Kehilangan tempat tinggal membuat warga terdampak erupsi Semeru di Lumajang tinggal di pengungsian. Berbekal baju yang tersisa, mereka mencoba bertahan dalam kondisi darurat dan manajemen pengungsi yang belum baik.
Oleh
DAHLIA IRAWATI/ AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Perempuan berkerudung itu mengoleskan kayu putih ke perutnya. Ia sesekali menengok ke depan, mencoba melongok orang yang datang. Ia menanti suaminya, Jumadi, yang tadi pamit pergi sebentar melihat kondisi rumah. Namun hingga siang, Jumadi tak juga kembali.
”Iya, saya menunggu suami saya, kok belum pulang dari tadi. Ini mau saya minta belikan makan saja. Dari tadi pagi belum makan. Perut sudah mulai terasa tidak enak seperti masuk angin,” kata perempuan bernama Suprihmiati (50) itu, Selasa (7/12/2021).
Ibu seorang anak itu rupanya belum mendapatkan jatah sarapan pagi saat ia dipindah dari posko pengungsian di Masjid Nurul Jadid ke posko SMPN 02 Pronojiwo, Lumajang. Pemindahan itu dilakukan agar warga mendapatkan tempat mengungsi yang lebih layak (tinggal di ruangan dengan dinding, tidak di ruang terbuka seperti masjid). ”Mau minta-minta itu tidak enak. Malu rasanya minta-minta,” katanya.
Sugiati (49), tetangga Suprihmiati, juga memilih diam jika tidak diberi oleh petugas. Ia mengaku malu jika harus meminta-minta, bahkan mengambil jatah orang lain.
Suprihmiati dan Sugiati adalah penyintas erupsi Semeru. Dusun mereka, yakni Umbulan, Desa Supit Urang, yang paling dekat dengan Curah Kobokan dan paling terdampak erupsi Gunung Semeru, kini rata dengan tanah.
Bantuan ini memang untuk pengungsi, tetapi harus terdata siapa yang menerimanya. Tidak asal dibagi-bagikan. Tujuannya agar tepat sasaran dan merata
Mereka kini mengungsi di Posko SMPN 02 Pronojiwo. Posko ini berada di sisi Barat Jembatan Gladak Perak yang terputus. Di posko itu sebenarnya ada dapur umum yang menyuplai makanan pengungsi, ada posko logistik, posko medis, dan perlengkapan antena radio komunikasi. Namun koordinasi kurang berjalan karena ketidakberdayaan perangkat desa. Wilayah ini juga terpisah dari pusat pemerintahan Lumajang karena putusnya Jembatan Gladak Perak.
Sering terjadi ada warga yang tak tinggal di pengungsian datang untuk meminta sembako, makan, atau bantuan lain. Para pengungsi yang tinggal justru tak kebagian. ”Ada orang-orang itu yang tidak benar-benar jadi korban, namun dengan tega mengambil jatah korban. Kok bisa seperti itu. Saya saja minta alas untuk tidur untuk 12 orang, hanya diberi satu ya tidak apa-apa. Yang penting saya sama keluarga masih bisa berkumpul,” kata Sugiati.
Beberapa bantuan yang sebenarnya sangat bermanfaat ada yang belum termanfaatkan dengan baik, salah satunya pakan ternak. Penyebabnya tak ada petugas desa yang bisa mendata ternak warga.
Beberapa kali bahkan terjadi kericuhan, warga marah karena meminta sembako, tetapi tidak diberi oleh relawan yang mengurusi posko. Posko pengungsian di Desa Supit Urang. Saat ini tempat pengungsian itu hanya diurusi oleh relawan.
”Bantuan ini memang untuk pengungsi, tetapi harus terdata siapa yang menerimanya. Tidak asal dibagi-bagikan. Tujuannya agar tepat sasaran dan merata,” kata Mansur (25), koordinator di posko pengungsian SD Supit Urang, kemarin.
Menurut Mansur, sejak awal mereka membantu di posko tersebut, tidak ada perangkat desa atau perangkat pemerintah daerah datang untuk mengurusi pengungsi. ”Di sini kami para relawan dan komunitas yang bergerak mengurusi pengungsi. Kami berharap kepada pemerintah untuk terlibat aktif di sini karena kami kalah di pendataan. Apalagi jumlah relawan dan pengungsi tidak seimbang,” kata relawan asal YDSF Malang tersebut.
Kondisi berbeda terlihat di pos pengungsian Kamarkajang, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang. Kawasan ini masih terjangkau oleh kantor pemerintahan Lumajang.
Aminah, warga yang mengungsi masih bisa mendapatkan baju bayi layak pakai dari donatur yang menyumbangkannya ke pos pengungsian Masjid Nurul Huda, Dusun Kamar Kajang. Secara teratur pengungsi juga mendapatkan suplai makanan dari dapur umum di sebelah posko.
Begitu juga di Pos pengungsian di Balai Desa Sumberwuluh yang menjadi tempat bersandar ratusan warga Renteng, Sumberwuluh, Krajan, Kebonagung, dan Kebondeli. Meski lebih tertata, kondisi pengungsian masih darurat. Fasilitas toilet, misalnya, masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan pengungsi memilih berpindah-pindah pengungsian.
Posko pengungsian juga belum menjadi tempat warga untuk mengetahui informasi orang hilang. Tak ada perkembangan informasi terkini yang terpampang di tempat itu.
Kepala Desa Sumberwuluh Abdul Aziz mengatakan, kurang koordinasi bisa saja terjadi karena jumlah pengungsi di balai desa berubah-ubah. Pengungsi datang dan pergi sehingga menyulitkan dalam pendataan, koordinasi, dan pemenuhan kebutuhan terutama pangan, pakaian, obat-obatan, dan vitamin.
Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Desa Penanggal Cik Ono. Keberadaan pengungsi yang tersebar di sekolah, masjid, dan bangunan besar membuat koordinasi tak mudah dilakukan.
Meski demikian mereka memastikan memenuhi kebutuhan pangan siap konsumsi bagi siapa saja yang meminta dan membutuhkan. Di bagian sortir pakaian, setiap orang yang telah mendapatkan busana didata dengan harapan tidak mendapat berlimpah karena untuk yang lain yang membutuhkan.
Dalam segala keterbatasan, para penyintas tetap bersyukur mereka masih bisa berada dalam lingkup kepedulian. Tidak ada yang bisa mereka andalkan lagi selain relawan, petugas, donatur dan orang-orang yang membantu mereka tanpa pamrih.