Kabar adanya erupsi lagi jelas membuat warga panik karena letusan Semeru pada Sabtu (4/12/2021) telah memorakporandakan desa-desa di dua kecamatan, yakni Pronojiwo dan Candipuro, bahkan menelan korban jiwa.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/DAHLIA IRAWATI/RUNIK SRIASTUTI
·5 menit baca
Suasana tegang terlihat di jalan raya Sumbermujur, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Minggu (5/12/2021) menjelang pukul 10.30 WIB. Warga yang lewat terlihat tergesa. Ada yang memacu sepeda motor sambil menenteng tas penuh pakaian, membonceng keluarga, bahkan membawa ternak kambing. Tersiar kabar Gunung Semeru kembali erupsi.
Kabar adanya erupsi kembali membuat warga panik karena letusan Semeru pada Sabtu (4/12/2021) telah memorakporandakan desa-desa di dua kecamatan, yakni Pronojiwo dan Candipuro, serta menelan korban jiwa dan melukai banyak orang.
Info ini membuat tim terpadu menunda menuju lokasi bencana khususnya ke Sumberwuluh. Mereka menunggu kabar dari sana untuk memastikan keamanan situasi. Petugas Polri di Sumbermujur sempat melarang siapa pun menuju Sumberwuluh.
Namun, sekitar 30 menit setelah kabar erupsi terjadi lagi, sebagian warga terutama dari Sumberwuluh berkeras kembali. Mereka ingin menyelamatkan ternak kambing yang tertinggal. Ada juga sukarelawan yang menggunakan pikap membantu warga mengambil ternak.
Suasana yang sama juga terlihat di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, salah satu desa yang terdampak. Warga terlihat berlalu lalang. Ada yang menyelamatkan barang, mengambil kasur, dan menyelamatkan ternaknya.
”Kami ini hanya ingin mengambil baju dan beberapa hal. Setelah ini juga kembali ke pengungsian di SD Supiturang. Takut nanti guguran abu Semeru kembali datang,” kata Patra (40), warga RT 009 RW004 Dusun Sumbersari, Desa Supit Urang, yang pulang bersama istri dan anaknya yang berusia 5 tahun.
Banyaknya warga yang masih berlalu lalang di desa membuat petugas pun tak henti-hentinya mengingatkan agar warga segera meninggalkan rumah dan kembali ke pengungsian. ”Bapak, ibu, silakan turun. Ada kabar guguran abu kembali datang. Ini juga mendung dan mau hujan. Lebih baik berjaga-jaga agar jangan sampai seperti kemarin,” kata petugas yang tampak terus berlalu lalang mengingatkan warga.
Bahkan, petugas pun membantu warga mengevakuasi barang-barang milik warga yang hendak diselamatkan. Tujuannya agar warga bisa mengungsi dengan tenang dan tidak kembali ke rumah untuk sementara waktu.
”Kami membantu warga untuk menyelamatkan barang-barangnya yang dibutuhkan agar warga tidak bolak-balik pulang ke rumah karena kondisinya saat ini masih bahaya,” kata Ajun Komisaris Nono Sugiono, Komandan Kompi 4 Pelopor Satbrimob Polda Jatim yang saat itu membantu warga Desa Supiturang untuk menyelamatkan barang-barangnya.
Tak terduga
Masih sibuknya warga bolak-balik membawa barang menandakan ketidaksiapan mereka untuk mengungsi. Tak ada yang menduga erupsi Semeru pada Sabtu lalu berdampak besar dan meluluhlantakkan sejumlah desa.
Patra, misalnya, tidak begitu cemas saat ada abu vulkanik terlihat kelabu di awan pada awalnya. Namun, ia akhirnya memilih lari menyelamatkan diri setelah melihat volume abu semakin besar dan bergerak cepat ke desanya.
Menurut Patra, dampak erupsi kali ini benar-benar besar. Beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai warga di desa rawan bencana erupsi Gunung Semeru, Patra tahu bahwa erupsi Semeru tidak boleh diremehkan. Namun, karena selama ini Semeru sering memuntahkan abu vulkanik, warga pun menjadi terbiasa.
Di Balai Desa Penanggal, Candipuro, dengan mata berlinang, Supriyanto menceritakan proses pengungsian dari Sumberwuluh. Sabtu siang itu, tiba-tiba langit amat mendung seperti malam. Terdengar guntur dan gemuruh.
”Kami sekeluarga segera melarikan diri sejauh mungkin dari Curah Kobokan sampai Sumbermujur,” kata Supriyanto. Mereka beruntung karena semua anggota keluarga selamat.
Kondisi yang tak terduga itu membuat keluarga Marsukan (70) di Desa Supit Urang memilih siaga dengan menyiapkan truk di depan rumah. Ia mengisi bak belakang truk dengan kasur, selimut, bantal, dan menyiapkan bahan makanan di dalamnya. Bak truk ditutup dengan terpal.
Menurut Marsukan, truk akan stand by di pinggir jalan raya, dan tidur di sana hingga pagi. Posisi bertahan tidur di pinggir jalan raya dinilai paling aman karena ramai warga dan petugas sehingga jika mereka tertidur pun akan ada petugas yang membangunkan.
Kami sekeluarga segera melarikan diri sejauh mungkin dari Curah Kobokan sampai Sumbermujur.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Api Semeru Liswanto mengatakan, erupsi Semeru belum selesai. Setiap saat kawah gunung tertinggi di Pulau Jawa itu bisa kembali meletuskan awan panas disertai abu vulkanik.
Status Semeru masih Waspada atau Level 2, belum berubah sejak Mei 2012. Pada akhir tahun lalu, Semeru erupsi, tetapi dampaknya tak sampai merusak parah kawasan Pronojiwo dan Candipuro seperti saat ini. ”Yang sekarang ini lebih dahsyat dan merusak,” ujar Liswanto.
Di desa-desa, terutama di Candipuro, sebenarnya sudah dipasang papan peringatan bahwa wilayah tersebut merupakan kawasan rawan bencana letusan Gunung Semeru. Penanda jalur evakuasi atau penyelamatan diri juga ada.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, terpasangnya sejumlah penanda pada jalur evakuasi di desa-desa terdampak erupsi Semeru menunjukkan upaya mitigasi telah dilakukan dan berjalan dengan baik. Jalur itu mengarahkan masyarakat pada titik-titik evakuasi yang aman.
Namun, fenomena gunung berapi memang spesifik dan sulit diprediksi, termasuk yang terjadi pada erupsi Semeru hari Sabtu lalu. Kubah lava yang sudah penuh meluber dan menyebabkan terjadi guguran awan panas saat terjadi hujan. Material yang dibawa oleh guguran awan panas ini jauh lebih besar dan tidak terprediksi sebelumnya.
Kini yang dibutuhkan warga adalah info peringatan bencana dari orang lain. Sebab, kata mereka, tidak ada sirene peringatan atau pemberitahuan khusus dari petugas langsung ke warga.
”Warga hanya mengandalkan info dari grup WA. Ini saya ikut di grup WA grup yang bekerja di tambang pasir atau batu. Jadi, kalau ada info terusan dari PVMBG, maka orang-orang tambang bisa segera menyelamatkan diri. Dari info itulah saya teruskan ke warga lainnya,” kata Zainul Arifin, warga Supiturang.
Anggota grup WA informasi itu hanya sekitar 30 orang. Apabila dibandingkan dengan warga Desa Supiturang yang jumlahnya ribuan orang, tentu hal itu dinilai tidak mencukupi.
”Iya kalau semua orang bisa ikut dan punya HP. Kalau tidak bagaimana? Kalau listrik dan jaringan internet mati seperti ini, bagaimana bisa memanfaatkan grup WA grup?,” kata Fery, salah seorang admin grup WA tentang pekerja tambang tersebut.
Fery bercerita, sebenarnya dahulu pernah dibahas kemungkinan dibangun menara sirene otomatis. Namun, desas-desus itu pun berlalu tanpa kejelasan. Sabtu kelabu pun menjadi pelajaran berharga.