Pelabuhan Tikus, Gerbang Maut bagi Pekerja Migran di Selat Malaka
Dua bulan terakhir, terjadi lima insiden perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Sebanyak 37 orang tewas dan 48 hilang.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Dua bulan terakhir, 37 pekerja migran tanpa dokumen tewas di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Jika Selat Malaka adalah kuburan pekerja migran, maka "pelabuhan tikus" yang menjamur di pantai timur Sumatera adalah gerbangnya.
Seperti namanya, pelabuhan tikus adalah tempat serba kotor dan muara segala macam transaksi gelap. Semua yang jahat ada di sana. Mulai dari pengiriman barang tanpa cukai, antar-jemput pekerja migran tanpa dokumen, sampai penyelundupan narkotika.
Dua bulan belakangan, lokasi misterius itu kembali ramai dibicarakan. Aparat pun berulang kali menyerbu pelabuhan-pelabuhan tikus di sepanjang pantai Sumatera.
Semua berawal pada 15 Desember 2021 saat sebuah perahu pengangkut 64 pekerja migran tanpa dokumen asal Indonesia karam di perairan Tanjung Balau, Johor, Malaysia. Dalam insiden itu, 22 pekerja migran tewas dan 29 orang hilang.
Satu hari kemudian, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, di Jakarta, mengungkap, perahu naas itu berangkat dari salah satu pelabuhan tikus di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia meminta, insiden ini dijadikan momentum untuk mengungkap sindikat perdagangan orang yang telah lama menggurita.
Tim investigasi yang dibentuk BP2MI dan Polri telah menangkap lima orang yang terlibat menyelundupkan 64 pekerja migran dari Bintan ke Johor itu.
"Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Polda Kepri) akan mengungkap (kasus ini) sampai ke akarnya," kata Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Harry Goldenhardt, Selasa (11/1/2022).
Namun, belum rampung satu kasus ditangani, terjadi lagi empat insiden lain perahu pengangkut pekerja migran karam di Selat Malaka. Rentetan peristiwa itu mengungkap kerawanan jalur perdagangan orang di pantai timur Sumatera.
Pada 21 Desember 2022, perahu pengangkut 50 pekerja migran tanpa dokumen karam di perairan antara Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia. Sebanyak 16 pekerja migran tanpa dokumen hilang.
Kemudian pada 14 Januari 2022, perahu pengangkut 21 pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan antara Riau dan Malaysia. Empat orang tewas dalam peristiwa itu.
Berselang tiga hari, perahu pengangkut 13 pekerja migran tenggelam di perairan Pontian, Johor. Dilaporkan tujuh orang selamat dan enam tewas dalam kecelakaan itu.
Terakhir, pada 20 Januari 2022, perahu pengangkut 27 pekerja migran karam di Teluk Ramunia, Johor. Dalam insiden itu lima orang tewas dan tiga lainnya hilang.
Pelabuhan tikus
Menurut keterangan aparat, lima insiden itu memiliki beberapa kesamaan. Pertama, perahu mereka mirip, yakni perahu kecil yang dilengkapi mesin dengan tenaga sangat besar. Kedua, semua perahu itu semuanya berangkat dari lokasi yang disebut pelabuhan tikus.
Penjahat perdagangan orang biasanya menggunakan perahu ringan yang mudah diluncurkan dari titik mana pun di pesisir. Perahu itu dilengkapi mesin bertenaga ratusan daya kuda. Dengan begitu, bila berangkat dari pelabuhan tikus di Batam atau Bintan, mereka bisa mencapai Malaysia dalam waktu kurang dari dua jam.
Sebenarnya, pelabuhan tikus tidak mengacu kepada lokasi suatu tempat secara khusus. Pelabuhan tikus hanya istilah untuk menyebut suatu titik di pesisir yang digunakan penjahat untuk melakukan aksinya.
Misalnya, perahu pengangkut 64 pekerja migran yang karam di perairan Tanjung Balau berangkat dari pelabuhan tikus di Sungai Gentong, Bintan. Adapun perahu pengangkut 13 pekerja migran yang tenggelam di perairan Pontian berangkat dari Pulau Jaloh, Batam.
Lain lagi dengan kasus penyelundupan pekerja migran tanpa dokumen yang diungkap TNI Angkatan Laut pada 19 Januari lalu. Komandan Pangkalan TNI AL Batam Kolonel Farid mengatakan, anggotanya menyelamatkan lima orang yang akan diselundupkan ke Malaysia lewat pelabuhan tikus di Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Batam.
Pantauan Kompas di lapangan, pelabuhan tikus di Kelurahan Tanjung Uncang letaknya tersembunyi di belakang galangan kapal PT Pandan Bahari. Pelabuhan tikus itu sebenarnya adalah tempat warga menambatkan perahu yang sehari-hari digunakan untuk transportasi antarpulau. Pelabuhan seperti itu jumlahnya ada ratusan di Kepri.
"Kami berusaha bersinergi (dengan instansi lain) di lapangan. Semakin banyak yang patroli di laut, maka pengawasan semakin baik," kata Farid, Jumat (21/1/2022).
Pada 17 Januari lalu, jajaran Kepolisian Daerah Kepri juga menggagalkan penyelundupan 22 pekerja migran tanpa dokumen yang akan diberangkatkan ke Malaysia melalui Pulau Judah, Karimu. Dua tersangka ditangkap.
Meski demikian, usaha aparat di Kepri mencegah penyelundupan pekerja migran seperti mencincang air. Selain jumlah pelabuhan tikus yang harus diawasi terlampau banyak, gelombang pekerja migran dari provinsi lain juga tidak terbendung.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) BP2MI Tanjung Pinang, Mangiring H Sinaga, Jumat (21/1/2022), mengatakan, calon pekerja migran marak menempuh jalur non-prosedural karena Malaysia belum membuka kembali penempatan pekerja migran. Mayoritas pekerja migran tanpa dokumen yang transit di Kepri berasal Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
"Kami akan berkoordinasi dengan UPTD BP2MI di daerah asal calon pekerja migran itu agar memperketat pengawasan. Bila ada indikasi keberangkatan calon pekerja migran tanpa dokumen bisa dikomunikasikan agar kami bisa mencegat di sini," kata Mangiring.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dampak pandemi Covid-19 membuat orang semakin sulit mencari kerja. Orang lapar kerja ini rawan terbujuk rayuan sindikat perdagangan orang untuk berangkat ke Malaysia melalui jalur non-prosedural.
"Ketika jalur resmi tidak kunjung dibuka, maka satu-satunya cara bagi mereka untuk berangkat ke luar negeri adalah lewat jalan pintas, seperti lewat Selat Malaka. Ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu," ujar Wahyu, Senin (23/1/2022).
Menurut dia, dari 2,5 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia, hanya 1,2 juta di antaranya yang berangkat dengan mengikuti prosedur resmi. Adapun jutaan pekerja migran yang lain harus kucing-kucingan dengan aparat untuk berangkat ke Negeri Jiran.
Seperti rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini, sebagian harus menempuh jalur gelap lewat pelabuhan tikus. Harapan yang sempat bersemi sesaat setelah meninggalkan tanah air harus layu dalam hitungan jam saat perahu mereka digulung ombak Selat Malaka.