Tidak ada informasi antarwarga tentang potensi erupsi. Juga di kampung tiada lagi terdengar peringatan tradisional misalnya kentongan. Suara keganasan erupsi mengalahkan hiruk-pikuk dan kepanikan massa.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
LUMAJANG, KOMPAS — Korban fatal karena erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, bisa ditekan jika masyarakat mengetahui lebih awal peringatan awas panas guguran pada Sabtu (4/12/2021) siang.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, erupsi mengakibatkan kematian 34 jiwa dan 22 orang dinyatakan hilang. Selain itu, lebih dari 100 orang menderita luka bakar, lebih dari 4.250 orang mengungsi, serta kerusakan hampir 5.025 rumah dan bangunan umum. Wilayah terdampak parah erupsi terutama Desa Supiturang di Pronojiwo dan Desa Sumberwuluh di Candipuro.
Supriyadi, warga Sumberwuluh, saat ditemui pada Selasa (7/12/2021), mengatakan, erupsi Sabtu siang itu tidak didahului oleh informasi peringatan dini. Sekitar pukul 15.00 WIB, langit tiba-tiba gelap dan terdengar gemuruh disertai guguran abu vulkanik.
”Saya baru berani keluar rumah menjelang maghrib dan mengungsi,” kata Supriyadi di Dusun Kamar Kajang. Tidak ada informasi antarwarga tentang potensi erupsi. Juga di kampung tiada lagi terdengar peringatan tradisional misalnya kentongan. Suara keganasan erupsi mengalahkan hiruk-pikuk dan kepanikan massa.
Senada diutarakan Poniman, warga Sumberwuluh, yang ditemui di Dusun Kajar Kuning. Ketika erupsi terjadi, tidak didahului adanya informasi peringatan. ”Padahal, sinyal telepon bagus. Tiba-tiba warga panik karena erupsi dan melarikan diri, termasuk saya dan keluarga,” ujar Poniman.
Kalangan warga Sumberwuluh dan Dusun Curah Kobokan, Supiturang, menyampaikan hal senada. Bahkan, mereka tidak berpengalaman dalam penyelamatan dari bencana. Di kampung memang terpasang papan pengumuman bahwa tempat mereka bermukim merupakan kawasan rawan bencana gunung api. Juga ada papan-papan penunjuk jalur evakuasi dan titik kumpul evakuasi.
”Latihan evakuasi apa memang ada, Mas? Saya belum pernah tahu,” kata warga Sumberwuluh lainnya. Mereka memahami hidup di kawasan rawan bencana tetapi baru pada Sabtu itu mereka dikagetkan dan terpukul oleh erupsi yang berdampak hebat dan fatal. Secara psikologis, mereka baru percaya bahwa Semeru berbahaya.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Semeru Liswanto di Gunung Sawur, Sumberwuluh, menegaskan, setiap informasi aktivitas Semeru yang berpotensi kebencanaan diteruskan ke unsur pemerintah, terutama di Lumajang dan Malang, yang terdekat dengan gunung ini.
Latihan evakuasi apa memang ada, Mas? Saya belum pernah tahu.
Peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, pernah mengatakan, keberhasilan menekan dampak bencana berada pada mitigasi, antara lain kelancaran arus informasi peringatan, keberadaan dan beroperasinya sistem peringatan dini, serta kesadaran masyarakat untuk waspada dan siaga evakuasi.
Menurut Amien, pada prinsipnya pemerintah mengetahui sampai mana saja cakupan wilayah terdampak erupsi Semeru. Yang ideal, masyarakat menjauh dan menetap di kawasan paling minim atau kecil risiko terkena bencana. Jika tetap bermukim di kawasan berisiko tinggi, kesadaran mitigasi secara terpadu harus solid dengan harapan menekan dampak saat bencana terjadi.