Jaksa Penuntut Belum Siap, Pembacaan Tuntutan Kades Kinipan Ditunda
Jaksa belum siap membacakan tuntutannya dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan Wiillem Hengki. Kondisi itu menuai protes dan kekecewaan warga Kinipan yang hadir di depan pengadilan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Sidang ke-14 kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan Willem Hengki pada Senin (30/5/2022) dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum ditunda. Tim JPU dari Kejaksaan Lamandau, Kalimantan Tengah, belum menyiapkan tuntutan sesuai waktu yang disepakati. Hal tersebut menuai protes warga dan mahasiswa yang mengawal jalannya persidangan.
Awalnya, sidang yang dipimpin hakim Erhamuddin itu ditunda dari pukul 09.00 WIB menjadi pukul 13.00 WIB sesuai waktu yang disepakati antara jaksa dan terdakwa melalui kuasa hukumnya. Hal itu karena jaksa belum siap membacakan tuntutan.
Dalam lanjutan sidang, Senin ini, tak ada satu pun jaksa yang hadir secara fisik di dalam ruang sidang. Jaksa yang dipimpin oleh Okto Silaen itu menghadiri sidang secara daring. Pada pukul 13.00, Okto kemudian meminta sidang ditunda lagi karena pihaknya belum melakukan ekspose atau gelar perkara ke Kejaksaan Tinggi Kalteng. Akhirnya, Erhamuddin menunda sidang. Sidang kembali digelar pada Selasa (31/5/2022) pukul 15.00.
Hal itu kemudian memicu protes ratusan warga Kinipan yang datang dari Desa Kinipan. Mereka menempuh perjalanan sejauh 537 kilometer ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Palangkaraya untuk mendengarkan tuntutan jaksa dan agenda pembacaan putusan di sidang-sidang berikutnya.
Kasus tersebut bermula saat inspektorat mendapatkan perintah khusus dari Bupati Lamandau untuk memeriksa anggaran Desa Kinipan pada 2020. Dari pemeriksaan itu terdapat temuan pembangunan jalan desa tahun 2019 yang tidak ada dalam anggaran (Kompas, 31 Maret 2022).
Pemeriksaan tersebut kemudian ditindaklanjuti Polres Kabupaten Lamandau hingga akhirnya Kepala Desa Willem Hengki ditahan setahun lalu dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan. Ia dinilai merugikan negara Rp 261.356.798,57.
Terkait penundaan sidang pada Senin ini, Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, yang juga koordinator aksi, menilai, kejaksaan tidak menghormati persidangan dengan terus mengulur waktu. Pihaknya kecewa karena sejak pagi hari sudah berada di depan pengadilan untuk mengikuti jalannya persidangan.
Sekitar pukul 13.00, saat pihak kejaksaan tidak memberikan penjelasan ke peserta aksi, Effendi dan beberapa tokoh adat Kinipan menggelar ritual. Mereka memotong leher ayam di depan kantor pengadilan dan melempar beberapa butir beras untuk meminta pertolongan leluhur.
”Kami berharap Tuhan membantu kepala desa kami yang lehernya terpasung dan lengannya terjerat. Semoga keadilan benar-benar diberikan,” teriak Hardias Sway, salah satu tokoh adat yang hadir sambil merapal doa.
Effendi menjelaskan, kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan merupakan kasus yang penuh kejanggalan karena muncul atas intruksi khusus pimpinan daerah. Kasus itu dinilai merupakan bentuk kriminalisasi yang menghambat dan mengganggu perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak mereka, yakni hutan adat Kinipan yang sedang digerus perusahaan perkebunan kelapa sawit. ”Kami minta kejaksaan menghormati sidang. Jangan ambil keputusan sepihak dan mendadak,” katanya.
Jaksa Okto Silaen saat dihubungi melalui pesan singkat menjelaskan, sejak awal persidangan sudah disepakati bahwa persidangan dilaksanakan secara tatap muka dalam hal pembuktian. Agenda-agenda berikutnya bisa dilaksanakan secara daring.
Terkait penundaan sidang hari ini, semata-mata hanya karena masalah nonteknis karena kami tim JPU harus terlebih dahulu melakukan ekspose ke Kejaksaan Tinggi Kalteng. (Okto Silaen)
”Terkait penundaan sidang hari ini, semata-mata hanya karena masalah nonteknis karena kami tim JPU harus terlebih dahulu melakukan ekspose ke Kejaksaan Tinggi Kalteng,” katanya.
Okto mengungkapkan, pada Selasa sore, sidang akan dilaksanakan dengan agenda pembacaan tuntutan. ”Penundaan sidang juga hanya satu hari,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, salah satu kuasa hukum terdakwa, Parlindungan Hutabarat, menilai, jaksa dari Kejaksaan Negeri Lamandau tidak profesional dan melanggar etika. Jaksa meminta penundaan dua kali hanya karena belum siap.
”JPU, kan, belum siap. Seharusnya tuntutan itu sudah disiapkan jauh-jauh hari, masa baru sekarang berkoordinasi. Seharusnya, Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Kalteng menegur jaksa dari Kejaksaan Negeri Lamandau,” ungkap Parlin.
Parlin menilai, jaksa mempermainkan nasib terdakwa dengan tindakan yang tidak profesional. Sikap protes dan kecewa peserta aksi hari ini merupakan gambaran wajar karena perilaku jaksa.
Penundaan persidangan oleh jaksa, lanjut Parlin, terjadi karena alasan koordinasi dan belum siap. Hal itu dinilai tidak wajar dalam etika persidangan. ”Walaupun kami kecewa, kami tetap menghormati proses hukum agar tetap berjalan,” katanya.