Kasus Proyek Jalan Desa Kinipan Dinilai Persoalan Administrasi
Sidang dugaan kasus korupsi Kepala Desa Kinipan Willem Hengki berlanjut ke pemeriksaan saksi ahli. Keterangan saksi yang dihadirkan JPU dinilai justru menguatkan posisi terdakwa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sidang dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Willem Hengki berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari jaksa penuntut umum. Saksi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah mengungkapkan, persoalan Willem Hengki merupakan kesalahan administrasi.
Hal itu diungkapkan Tjipto Prasetyo Nugroho, salah satu staf pemeriksa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dari Direktorat Advokasi Pemerintah Daerah, di dalam ruang sidang. Sidang pada Kamis (21/4/2022) pagi itu dipimpin Erhammudin dan dua hakim anggota.
Sebelumnya, sejak Agustus 2021, Kepala Desa Kinipan Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan. Ia dinilai memperkaya orang lain, dirinya sendiri, atau kelompok karena membayar utang proyek jalan tersebut. Willem diduga merugikan negara sebesar Rp 261.356.798, 57.
Kerugian negara itu, menurut JPU, dilihat dari beberapa aspek, salah satunya jalan yang fiktif karena ada mata anggaran 2019 yang dikerjakan pada 2017. Selain itu, secara fisik, jaksa melalui saksi pengawas menilai jalan tersebut hanya bernilai Rp 50 juta.
Pada Kamis pagi, JPU menghadirkan saksi ahli yang melakukan pemeriksaan administrasi proyek jalan usaha tani tersebut. Sidang yang berlangsung lebih kurang dua jam itu hanya mendengarkan keterangan satu saksi ahli.
Tjipto menjelaskan, dirinya melakukan pemeriksaan proyek jalan desa di Kinipan tanpa melakukan pengamatan di lokasi. Ia hanya mendapatkan keterangan dari penyidik di Polres Lamandau dan Kejaksaan Negeri Lamandau.
Saat ditanya oleh Muji Kartika Sari, salah satu hakim anggota, Tjipto mengaku belum pernah duduk bersama dengan petugas dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Lamandau, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalimantan Tengah, dan lembaga yang melakukan pemeriksaan serupa lainnya.
”Tidak pernah (duduk bersama). Tidak ada kami terima juga data-data dari BPKP, semua sumber data saya dari penyidik,” ungkap Tjipto.
Tjipto mengukapkan, proyek tersebut dinilai fiktif karena tidak ada dokumen serah terima yang dibuat oleh pemerintah desa. Dengan begitu, ia menyimpulkan kepala desa merekayasa anggaran 2019 guna membayar utang di anggaran sebelumnya untuk proyek yang sama. ”Kalau secara administrasi tidak ada serah terima, malah bisa jadi fiktif,” ujar Tjipto.
Seusai persidangan, salah satu kuasa hukum Willem Hengki, Aryo Nugroho, mengungkapkan, keterangan ahli dari JPU justru menguatkan fakta bahwa proyek jalan desa itu ada dan tidak fiktif. Ada persamaan pendapat pula bahwa tidak ada pengerjaan jalan pada 2019 karena hanya pembayaran utang.
”Saksi bahkan mengungkapkan kalau ini bukan total loss karena ada yang dikerjakan. Jadi kasus ini apakah persoalan administrasi atau korupsi?” kata Aryo.
Menurut Aryo, ahli menilai kalau secara administrasi, anggaran tahun 2019 itu merupakan kesalahan. Namun, menurut dia, hal itu tidak bisa serta-merta membuktikan Willem Hengki melakukan korupsi karena tetap harus dibuktikan. ”Satu hal yang kami sepakati bahwa (anggaran) 2019 itu untuk bayar utang,” ujar Aryo.
Aryo mengungkapkan, pihaknya akan menghadirkan saksi ahli dari sisi kebijakan anggaran dan kontruksi jalan. Hal itu dilakukan untuk membuktikan nilai proyek sepanjang 1.300 meter itu lebih dari Rp 50 juta.
”Ahli konstruksi yang kami hadirkan itu akan mencoba menyanggah keterangan BPKP yang menggunakan data Dinas PU, bahwa jalan itu nilainya hanya Rp 50 juta. Buat kami (nilai) itu tidak masuk akal,” ungkap Aryo.
Adapun kasus dugaan korupsi jalan usaha tani di Desa Kinipan selama ini dinilai banyak pihak sebagai upaya menghentikan perjuangan hutan adat Kinipan.