung jawab terhadap adatnya adat, kesejahteraannya juga ada,” ujarnya.
Masyarakat adat Simpur didampingi lembaga Kemitraan yang juga merupakan mitra kerja Badan Restorasi Gambut (BRG). Fasilitator Desa Simpur dari lembaga Kemitraan Alisa mengungkapkan, saat ini pihaknya sudah membentuk struktur pengurus hutan adat dan hutan kemasyarakatan. Setelah itu, pihaknya membuat rencana pengelolaan.
”Peraturan adat yang selama ini belum tertulis sudah dibuat tertulis. Itu juga menjadi pendukung untuk hutan adat nanti,” kata Alisa.
Alisa menambahkan, pihaknya juga sedang menunggu peraturan daerah terkait masyarakat hukum adat yang masih dibahas di DPRD Pulang Pisau. Namun, saat ini surat keputusan Bupati Pulang Pisau untuk pengakuan masyarakat adat sudah dibuat. Kedua kebijakan itu merupakan syarat pengakuan masyarakat adat dan pengesahan hutan adat.
Mantir Adat Desa Simpur, Siten (50), mengatakan, hutan adat sangat berarti bagi komunitas adat di sana sebagai bentuk pengakuan. Tak hanya itu, jika disahkan, nanti hutan adat itu sangat penting bagi perbaikan lingkungan agar tidak ada lagi kebakaran.
”Di tempat itu biasanya kami adakan ritual adat baik kelompok maupun pribadi, biasanya memberi makan nenek moyang karena di sana ada patahu (tempat sesajen) yang dikeramatkan,” kata Siten.
Siten menjelaskan, kawasan yang diusulkan menjadi hutan adat memiliki kawasan gambut sangat dalam. Kedalaman gambutnya bisa mencapai 4 meter. Karena sering terbakar, artinya gambut di kawasan itu tidak dalam kondisi yang baik.
”Kalau dari orangtua dulu, tempat yang gambutnya dalam itu rawa. Biasanya tidak digunakan untuk berladang, tetapi untuk kolam, mencari ikan, berburu, dan hal lainnya selain berladang,” kata Siten.
Sampai saat ini, dalam skema perhutanan sosial, total terdapat 151 izin pengelolaan yang diberikan kepada masyarakat di Kalteng dengan total luas lahan 205.381,95 hektar. Rinciannya, 28 hutan desa seluas 79.531 hektar, 69 hutan kemasyarakatan (68.107,99 hektar), 51 hutan tanaman rakyat (57.640,96 hektar), dan 1 hutan adat (102 hektar).
Di Simpur, kawasan yang diusulkan menjadi hutan adat dan hutan kemasyarakatan berada di kawasan eks proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 silam. Kini kawasan itu direncanakan untuk food estate atau lahan pertanian modern.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah Syamsuddin menjelaskan, sebagian besar kawasan yang masuk dalam program food estate sudah diubah menjadi kawasan konservasi meskipun statusnya hutan lindung.
”(Lahan konservasi) artinya lahan itu sudah bisa dimanfaatkan dan dikelola masyarakat,” ujar Syamsuddi.