Anak Perempuan di Aceh Kembali Menjadi Korban Pemerkosaan
Korban diperkosa oleh bekas pacar dan dua temannya. Kini, korban masih trauma, sedangkan pelaku ditahan polisi. Pelaku dijerat menggunakan Qanun Hukum Jinayat dengan ancaman 90 kali cambuk atau 90 bulan penjara.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerkosaan anak di bawah umur kembali terjadi di Aceh. Kali ini, korbannya adalah perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa tiga lelaki di Aceh Besar. Pemulihan korban dari trauma harus dilakukan, selain memberikan hukuman kepada pelakunya.
Peristiwa yang terjadi pada Selasa (23/3/2022) malam itu bermula saat korban diajak MY (17), salah seorang pelaku, berjalan-jalan. Keduanya pernah memiliki hubungan asmara. Hingga pada pukul 00.30, keesokan harinya, keduanya tiba di sebuah bengkel. Di tempat itu, korban diperkosa.
Derita korban tak hanya itu. Saat hendak membawa pulang korban, MY bertemu YA (18) dan FJH (17), dua pelaku lainnya. Niat busuk MY muncul lagi. Dia mengajak kedua temannya memperkosa korban di sebuah toko cuci pakaian milik FJH.
Perbuatan pelaku baru terbongkar pada Rabu (24/3) pagi. Korban mengadukan kejadian yang dialaminya kepada orangtuanya yang lantas melaporkan kasus ini kepada polisi. Hari itu juga pelaku ditangkap di rumahnya masing-masing.
Pelaku terancam dijerat Qanun Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman maksimal 90 kali cambuk atau penjara 90 bulan. MY dan FJH akan menjalani hukuman sesuai UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ”Korban masih trauma dan kini didampingi psikolog,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Banda Aceh Komisaris Ryan Citra Yudha, Minggu (27/3).
Ryan mengatakan, Qanun Jinayat digunakan untuk menjerat korban karena ada surat edaran Kejaksaan Agung. Semua jajaran kejaksaan di Aceh diminta menggunakan qanun untuk perkara kekerasan seksual terhadap anak.
Kasus pemerkosaan anak ini menambah panjang kasus serupa di Aceh. Pada 11 Desember 2021, seorang anak perempuan berusia 15 tahun diperkosa oleh 14 pelaku di Nagan Raya.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, pada 2017-2020, ada 2.946 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus paling banyak terjadi kekerasan psikis dan fisik, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati menuturkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh semakin tidak terbendung. Dia menilai perlindungan terhadap anak masih lemah.
Riswati mengatakan, secara umum, banyak pemerintah daerah yang belum mengarusutamakan isu perlindungan anak dalam kebijakan pembangunan. Hal itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran untuk program perlindungan anak.
Riswati mengatakan, sejauh ini komitmen kepala daerah di Aceh untuk melindungi perempuan dan anak baru sebatas narasi, belum pada aksi. ”Jika mereka serius melindungi anak, berikan anggaran yang memadai. Buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog, dan kebijakan lain,” kata Riswati.
Meski Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak, khusus di Aceh, proses hukum perkara kekerasan seksual terhadap anak masih menggunakan Qanun Hukum Jinayat. Dengan menggunakan qanun, proses sidang berlangsung di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Syahrul mengatakan, Qanun Jinayat tidak memiliki semangat melindungi anak korban kekerasan seksual. Selain sanksi terhadap pelaku lebih rendah dibandingkan dengan UU Perlindungan Anak, tidak ada aturan pembayaran restitusi kepada korban.
Oleh karena itu, LBH Banda Aceh dan lembaga yang konsen pada isu anak di Aceh mendorong pemerintah daerah untuk revisi qanun tersebut. Saat ini, rencana revisi qanun tersebut telah dimasukkan dalam rencana legislasi tahun 2022 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.