Mempertaruhkan Keselamatan demi Menyelamatkan Lingkungan
Setiap perjuangan memiliki konsekuensi. Begitu juga perjuangan menyelamatkan lingkungan dari kehancuran demi masa depan anak dan cucu. Namun, acap kali keluarga dan orang terdekat yang merasakan imbasnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Pejuang lingkungan hanya memiliki satu alasan, yakni menyediakan masa depan yang baik untuk keluarga dan generasi penerus. Namun, mereka menghadapi begitu banyak rintangan, mulai dari penjara, tindak kekerasan, hingga kematian. Mereka dilindungi oleh hukum yang semu.
Mega Silviana (23) saat ini sedang tekun mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Habaring Hurung itu bisa bernapas lega karena baru saja menjemput ayahnya, James Watt (48), yang baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sampit, Kotawaringin Timur.
Ayahnya dipenjara selama 10 bulan karena dituduh menjadi biang pencurian 15 tandan kelapa sawit. James tak sendiri. Ia bersama dua kawannya, yakni Dilik dan Hermanus Bin Bison. Dilik diputus bersalah dan dipenjara 8 bulan, sedangkan Hermanus meninggal seusai menjalani sidang ke-10 karena sakit sepanjang mendekam di penjara.
Sejak ditangkap hingga ditahan, Mega tidak tenang. Ia tinggal di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, untuk kuliah. Setiap minggu, ia harus dua kali pulang ke rumahnya di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, dengan jarak 78 kilometer hanya untuk menengok ibunya dan empat adiknya. Biasanya, ia hanya pulang sekali dalam sebulan.
Sejak ditangkap, ibu Mega jarang sekali bicara, penuh tatapan kosong, dan sesunggukan di kamarnya. Adik-adiknya masih duduk di bangku sekolah, satu di antaranya juga kuliah seperti dirinya.
Ia paham betul, tanpa bapak di rumah, artinya banyak hal hilang, termasuk mata pencarian. Ia pun memutuskan bekerja. Ia kemudian menjadi tenaga kontrak di Balai Basarah, rumah ibadah agama Hindu Kaharingan.
”Upah kerja saya hanya cukup untuk hidup saya di Sampit, sedangkan kuliah dan sekolah adik-adik enggak tertolong,” ucap Mega, Jumat (8/1/2021).
Tak hanya bekerja sebagai tenaga kontrak, Mega juga harus membantu ibunya menjual baram, minuman khas Dayak. Penghasilannya hanya Rp 1,5 juta per bulan. Kuliah ia tinggalkan sementara demi bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Apa yang menimpa Mega juga menimpa keluarga Dilik, apalagi Hermanus. Hermanus yang jadi tulang punggung keluarganya telah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak belia.
Sarini (40), istri dari Hermanus, masih merasa kehilangan suami. Dua anaknya, Jesika dan Jelita masih duduk di bangku sekolah dasar. Anak sulungnya Jesika baru berumur 8 tahun, sedangkan adiknya berumur 6 tahun.
Sarini menyaksikan sendiri kondisi suaminya, mulai dari sidang pertama hingga sidang ke-10 di Pengadilan Negeri Sampit, yang terus menurun. Mulai dari pucat sampai mengenakan kursi roda. Hermanus menghembuskan napasnya pada Minggu 26 April 2020. Dokter mengatakan, ia terkena penyakit jantung dan komplikasi.
Kepergian Hermanus membuat Sarini berjuang sendirian menghidupi kedua anaknya. Ia kerja serabutan. Menjadi buruh sadap karet di kebun-kebun tetangga. ”Sudah beberapa minggu ini saya tak lagi nyadap karet lantaran hujan,” katanya.
Upah Sarini bergantung dari berapa banyak karet yang ia sadap. Jika ia menjual karet dengan hasil Rp 1 juta, maka ia harus memberikan Rp 400.000 kepada pemilik tanah. ”Sekarang belum ada panggilan kerja lagi,” ujarnya.
Kami begini karena kami hanya tahu di masa depan anak-cucu kami tetap harus bisa menikmati hutan dan isinya.
Beruntung bagi Mega dan Sarini, masih banyak orang-orang baik di sekitar mereka. Bukan bantuan sosial pemerintah, melainkan inisiatif dari warga sekitar yang urunan mengumpulkan Rp 25.000 tiap bulan untuk mereka.
Tak hanya itu, beberapa tokoh jurnalis, pegiat lingkungan, sampai situs pengumpul donasi, juga beberapa lembaga dalam Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria, memberikan santunan agar Mega juga keluarga Sarini bisa bertahan selama masa suram itu. Namun, hal itu mungkin tidak berlangsung selamanya.
Modus pencurian
Di Kalimantan Tengah, banyak sekali jenis kriminalisasi yang berawal dari tuduhan pencurian. Ironisnya, tuduhan itu disasar kepada mereka yang vokal melawan ketidakadilan, seperti James Watt, Dilik, dan Hermanus.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Lamandau, tepatnya di Desa Kinipan. Saat itu, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing diseret polisi lantaran dituduh menjadi otak di balik pencurian peralatan milik perusahaan sawit juga pengancaman. Sebelum ia ditangkap, lima pemuda desa itu juga sudah ditangkap terlebih dahulu.
Mereka juga memperjuangkan hal yang sama, yakni warisan leluhur. Tanah, air, hutan beserta isinya. Namun, lagi-lagi mereka dituduh mencuri.
”Kami tidak pernah mencuri, kami sedang mempertahankan warisan leluhur, hutan adat kami. Seharusnya itu bukan hanya tugas kami, melainkan juga tugas yang berwenang,” kata Buhing.
Baik Buhing maupun lima pemuda lainnya akhirnya dilepas sebelum mereka disidang. Namun, status mereka masih menjadi tersangka yang suatu saat mungkin bisa diungkit lagi.
”Kami begini karena kami hanya tahu di masa depan anak-cucu kami tetap harus bisa menikmati hutan dan isinya,” ungkap Buhing.
Menurut Buhing, penolakan itu dilakukan karena saat ini begitu banyak bencana datang, seperti banjir hingga bencana asap lantaran hutan yang terus-menerus beralih fungsi. ”Lihat dan datang, lalu saksikan sendiri,” ujarnya.
Kepastian hukum
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, James Watt merupakan paralegal Walhi yang tugasnya memang mengumpulkan data dan informasi. James juga memiliki tugas memberikan pemahaman terkait hukum, bahkan hak asasi manusia.
”Pejuang lingkungan dijamin undang-undang agar tak bisa terjerat hukum, tetapi aturan ini seakan tak berlaku karena masyarakat yang mempertahankan lingkunngan dari praktik kotor dianggap pengganggu investasi,” kata Dimas.
Menurut Dimas, hingga kini di Kalimantan Tengah setidaknya terdapat 250 konflik lahan yang belum tuntas. Konsorsium Pembaharuan Agraria pun mencatat, sepanjang 2019 terdapat 279 konflik agrarian yang berdampak terhadap 109.042 keluarga di berbagai provinsi di Indonesia. Konflik itu berasal dari sektor perkebunan, properti, dan infrastruktur yang menjadi penyumbang terbesar terjadinya konflik agraria.
”Ini perlu menjadi perhatian, apalagi UU Cipta Kerja membuka ruang besar pada investasi yang sejalan dengan kian lebarnya jalan kriminalisasi para pejuang lingkungan,” tutur Dimas.
Ia berharap pemerintah daerah dan pusat kembali mendengarkan aspirasi masyarakat yang terdampak konflik. ”Selama mereka yang mempertahankan haknya itu dibungkam dan tidak didengar, kriminalisasi dan pelanggaran HAM bakal jalan terus,” kata Dimas.
Begitu banyak James Watt, Hermanus, Effendi Buhing, dan pejuang lingkungan lain di negeri nan agraris ini. Mereka berjuang untuk menyelamatkan lingkungan meski tak jarang hidup mereka tak terselamatkan.