Berikan Kepastian Hukum, 18 Izin Perhutanan Sosial Diserahkan ke Desa
Perhutanan sosial diciptakan untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berpikir, dengan masyarakat yang sejahtera, hutan dan lingkungan bisa lestari.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah memberikan surat keputusan pemegang izin perhutanan sosial untuk 18 desa di Kalteng. Hal itu dinilai merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum masyarakat dalam menjalankan usaha, baik di dalam maupun di sekitar hutan.
Surat tersebut diterima langsung oleh 18 kepala desa yang mendapatkan izin perhutanan sosial melalui beragam skema, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan skema lainnya. Ke-18 desa tersebut berada di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ikhtisan menjelaskan, penyerahan surat keputusan tersebut dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan sosialisasi terkait mekanisme pemberian izin. Menurut dia, pemerintah sangat terbuka kepada masyarakat yang ingin mengajukan skema perhutanan sosial untuk kesejahteraan masyarakat.
”Dengan adanya surat keputusan yang dipegang langsung oleh masyarakat, mereka mendapatkan kepastian hukum atas aktivitas yang dilakukan sebelum dan setelah izin perhutanan sosial diberikan,” kata Ikhtisan di Palangkaraya, Rabu (10/2/2021).
Data terakhir yang dihimpun Kompas, hingga kini terdapat 151 izin perhutanan sosial. Rinciannya, hutan desa sebanyak 28 unit izin yang luasnya mencapai 79.531 hektar, hutan kemasyarakatan 69 unit izin dengan luas 68.107,99 hektar, hutan tanaman rakyat sebanyak 51 unit izin dengan luas 57.640,96 hektar, dan tiga unit izin hutan adat dengan luas hanya 624 hektar. Totalnya 205.903,95 hektar perhutanan sosial di Kalteng.
”Acara itu juga sebagai ajang diskusi, belajar, dan tukar pengalaman antarsesama pemegang izin perhutanan sosial,” kata Ikhtisan.
Salah satu penerima izin perhutanan sosial, Kepala Desa Petuk Liti Intung D Onot, mengatakan, izin perhutanan sosial yang telah diberikan pemerintah bakal digunakan semaksimal mungkin, khususnya dalam mengelola hutan sebagai tempat untuk melestarikan hutan dan mencari penghidupan masyarakat.
”Dengan adanya izin ini, juga diharapkan masyarakat lebih leluasa untuk berusaha di dalam luasan sesuai izin yang telah diberikan pemerintah dalam perhutanan sosial. Di desa kami sendiri sudah ada empat kelompok usaha perhutanan sosial dan sudah merasakan manfaatnya di bidang ekonomi,” ujarnya.
Dengan adanya surat keputusan yang dipegang langsung oleh masyarakat, mereka mendapatkan kepastian hukum atas aktivitas yang dilakukan sebelum dan setelah izin perhutanan sosial diberikan. (Ikhtisan)
Sebagian besar wilayah izin perhutanan sosial berada di kawasan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Sebagai pengelola hutan tingkat tapak, KPH membantu masyarakat untuk menemukan potensi di wilayahnya.
Penyuluh Kehutanan KPH Produksi Kahayan Tengah, Nikolaus Dandy, menjelaskan, ada sembilan tahapan yang harus dilakukan dalam pemberian izin perhutanan sosial, yakni sosialisasi, identifikasi, survei potensi, tata batas, pembuatan zonasi, penataan kelembagaan, pembentukan dan penguatan kelompok usaha perhutanan sosial, serta menggali kemitraan. Menurut dia, hingga kini banyak aparatur desa sedang berproses untuk mendapatkan izin. Namun, karena sosialisasi yang kurang, izin-izin baru belum terealisasi.
”Untuk pengajuan proses perhutanan sosial bisa inisiatif dari desa itu sendiri jika skemanya hutan desa maupun inisiatif dari pemerintah. Dalam prosesnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang sembilan tahapan ini. Oleh karena itu, di situlah peran kami sebagai pendamping,” jelas Nikolaus.
Pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap pemberian izin ini juga bermitra dengan Borneo Nature Foundation (BNF) yang berkantor di Kalimantan Tengah. BNF memantau langsung pemberian izin, bahkan ikut mendampingi masyarakat.
Manajer Lanskap Rungan BNF YB Anugerah Wicaksono mengungkapkan, memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat menjadi poin penting dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perhutanan sosial. Masyarakat tidak perlu khawatir akan berurusan dengan hukum atau kendala tenurial lainnya di kemudian hari karena sudah memegang sendiri surat keputusan atau izinnya.
”Selama ini masyarakat hanya memegang kopiannya saja. Oleh sebab itu, BNF mendukung sosialisasi dan penyerahan SK perhutanan sosial langsung ke masyarakat,” ucapnya.
Anugerah menambahkan, pengelolaan lanskap Rungan beragam, ada perusahaan pemegang izin, KPH selaku pengelola wilayah, dan ada juga masyarakat dengan perhutanan sosialnya.
Hal itu membuat BNF mendorong wilayah hutan tersebut agar saling terkoneksi, tidak terbagi, sehingga bisa mengurangi konflik, bahkan dengan satwa liar dilindungi. Apalagi lanskap Rungan dikenal dengan salah satu habitat orangutan dengan populasi mencapai lebih kurang 3.000 ekor, tetapi hidup di luar wilayah konservasi.
”Konflik itu diantisipasi dengan koridor satwa, tetapi harus merupakan bentuk kesepakatan bersama seluruh aktor yang ada dalam bentang, yang di dalamnya termasuk masyarakat pengelola perhutanan sosial. Pemberian izin ini merupakan bentuk langkah pertama untuk memastikan masyarakat tahu di mana wilayah kelola mereka untuk perhutanan sosialnya,” tuturnya.