Tangguh “Mama Bambu“ Pulihkan Ekonomi dan Ekologi
Goresan bekas luka sayatan bambu terlihat samar di telapak tangan Meria Angela Mery (50). Luka itu menjadi salah satu bukti ketangguhannya menanam 8.000 bibit bambu dalam setahun terakhir.
Peran perempuan dalam mendongkrak ekonomi keluarga masih sering dipandang sebelah mata. Mama-mama di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, membalikkan stigma itu. Lewat pembibitan bambu, mereka berdaya memulihkan ekonomi keluarga dan melestarikan lingkungan di sekitarnya.
Dengan memakai sandal jepit, Meria Angela Mery (50) menuruni tebing menuju halaman samping rumahnya di Desa Rateroru, Kabupaten Ende, NTT, Selasa (21/6/2022). Ribuan polybag yang ditanami bambu memenuhi halaman itu.
Tangannya berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mematahkan ranting-ranting bambu yang kering. Goresan bekas luka sayatan bambu terlihat samar di telapak tangannya. Luka itu menjadi salah satu bukti ketangguhannya menanam 8.000 bibit bambu dalam setahun terakhir.
“Di sini tinggal sekitar 1.000 bibit pohon saja. Sisanya sudah diangkut untuk ditanam di pinggir sungai di desa tetangga,“ ujarnya.
Ibu lima anak itu merupakan satu dari 388 “mama bambu“ peserta program penghijauan di Flores. Program ini dijalankan Pemerintah Provinsi NTT bekerja sama dengan Yayasan Bambu Lestari (YBL) di tujuh kabupaten, yaitu Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, dan Sikka.
Baca juga: Ratusan Perempuan Ngada Hijaukan Anakan Bambu di Lahan Kritis
Mery sempat ragu mengikuti program itu. Sebab, bambu tumbuh liar di desa tersebut, tanpa ditanam. Namun, ia tertarik mencobanya setelah mengetahui satu bibit bambu akan diberi insentif Rp 2.500.
“Kami sempat bertanya-tanya, mengapa tidak mengambil bambu yang sudah ada saja? Setelah dijelaskan kalau bibit bambu akan ditanam di lahan kritis untuk melestarikan lingkungan, kami sepakat untuk mencobanya,“ jelasnya.
Bersama 14 “mama bambu“ lainnya di desa itu, Mery mulai mencari pohon bambu petung atau betung (Dendrocalamus asper) untuk dijadikan indukan. Mereka berjalan kaki menyusuri hutan, lembah, dan perbukitan.
Kami sempat bertanya-tanya, mengapa tidak mengambil bambu yang sudah ada saja? Setelah dijelaskan kalau bibit bambu akan ditanam di lahan kritis untuk melestarikan lingkungan, kami sepakat untuk mencobanya.
Perjalanan menuju hutan bambu memakan waktu lebih dari dua jam. Setiap pohon menghasilkan sekitar 20 bibit. Awalnya, setiap mama menargetkan menanam 2.000 bibit.
Namun, kurang dari sebulan ditanam, hampir semua bibit mati. Batang dan daunnya kering dan menguning. Hal ini nyaris membuat para “mama bambu“ putus asa. “Sudah capek-capek cari bibit setiap hari, ternyata mati semua. Sempat berniat berhenti,“ ujarnya.
Niat itu pupus setelah fasilitator YBL memberitahukan cara memotong cabang bambu yang tepat untuk dijadikan bibit. Mereka juga mengganti jenis bambu betung menjadi jenis aur (Bambusa vulgaris). Cabang 2-3 ruas direndam dalam air bercampur kulit bawang merah selama satu hari satu malam. Tujuannya untuk merangsang pertumbuhan akar.
Cara ini terbukti ampuh. Mayoritas bibit bambu tumbuh subur. Tingkat kegagalannya kurang dari 10 persen. Mama-mama pun bertambah semangat. Bahkan, mereka mengajak keluarga dan tetangga untuk membantu pembibitan tersebut.
Baca juga: Ribuan Bambu dan Pohon Ditanam untuk Pulihkan DAS di Kalsel
Setiap mama rata-rata menghasilkan 8.000 bibit. Dengan begitu, mereka memperoleh insentif Rp 20 juta per orang. Uang yang tergolong besar di tengah seretnya penjualan hasil kebun mereka dalam dua tahun terakhir karena terdampak pandemi Covid-19.
Mery mengaku, hasil kebun kemiri, cengkeh, dan kopi miliknya kurang dari Rp 10 juta per tahun. Sementara penghasilan suaminya sebagai tukang bangunan juga tidak menentu.
Sejak digulirkan pada pertengahan 2021, program penghijauan dengan pemberdayaan perempuan itu telah menghasilkan 2,5 juta bibit bambu. Bibit tersebut diproyeksikan merehabilitasi 80.000 hektar lahan di NTT.
“Kami sangat terbantu dengan pembibitan bambu ini. Sebelumnya tidak pernah saya mendapatkan uang Rp 20 juta,“ katanya.
Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang itu dipakai Mery untuk membiayai pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi dan SMP. Sisanya digunakan membeli tiga ekor anakan babi seharga Rp 1,6 juta per ekor.
“Kalau ternaknya sudah besar, bisa dijual untuk keperluan lain. Jadi, uang hasil pembibitan bambu tidak langsung habis,“ ujarnya.
Pabrik bambu
Kepala Desa Rateroru Kamilus Du berharap program pemberdayaan bambu tidak berhenti pada tahap pembibitan. Ia mengusulkan agar di Ende dibangun pabrik bambu setengah jadi sehingga mendapatkan nilai lebih. Hal itu diyakini akan mendorong lebih banyak warga menanam bambu.
“Kalau harapan ini terwujud, masyarakat bisa tanam dari sekarang. Dengan begitu, 6-7 tahun ke depan kita tidak perlu lagi omong pemanasan global karena semua sudah dirimbuni bambu yang melestarikan alam,“ ujarnya.
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Dorong Kesejahteraan Keluarga
Koordinator YBL Kabupaten Ende, Anita Yuyun, mengatakan, pembibitan bambu yang dilakukan mama-mama menyasar aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Kegigihan mereka dalam setahun terakhir menjadi bukti perempuan mampu berdaya di tengah beragam kesulitan.
“Kami ingin perempuan punya akses lebih mendapatkan penghasilan sehingga mampu meningkatkan ekonomi keluarga. Apalagi sebagian besar mama-mama di sini juga tulang punggung keluarga karena suami mereka sudah lama merantau,“ jelasnya.
Anita menambahkan, pihaknya saat ini sedang mempersiapkan program pembibitan lanjutan yang dinamai “Kebun Kepompong“. Mama-mama kembali dilibatkan membibitkan bambu hingga usia tiga tahun agar peluang hidupnya lebih tinggi saat ditanam di lahan kritis. Menurut rencana, bibit bambu ini juga ditanam di lahan perhutanan sosial.
Berjarak sekitar 95 kilometer dari Rateroru, sejumlah 25 “mama bambu“ di Desa Wolowea, Kabupaten Nagekeo, juga berjibaku membibitkan sekitar 200.000 pohon bambu. Rabu (22/6/2022) pagi, belasan perempuan dibantu anggota keluarga lainnya bergotong royong mengangkat ribuan bibit bambu ke dalam truk untuk ditanam di daerah aliran sungai.
“Sekitar 10.000 bibit sudah ditanam di pinggir sungai di desa ini. Sebagian lainnya diangkut ke desa-desa lain untuk penghijauan,“ ujar Lourdes Bhaya (51), salah satu “mama bambu“ di desa itu.
Tekad melawan ragu di awal program pembibitan tersebut berbuah manis. Setiap “mama bambu“ mendapatkan insentif Rp 15 juta-Rp 20 juta.
“Kami sempat mau menyerah karena kesulitan di awal pembibitan. Selain harus melewati jalan menanjak sejauh 3 km untuk menuju hutan bambu, banyak juga bibit yang mati. Namun, kami menyadari, program ini diperlukan untuk melestarikan lingkungan,“ ujarnya.
Merawat tradisi
Menurut Lourdes, pembibitan bambu juga sejalan dengan tradisi di Kampung Adat Wolowea. Mereka mempunyai tradisi membuat empat jembatan adat berbahan bambu yang disebut So Padha.
Jembatan-jembatan tersebut diganti setiap setahun sekali. Pembuatannya tidak memakai paku, tetapi diikat menggunakan tali ijuk.
“Jika suatu saat nanti keturunan kami membangun jembatan modern, jembatan bambu ini harus tetap ada. Jembatan ini punya makna penting dalam menghubungkan sembilan anak suku Wolowea. Kami juga bisa menjaga budaya gotong royong dan saling menolong,“ katanya.
Dalam aspek lingkungan, pohon bambu berguna menyimpan air dan mencegah erosi. Lourdes menuturkan, leluhur mereka berpesan agar tidak sembarangan menebang bambu, terutama yang tumbuh di daerah aliran sungai.
Baca juga: Saatnya Menyusun Cerita Bambu
Sejak digulirkan pada pertengahan 2021, program penghijauan dengan pemberdayaan perempuan itu telah menghasilkan 2,5 juta bibit bambu. Bibit tersebut diproyeksikan merehabilitasi 80.000 hektar lahan di NTT.
Kiprah “mama bambu“ dari Flores menjadi secuil bukti ketangguhan perempuan. Program pembibitan bambu hanya salah satu pintu kesempatan bagi mereka untuk berdaya. Saatnya pintu-pintu kesempatan lain dibuka demi menyongsong masa depan perempuan yang lebih cerah.