Kades Kinipan Ditahan Polisi karena Bayar Utang Proyek Jalan Desa
Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki ditahan polisi karena dugaan korupsi dana desa dalam proyek jalan di desanya di Lamandau, Kalimantan Tengah. Hal itu dinilai sebagai bentuk melemahkan perjuangan masyarakat Kinipan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
NANGA BULIK, KOMPAS — Seusai ditetapkan sebagai tersangka beberapa waktu lalu, Kepala Desa Kinipan Wilem Hengky saat ini ditahan setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke tahap dua. Wilem ditahan atas dugaan kasus korupsi jalan desa. Banyak pihak menilai tindakan itu tak terlepas dari perjuangan Wilem mempertahankan hutan adat dari alih fungsi lahan bersama warga lainnya.
Kepala Kepolisian Resor Lamandau Ajun Komisaris Besar Arif Budi Utomo membenarkan adanya penahanan yang dilakukan pihaknya atas Kepala Desa (Kades) Kinipan Wilem Hengki di Lamandau, Kalimantan Tengah. Penahanan dilakukan karena berkas perkara tersangka akan dilimpahkan pada Senin 17 Januari 2022.
”Benar (tersangka) sudah ditahan. Senin depan itu rencananya akan dilimpahkan ke kejaksaan tersangka dan barang buktinya,” ujar Arif saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (14/1/2022).
Sebelumnya, Arif menjelaskan, pihaknya menetapkan WIlem Hengki sebagai tersangka sejak 1 September 2021. Penetapan tersangka itu dilakukan setelah polisi mendapatkan laporan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait selisih pekerjaan jalan desa sebesar Rp 260 juta.
Pada 2017, lanjut Arif, proyek jalan desa itu selesai dibangun, tetapi tidak ada dokumen hasil pekerjaan atau laporan di atas kertas dan penyampaian dilakukan hanya secara lisan. ”Jadi, pekerjaan fisik dengan biaya yang dikeluarkan negara terdapat selisih sehingga menimbulkan kerugian negara,” kata Arif.
Arif menambahkan, Wilem Hengki dikenai Pasal 3 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Ia diancam penjara minimal 1 tahun dan ancaman maksimal 20 tahun dengan denda paling besar Rp 1 miliar.
Menanggapi penahanan itu, kuasa hukum Wilem Hengki dari LBH Palangkaraya, Aryo Nugroho, mengungkapkan, sejak diperiksa pada saat penetapan tersangka sampai Kamis (13/1), Wilem Hengki tidak pernah ditahan. Lalu, hanya karena menunggu proses pelimpahan dari polisi ke kejaksaan (P-21), Wilem justru ditahan.
”(Penahanan) ini aneh karena proses penyelidikan di tingkat polisi sudah selesai, tetapi tetap ditahan, padahal sebelumnya tidak. Kami upayakan untuk penangguhan penahanan pun ditolak dengan alasan perintah pimpinan,” tutur Aryo.
Aryo sebelumnya menjelaskan, proyek jalan sepanjang 1.300 meter itu dilaksanakan pada 2017 saat Wilem Hengki belum menjadi kepala desa.
Lalu, pada 2018, Desa Kinipan dipimpin oleh penjabat sementara kepala desa yang tidak bisa membayarkan proyek jalan yang sudah selesai dikerjakan tersebut. Alasannya, sebagai penjabat sementara, ia tak punya kuasa mencairkan anggaran. Lalu, pada 2019, saat Wilem Hengki menjadi kepala desa, sejumlah pejabat desa dan kontraktor yang membuat jalan itu mendatanginya untuk menagih pembayaran jalan yang dimaksud.
Wilem Hengki tidak langsung membayarkan utang proyek yang terjadi di periode kepala desa sebelumnya. Ia kemudian membuat musyawarah desa meminta kesepakatan warga untuk membayarkan utang proyek itu. Utang yang harusnya dibayar pada 2017 pun dibayar pada 2019.
”Pekerjaan fisiknya ada dan sudah selesai, jelas-jelas ini tidak ada unsur memperkaya diri sendiri atau kelompok. Kades hanya bayar utang pekerjaan kades sebelumnya,” kata Aryo.
Aryo menjelaskan, nilai proyek tersebut lebih kurang Rp 400 juta. Kemudian, kepala desa meminta dilakukan penghitungan ulang sehingga menjadi Rp 350 juta. Utang itu dibayarkan pada 2019 dengan nilai menjadi Rp 321 juta setelah dipotong pajak ke kontraktor.
”Lebih aneh lagi kepala desa menjadi tersangka tunggal, tidak ada tersangka lain,” ujar Aryo. Meski ditahan dengan cara demikian, lanjut Aryo, pihaknya akan tetap mengikuti aturan dan proses hukum yang berlaku.
Hutan adat
Sebelum Kepala Desa Kinipan menjadi tersangka, polisi juga pernah menangkap Ketua Adat Laman Kinipan Effendi Buhing tahun lalu dalam kasus dugaan pencurian. Proses penangkapannya pun menjadi viral, tetapi pada akhirnya ia dibebaskan dengan status sebagai tersangka.
Tak hanya itu, sebelum Effendi Buhing, lima orang lainnya, termasuk beberapa perangkat desa, juga menjadi tersangka dalam kasus pencurian. Semuanya masih menjadi tersangka dengan status yang belum jelas hingga sekarang.
Melihat hal itu, Paulus Danar, pengurus di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalteng, mengungkapkan, upaya aparat dan pemerintah daerah dalam kasus ini merupakan pelemahan perjuangan hutan adat dan pengakuan terhadap masyarakat adat Kinipan.
Seluruh warga dan pejabat desa yang menjadi tersangka tergabung dalam gerakan perjuangan mempertahankan hutan adat dari alih fungsi lahan.
Upaya aparat dan pemerintah daerah dalam kasus ini merupakan pelemahan perjuangan hutan adat dan pengakuan terhadap masyarakat adat Kinipan.
Jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka memang ada instruksi khusus dari atasan ke inspektorat untuk memeriksa penggunaan dana desa di Desa Kinipan, padahal kejadian serupa terjadi hampir di semua desa.
Danar menjelaskan, Wilem Hengki merupakan salah satu tokoh perjuangan masyarakat yang selama ini ikut mendukung masyarakat adat dalam mendapatkan pengakuan, termasuk wilayah kelola adatnya. Ia juga berupaya dan terus mendorong agar pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat agar mendapatkan pengakuan.