Erupsi Semeru, Kegagapan, dan Tuhan yang ‘Dipersalahkan’
Bencana awan panas guguran Semeru pada 4 Desember 2021 membuktikan bahwa kita masih gagap meski sudah berkali-kali menghadapi bencana.
Bencana awan panas guguran Semeru pada 4 Desember 2021 membuktikan bahwa meski telah berkali-kali menghadapi bencana, tetap saja kita terkaget-kaget jika bencana sesungguhnya datang. Itu lumrah sebenarnya. Yang tidak lumrah adalah ketika kita tidak mau belajar, dan sekadar melempar tanggung jawab itu pada Tuhan.
Pada 4 Desember 2021, awan panas guguran Gunung Semeru luruh menyapu desa-desa di sekitarnya. Data korban jiwa per Jumat (10/12/2021), tercatat korban meninggal dunia 45 orang dan hilang 9 orang. Penyintas berjumlah 6.573 jiwa yang tersebar di 124 titik pos pengungsian.
Selain pengungsian, erupsi juga berdampak pada aset warga seperti rumah warga dan hewan ternak. Data sementara mencatat rumah terdampak 2.970 unit dan hewan ternak 3.026 ekor, dengan rincian sapi 764 ekor, kambing 684 dan unggas lainnya 1.578. Selain itu sejumlah fasilitas umum (fasum) turut terdampak antara lain sarana pendidikan 42 unit, sarana ibadah 17, fasilitas kesehatan 1 dan jembatan rusak 1.
Dari semua kedukaan itu, hal paling kasat mata adalah ketidaksiapan daerah menghadapi bencana erupsi Semeru. Padahal, sejak awal, daerah terdampak ini sudah disebut-sebut sebagai kawasan rawan bencana (KRB). Pun, sejak erupsi Semeru setahun lalu.
Bagaimana ketidaksiapannya? Bisa dibilang, daerah masih harus belajar manajemen bencana yang baik. Yang ada saat erupsi Semeru meletus Sabtu lalu adalah manajemen berbasis perasaan yang hasilnya karut marut dan semrawut.
Baca juga: Pesona dan Misteri Bromo Tengger Semeru
Hasil lima hari pemantauan KOMPAS (5-9 Desember 2021) selama di lapangan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang tidak ditemukan sosok koordinator/manajer/pemimpin lapangan yang akan mengendalikan seluruh operasi penanganan bencana. Hasilnya, semua pihak berjalan sendiri-sendiri berdasarkan kebutuhan dan perasaan, tanpa data. Mulai dari penanganan pengungsi, bantuan, relawan, dan kebutuhan jalan sendiri-sendiri.
Sebut saja di posko pengungsian SDN Supiturang 04. Sejak 4 Desember 2021 sore (sore hari setelah erupsi), relawan asal luar daerah (Malang) memutuskan sendiri lokasi posko mereka. Mereka juga mendata pengungsi, menampung, dan menyalurkan donasi. Bahkan, karena merasa toilet tidak mencukupi untuk banyak orang, relawan pun membuat toilet sendiri untuk 400-an pengungsi yang mereka tangani.
“Baru hari kelima ini orang kecamatan datang, menanyakan bagaimana selanjutnya? Saya menjawab, ayo kita kerja bareng. Anda mendata, saya yang menyalurkan. Jangan sampai ada korban tidak mendapatkan haknya, karena justru yang bukan korban yang mendapatkan," kata Mansur, koordinator posko SDN Supiturang 04.
"Bagi saya, bencana kali ini bedanya adalah pemerintah sangat lambat responnya. Bayangkan, mereka baru berkoordinasi dengan kami 5 hari setelah bencana. Biasanya, paling lambat sehari setelah bencana, kami sudah berkoordinasi dengan yang punya wilayah,” tambah Mansur.
Baca juga: Kisruh Pembagian Bahan Pokok di Desa Sumberluwuh
Sebagai bukan orang lokal, Mansur dan para relawan lain pun kesulitan memastikan mana warga terdampak dan bukan. Sempat terjadi kericuhan saat warga merangsek ingin mengambil bantuan yang disimpan di gudang posko, sementara relawan mencegah.
Relawan pun kesulitan saat datang bantuan yang membutuhkan kepastian tempat. Misalnya, datang satu truk bantuan pakan ternak dari Kabupaten Malang tiga hari setelah erupsi. Mereka datang ke posko pengungsian, dan bertanya mana kandang warga yang bisa dijadikan posko atau lokasi menampung pakan ternak. Alhasil, relawan pun kebingungan karena tidak paham medan. Adapun pihak pemerintah desa dari tingkat desa pun tak terlihat.
Bagi saya, bencana kali ini bedanya adalah pemerintah sangat lambat responnya. Bayangkan, mereka baru berkoordinasi dengan kami 5 hari setelah bencana (Mansur-relawan bencana Semeru)
Keterbelahan lokasi (Barat dan Timur jembatan Gladak Perak), sementara pusat pemerintahan ada di Timur, bisa jadi alasan ketidaksiapan penanganan bencana. Namun sebenarnya bisa diakali dengan menunjuk seorang pemimpin lapangan/pemimpin operasi untuk mengendalikan.
Baca juga: Manajemen Pengungsian Penyintas Erupsi Semeru Harus Segera Diperbaiki
Terbantu tetangga
Tidak adanya pejabat lokal yang berperan, menjadikan Dandim 0818 Malang-Batu dan Kepala Polres Malang kerepotan mulai dari menyekat arah menuju jembatan Gladak Perak (jembatan penghubung Malang-Lumajang yang putus) bahkan hingga mencari posko pengungsian yang lebih layak.
Satbrimob Polda Jatim Kompi 4 Batalyon B Pelopor berinisiatif sendiri menyekat jalur desa menuju ring 1 bencana di Desa Supiturang. Meski, itu pun masih bobol karena banyaknya ‘relawan dan wisatawan bencana’ yang ingin ‘piknik’ ke sana.
Banyaknya ‘relawan dan wisatawan bencana’ berlalu-lalang di jalan desa (yang merupakan jalur evakuasi), seringkali memacetkan jalan. Jalur desa menjadi layaknya catwalk tempat mereka konvoi naik mobil-mobil keren, ambulans, dan membunyikan sirine yang memekakkan. Bermodal selembar kertas ditempeli tulisan ‘Peduli Semeru’, maka mereka bisa melenggang.
Mereka tidak berhenti di sekitar balai desa, namun merangsek jauh ke atas hingga daerah ring 1 di tepi Besuk Kobokan. Bayangkan jika erupsi besar mendadak kembali datang, apa jadinya? Dan terbukti, sebuah kendaraan relawan asal Jawa tengah pun disebutkan terjebak di jalur aliran lahar Besuk Kobokan.
Lebih miris lagi, tidak ada koordinasi terkait bantuan. Banyak lembaga atau yayasan mendirikan dapur umum masing-masing. Memasak makanan masing-masing (ribuan bungkus sehari). Alhasil, berkardus-kardus bantuan berupa baju-baju layak pakai, akhirnya teronggok tidak jelas di sekitar posko. Berbungkus-bungkus nasi sumbangan (sumbangan warga atau relawan), teronggok tak termakan di atas meja.
Bahkan, untuk sekadar menyalurkan bantuan pun, banyak yang tidak tahu harus ke mana dan menemui siapa. “Kami kemarin tidak tahu harus ke mana, tidak tahu poskonya di mana, jadi kami mengontak pihak Pemkab Lumajang. Dari koordinasi itu, akhirnya bantuan pampers tiga truk dari perusahaan rekanan, kami turunkan di pendopo kabupaten. Sebab di sana ada lokasi yang luas untuk menampung bantuan,” kata Eddy S, seorang perwakilan perusahaan-perusahaan besar yang saat itu diutus untuk memberikan sumbangan pada korban erupsi Semeru.
Baca juga: Cegah Kisruh Pembagian Bantuan Pemkab Lumajang Imbau Donatur Kirimkan Bantuan Terpusat
Di luar itu, selain relawan, beberapa pihak lain juga tampak kerepotan. Institusi dengan struktur garis komando tegas seperti TNI dan Polri, cukup aktif dan cepat geraknya dalam bencana kali ini. Adapun untuk struktur sipil mulai dari kabupaten, kecamatan, hingga desa, sama sekali tidak jalan. Meskipun, beberapa kali bupati tampak bertahan di desa tersebut untuk memantau penanganan di sana.
Berdasarkan pengalaman pada penanganan erupsi Gunung Kelud 2014 di Kabupaten Malang, Kompas merasakan perbedaan cukup jelas. Setidaknya, saat erupsi Kelud, ring 1 bencana tidak leluasa dimasuki orang. Para relawan evakuasi, penyumbang, dan lainnya, akan dihentikan di pintu masuk Bendungan Selorejo. Untuk posko bantuan, dipusatkan di Kecamatan Ngantang. Dan untuk dapur umum, operasionalnya dibuat terjadwal. Sehingga, tidak sampai ada makanan sia-sia.
Itu pun, masih belum sempurna. Sebab, posko pengungsian yang awalnya direncanakan di gedung Jasa Tirta di sekitar bendungan, nyatanya harus bergeser. Sebab, gedung itu pun ambruk tertimpa abu. Namun, setidaknya penanganan saat itu tidak seruwet bencana di Lumajang sekarang.
Baca juga: Sabtu Kelabu di Kaki Semeru
Sekretaris Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Turniningtyas Ayu berdasarkan gambaran di atas, ia menduga bahwa tidak ada rencana operasi penanganan erupsi Semeru di sana.
Terkait bencana, sebuah daerah menurut Tyas seharusnya melakukan kajian risiko bencana. Kajian risiko bencana (KRB) ini berisi peta potensi bencana yang mungkin terjadi di sebuah daerah, dan harus diperbarui setiap 5 tahun sekali.
Dari kajian risiko bencana, kemudian dilanjutkan dengan rencana pengurangan risiko bencana (RPB), yang harus diperbarui 5 tahun sekali. Dalam RPB akan mengamanahkan membuat rencana kontijensi (renkon). Isinya adalah siapa berbuat apa. Renkon ini hanya untuk satu jenis bencana.
“Untuk bencana Semeru ini dikatakan renkon sudah ada, meski menurut informasi usianya sudah 4 tahun lalu. Mestinya setelah ada renkon, harusnya ada penyusunan rencana operasi. Namun dari keterangan yang saya dapat, renkon ini pun tidak atau belum diaktifkan. Sehingga, rencana operasi pun tidak ada,” kata Tyas. Yang bertugas mengaktifkan renkon bisa bupati atau kepala BPBD atau yang disepakati bersama.
Mestinya setelah ada renkon, harusnya ada penyusunan rencana operasi
Padahal, menurut Tyas, PVMBG disebutkan sudah mengeluarkan peringatan bahwa ada peningkatan aktivitas vulkanik di Gunung Semeru sebelumnya. “Namun apakah hal itu didiseminasikan ke masyarakat atau tidak, dan hanya sekedar imbauan? Sehingga ketika ada bencana, kok dari medsos terlihat justru banyak masyarakat malah nonton dan tidak menyelamatkan diri?,” kata Tyas
Berkaca pada pengalaman erupsi Bromo sebelumnya, saat gunung tersebut sudah mulai ‘batuk-batuk’, rencana kontijensi di sana diaktifkan dengan koordinasi bersama 4 kepala daerah (di mana Bromo berlokasi). Sehingga saat Bromo erupsi, menurut Tyas, semua daerah sudah siap mengantisipasi potensi bencana itu.
“Satu indikasi bahwa rencana operasi bencana berjalan baik, adalah misalnya ketika ada relawan datang ingin membantu, maka jelas mereka harus mengontak siapa, ditempatkan di mana, dan kebutuhannya apa saja. Jadi tidak bentrok dengan relawan lain karena jalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi,” kata Tyas.
Baca juga: Menyandarkan Nasib di Tempat Pengungsian
Menanggapi itu semua, Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan bahwa bencana adalah hal darurat. Sesiap apapun menghadapi, menurutnya, tetap bahwa bencana tidak bisa dijangkau dengan cara normatif.
Menurutnya, persoalan bertambah berat karena jembatan Gladak Perak putus. “Sehingga kami tidak bisa menjangkau kecamatan Pronojiwo dalam waktu cepat. Saya datang H+2 bersama Ibu Gubernur ke Pronojiwo untuk memastikan kecukupan logistik dan tempat pengungsian aman. Itu dulu yang saya prioritaskan. Saya kembali ke Pronojiwo H+4 dengan segala persoalan darurat yang ada. Saya langsung turun dan menata langsung beberapa hal yang kurang di Pronojiwo. Benar, di Pronojiwo kurang terkoordinasi dengan baik,” katanya.
Namun baginya, sebagai bupati, ia terus berusaha bekerja melakukan percepatan, supaya penanganan bencana segera selesai, dan masyarakat bisa segera di relokasi di tempat yang aman dan kembali hidup normal. Yang mungkin terlewatkan adalah, sistem kebencanaan itu bukan 1-2 orang, akan tetapi tim.
“Tapi bila dianggap bahwa Pemkab Lumajang tidak siap, dan ingin jawaban atas problem dan persalahan, iya saya salah. Kami tidak ingin ada bencana ini. Saya mohon maaf. Izinkan saya saat ini fokus bekerja dengan segala keadaan darurat dan segera menuntaskan persoalan yang ada,” katanya.
Bencana memang kuasa Yang Maha Kuasa. Namun, sebagai manusia, bukankah musibah dikirim untuk menguji manusia dan menjadikannya petunjuk?. Bersiap menghadapi bencana, setidaknya adalah jalan manusia untuk tidak menganiaya diri sendiri.
Baca juga:Letusan Semeru dan Keseimbangan Hidup
<