Usut Sindikat Perdagangan Orang di Balik Tenggelamnya Perahu PMI
Aparat didesak mengusut tuntas sindikat perdagangan orang dalam tenggelamnya perahu pengangkut pekerja migran Indonesia di perairan Malaysia. Dalam peristiwa naas itu, 11 orang meninggal. Puluhan masih hilang.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Aktivis kemanusiaan di Batam, Kepulauan Riau, meminta aparat mengusut tuntas sindikat perdagangan orang dalam kasus tenggelamnya perahu pengangkut pekerja migran Indonesia atau PMI di perairan Johor, Malaysia. Data terakhir menunjukkan 11 orang meninggal dan 25 lainnya hilang.
Aktivis kemanusiaan RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Rabu (15/12/2021), mengatakan, peristiwa kecelakaan perahu pengangkut PMI sudah berulang kali terjadi di Selat Malaka. Ia meminta instansi berwenang lebih serius menjalankan tugas agar peristiwa tragis seperti ini tidak terus terulang.
”Saya minta aparat melakukan investigasi terhadap kasus ini secara serius. Sindikat perdagangan orang di balik kasus ini harus diungkap,” kata Paschalis.
Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru Andita Putri Purnama mengonfirmasi, kecelakaan perahu yang diduga mengangkut PMI itu terjadi di perairan Tanjung Balau, Kota Tinggi, Johor, Malaysia, Rabu (15/12/2021) dini hari. Hingga berita ini ditulis, tim SAR dan instansi terkait di Malaysia masih melakukan pencarian korban.
Dalam kecelakaan tersebut sebanyak 14 orang selamat (sebelumnya disampaikan 21) dan 11 orang meninggal. Pihak KJRI memperkirakan, perahu berukuran 12 meter x 2 meter dengan empat mesin tempel bertenaga 200 kuda itu mengangkut paling tidak 50 orang. Dengan demikian, diperkirakan masih ada 25 orang yang belum ditemukan.
Dikutip dari media The Star, Pengarah Maritim Negeri Johor, Malaysia, Laksamana Pertama Nurul Hizam menduga, perahu itu tenggelam karena cuaca buruk dan ombak tinggi. Penjaga Pantai Malaysia mengerahkan 35 petugas dengan dua kapal dan satu pesawat untuk mencari para korban.
Kepala Seksi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program Unit Pelayanan Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Tanjung Pinang, Darman M Sagala menduga, perahu pengangkut PMI itu berangkat dari pelabuhan tidak resmi di Pulau Bintan. Penyelundup manusia saat ini lebih sering memanfaatkan Pulau Bintan karena pengawasan di Pulau Batam kini sudah diperketat.
Penyelundup manusia saat ini lebih sering memanfaatkan Pulau Bintan karena pengawasan di Pulau Batam kini sudah diperketat. (Darman M Sagala)
Dalam catatan Kompas, Batam dan Bintan di Kepulauan Riau memang sering digunakan pekerja migran Indonesia ilegal untuk menyeberang ke Malaysia. Pada 20 September 2020, enam orang yang menyeberang dari Bintan tewas setelah perahu yang ditumpangi 15 orang itu karam di perairan Bandar Penawar, Malaysia.
Kecelakaan paling parah terjadi pada 2 November 2016. Ketika itu, kapal pengangkut 93 pekerja migran Indonesia ilegal dan lima anak balita dari Johor Bahru tenggelam di perairan Batam. Sebanyak 54 orang meninggal dan enam orang hilang.
Menurut Paschalis, selama pandemi Covid-19, kasus pemberangkatan PMI secara ilegal meningkat. Jaringan Safe Migran Batam mencatat, sepanjang 2020, ada 75 kasus perdagangan orang dan buruh migran bermasalah yang diungkap di kota ini. Sebanyak 111 orang dari berbagai daerah menjadi korbannya.
Selama pandemi, daerah asal PMI bermasalah juga menjadi lebih beragam dari sebelumnya yang terkonsentrasi di Nusa Tenggara dan Jawa. Paschalis menilai himpitan ekonomi yang semakin berat di masa pandemi membuat banyak orang nekat pergi ke luar negeri dengan segala cara untuk mencari pekerjaan.
"Hal ini seharusnya diantisipasi oleh aparat yang bertugas di perairan karena mereka yang paling tahu soal daerah. Jangan sampai perdagangan orang melalui jalur laut ini terus terjadi," ucap Paschalis.