Kidung Duka Kerusakan Alam NTT yang Tak Terkendali
Jangan sampai generasi muda yang akan datang tidak lagi melihat komodo dan kayu cendana di bumi Nusa Tenggara Timur
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F86202a0d-80b1-494d-92be-c35318fb0ac7_jpg.jpg)
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamah Paranggi (kacamata kedua dari kanan) dalam pertemuan daerah lingkungan hidup Walhi NTT XVIII, 23-24 September 2021. Dokumen Walhi NTT.
Adagium suara rakyat adalah ”suprema lex” tidak berlaku di Nusa Tenggara Timur. Lingkungan terus dirusak dan kekayaan alam diambil paksa atas nama kesejahteraan, tetapi masyarakat justru makin terpuruk.
Potret Nusa Tenggara Timur terkini adalah ruang terkepung yang berbagai praktik pembangunan yang abai dan lalai pada kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Sejumlah model pembangunan pemerintah dan investasi swasta lebih bersifat top down, tidak ada tempat bagi suara masyarakat. Mereka menjadi korban pembangunan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamah Paranggi dalam keterangan pers di Kupang, Jumat (1/10/2021), mengatakan, pernyataan sikap peserta pertemuan daerah lingkungan hidup (PDLH) Walhi NTT VIII, 23-24 September 2021, mengutuk keras kerusakan lingkungan dan pengabaian hak-hak masyarakat akhir-akhir ini. Semua peserta pertemuan meyakini bahwa model pembangunan top down adalah model pemaksaan kehendak atas nama pembangunan.
”Ini provinsi kepulauan, semakin kritis dan gersang akibat pembangunan proyek pariwisata, perkebunan monokultur, yang diprakarsai pemodal dan pemerintah, pertambangan hingga infrastruktur besar. NTT saat ini sedang mempromosikan pembangunan tetapi mengabaikan ekologi, sosial ekonomi bagi kelompok rentan, seperti petani, nelayan, masyarakat adat, kelompok disabilitas dan kaum perempuan,” kata Umbu Wulang.
Putra Sastrawan Umbu Landu Paranggi ini mengatakan, Walhi NTT menilai, urusan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup di mata pemerintah daerah adalah ”persetan”. Sejumlah proyek mengabaikan hak dan keselamatan rakyat. Misalnya, proyek investasi pariwisata di pesisir Marosi Sumba Barat menyebabkan seorang petani, Poro Dukka, meninggal tertembus peluru aparat keamanan setelah berjuang mempertahankan lahannya, Oktober 2018. Kasus ini pun didiamkan sampai hari ini.
Investasi pariwisata di Sumba Tengah pun menyebabkan seorang nelayan, Sony Hawolung (48), dikriminalisasi oleh pemilik resor di Pantai Aily setelah ia dinilai menyerobot lahan milik si pengusaha. Proyek penataan pulau-pulau di dalam kawasan Taman Nasional Komodo lebih berorientasi demi mengembangkan pariwisata premium Labuan Bajo.
Baca juga: Abaikan Lingkungan Hidup, NTT Makin Akrab dengan Bencana dan Kemiskinan
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2Fc381478a-ef87-4789-af2f-b4a793588052_jpg.jpg)
Para peserta pertemuan daerah lingkungan hidup daerah NTT melibatkan 34 lembaga di NTT, 23-24 September 2021. Walhi NTT.
Proyek pariwisata skala besar dalam aspek ruang dan investasi dipaksakan masuk di pulau-pulau kecil. Di Pulau Lembata, misalnya, proyek pariwisata Awololong senilai Rp 50 miliar telah menimbulkan konflik antara pemda dan masyarakat lokal. Proyek yang diduga merugikan keuangan negara Rp 1,5 miliar itu sampai hari ini pun tenggelam.
Pengusiran masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, dari lahan adat yang telah ditempati ratusan tahun, atas nama pembangunan kesejahteraan masyarakat, menyebabkan masyarakat adat kehilangan lahan pertanian dan rumah tinggal. Menjelang musim hujan ini 18 keluarga masyarakat adat Pubabu tidak memiliki tempat tinggal dan lahan olahan setelah lahan mereka diambil dan rumah digusur pada Agustus 2020.
Janji pemerintah provinsi menghentikan industri tambang di NTT diingkari. Kegiatan pertambangan dan pabrik semen terjadi di Manggarai Timur menyebabkan keresahan dan perpecahan di antara kelompok masyarakat di sana. Investasi dan pengambilalihan lahan warga bakal menyebabkan kekeringan sumber-sumber mata air. Hak tolak masyarakat diabaikan.
”Kini sudah terbit izin baru tambang mangan dari salah satu perusahaan yang berkantor di Kabupaten Kupang. Izin-izin pertambangan mangan ke depan akan bertambah karena telah hadir pusat pembangunan smelter mangan di Bolok, Kupang telah hadir,” kata Umbu Wulang.
Sejak Flores ditetapkan menjadi pulau geotermal setidaknya ada enam investasi yang telah ada akan berproduksi. Salah satunya rencana proyek geotermal di Wae Sanno, Manggarai Barat. Proyek ini mendapat penolakan keras dari masyarakat setempat karena berpotensi merelokasi warga dari kampung asli, menghancurkan sumber air, hutan, dan sumber-sumber pangan lokal.
Jangan sampai generasi muda yang akan datang tidak lagi melihat komodo dan kayu cendana.
Urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan diabaikan pemerintah. Praktek investasi geotermal di Mataloko dan Ulumbu Manggarai yang bermasalah tidak dijadikan bahan evaluasi pemerintah. Proyek jalan terus, suara rakyat diabaikan.
Sampai hari ini 22 kabupaten/kota di NTT mendapat rapor merah dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan catatan Walhi NTT, belum satu pun kabupaten/kota memiliki kebijakan yang sesuai dengan mandat undang-undang dalam pengelolaan sampah, termasuk di Labuan Bajo, lokasi pariwisata superpremium itu.
Baca juga: Jangan Sepelekan Peringatan UNESCO Soal Pembangunan di TN Komodo
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F58c5a1a9-408d-46cb-986f-8de8d49401d8_jpg.jpg)
Inilah sebagian titik Labuan Bajo di bibir pantai, pusat kota, dengan pelabuhan dan pusat-pusat perbelanjaan, Kamis (26/11/2020).
Terkait semua kebijakan yang mengabaikan lingkungan dan hak rakyat tersebut, Walhi menilai, pembangunan tidak boleh mengabaikan hak satu warga pun dan lingkungan hidup dalam skala apa pun. Kerusakan lingkungan di NTT tidak bisa dikendalikan lagi dan menimbulkan kerentanan ekologi yang semakin memprihatinkan.
Karena itu, PDLH yang terdiri dari 34 LSM dikoordinasi oleh Walhi NTT dan berlangsung 23-25 September 2021 menegaskan akan tetap bersama perwakilan masyarakat di pulau-pulau di NTT menyatakan enam sikap penting. Pernyataan sikap tersebut, di antaranya pembangunan tidak boleh mengabaikan urusan persetujuan rakyat. Sebaliknya, persetujuan rakyat tidak boleh dimobilisasi dengan iming-iming barang serta janji kesejahteraan palsu dan lip service perlindungan lingkungan.
Pembangunan seharusnya mengutamakan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup. Pembangunan itu menciptakan keadilan antargenerasi sebagai acuan atau pembangunan yang berkelanjutan. ”Jangan sampai generasi muda yang akan datang tidak lagi melihat Komodo dan kayu Cendana,” kata Wulang.
Kegiatan pembangunan yang tengah berjalan dan mengabaikan prinsip-prinsip keselamatan rakyat, lingkungan hidup, keadilan sosial, dan antargenerasi harus diakhiri. Pemodal dan pemerintah segera menghentikan praktik kriminalisasi terhadap hak rakyat, seperti petani, pekebun, nelayan, pejuang lingkungan hidup, perempuan, dan hak asasi manusia atas nama pembangunan.
Pemanasan global dan perubahan iklim yang kian tak menentu, kelompok yang paling merasakan dampak dari hal ini adalah masyarakat kecil. NTT dalam 30 tahun terakhir semakin kering dan gersang.
Baca juga : Sampah Plastik Rawan Cemari Daerah Kepulauan di NTT
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20190326kord-sampah-kota-kupang-2_1553599311.jpg)
Sampah di tempat penampungan sementara di Kelurahan Kayu Putih Kota Kupang, Senin (12/11/2018), sebelum diangkut mobil truk ke TPA. Belum ada kabupaten/kota di NTT memiliki kebijakan mengelola sampah sesuai undang-undang
Sejumlah flora dan fauna endemik sulit ditemukan lagi di bumi Flobamora. ”Bencana demi bencana menimpa daerah ini, penyebab utama adalah kerusakan lingkungan secara massif,” kata Wulang.
Koordinator Masyarakat Adat Pubabu Niko Mano mengatakan, semua upaya mempertahankan hutan adat Pubabu sia-sia. Laporan ke Komnas HAM, DPRD, LSM, dan pemerhati lingkungan tidak pernah mengubah nasib 37 keluarga di sana. ”Kami malah diadu domba sehingga nyaris berkelahi di antara kami. Karena itu kami memilih diam sampai hari ini,” kata Mano.
Koordinator Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali Nusa Tenggara Aleta Baun mengatakan, saatnya masyarakat bangkit melawan kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak rakyat dan lingkungan hidup. Ia menilai, saat ini kepentingan pemodal dan pengusaha lebih diperjuangkan pemerintah ketimbang keselamatan masyarakat kecil.
Program penghijauan dan reboisasi lingkungan telah diabaikan karena dianggap sia-sia, tidak menguntungkan. Penebangan hutan secara liar dan kebakaran hutan terjadi di mana-mana, tidak pernah diusut dan pelaku belum terjamah hukum. Kebakaran lahan kini menjadi kebiasaan.
Apabila di musim hujan 1.000 pohon ditanam dan berhasil tumbuh 50 pohon, misalnya, sudah menciptakan lingkungan yang hijau dan menciptakan sumber air. Apalagi kalau kegiatan ini melibatkan 22 kabupaten/kota pada setiap musim hujan. ”Itu sangat membantu,” kata Aleta.
Baca juga: Mempertahankan Cendana di NTT, 20.000 Anakan Cendana dibagikan Kepada Masyarakat Sumba
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2Fdd088dce-2d18-454e-a21d-3bd9b6e8ea12_jpg.jpg)
Anakan cendana yang baru disemaikan, Sabtu (18/9/2021).
Jika kebijakan pembangunan seperti saat ini berlangsung 10-30 tahun ke depan, lingkungan NTT bakal paling buruk. Kesejahteraan rakyat tidak tercapai tetapi kerusakan lingkungan jatuh sampai titik nadir. ”Pemenang adalah pemodal dan pengusaha, penderita adalah rakyat,” kata peraih Golman Environmental Prize 2013 itu.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup NTT Ondy Kristian Siahaan mengatakan, perubahan iklim global saat ini sulit dikendalikan pemerintah. Soal kerusakan lingkungan, pemprov telah berusaha melarang masyarakat untuk menebang dan membakar hutan. Namun, upaya itu belum mampu mengendalikan kerusakan hutan yang ada. Ke depan, Pemprov akan lebih tegas lagi dengan menerapkan aturan peraturan daerah lingkungan.
”Soal izin usaha pertambangan, itu sudah melalui proses analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuai undang-undang. Izin itu dikeluarkan kalau mereka telah memenuhi syarat-syarat. Kalau belum, tentu kami minta diperbaiki. Jika itu pun tidak ditaati, kami tolak,” kata Siahaan.
Ia mengatakan, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup tidak pernah mendapat tekanan dari pemrakarsa atau atasan. Penerbitan izin setelah melalui proses seleksi bersama tim atau pihak konsultan. ”Jadi, kalau ada perusahaan yang berinvestasi di NTT, itu sudah sesuai prosedur. Larangan pemprov itu, terkait perusahaan yang beroperasi ilegal,” kata Siahaan.
Margaretha Yupokoni dari Humas PT PLN NTT mengatakan, soal pembangunan geotermal di Ulumbu dan Mataloko tidak ada masalah lagi termasuk tanah ulayat dan limbah. Semua sudah tertangani dengan baik melibatkan sejumlah pihak yang berkompeten di bidang mereka.
Baca juga: Ratusan Perempuan di Ngada Terlibat Penghijauan 126.499 Anakan Bambu di Lahan Kritis
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2Fee1d3295-f2f9-4fb5-a9d5-fffac6ef28ab_jpg.jpg)
Ibu-ibu penggerak pemberdayaan kesejahteraan keluarga dari Desa Ratogesa Kecamatan Golewa, Ngada, NTT, Senin (24/5/2021) sebagai ”mahasiswa” di kampus bambu desa. Mereka akan belajar tentang bambu dari hulu sampai hilir termasuk pemanfaatan bambu bagi lingkungan dan kehidupan ekonomi keluarga.