Abaikan Lingkungan, NTT Makin Akrab dengan Bencana dan Kemiskinan
Mereka memiliki andil atas merebaknya kekeringan, longsor, badai, kelaparan, dan kemiskinan yang terjadi di NTT. Sebab, setiap kebijakan soal pembangunan sama sekali tidak mempertimbangkan keselamatan lingkungan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
HUMAS LEMBATA
Longsor akibat Badai Seroja di Lembata, Sabtu (3/4/2021). Longsor di wilayah ini menewaskan 45 orang, 22 hilang, 15 orang luka-luka, 5.490 orang mengungsi, dan kerusakan fasilitas umum.
KUPANG, KOMPAS — Kerusakan lingkungan di Nusa Tenggara Timur dalam 20 tahun terakhir semakin menjadi. Kebakaran hutan dan penebangan liar setiap tahun tidak terkendali. Kekeringan ekstrem turut menyebabkan sumber-sumber mata air mengering hingga menyebabkan gagal panen. Pemerintah daerah diminta lebih berpihak llingkungan demi kesejahteraan rakyat.
Koordinator Dewan Nasional Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali Nusa Tenggara, Aleta Baun di Kupang, Minggu (15/8/2021) mengungkapkan, makin sulit ditemukan hutan rindang dengan sungai dan berbagai jenis satwa di dalamnya, terutama di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Ia prihatin dengan kerusakan lingkungan di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini.
”(Karena pemerintah daerahnya) Mengabaikan lingkungan, NTT makin akrab dengan berbagai bencana dan kemiskinan, yang semakin parah. Sejak tiga tahun terakhir, tidak satu pohon pun ditanami pemda saat musim hujan tiba. Malah sebaliknya, kebakaran hutan terjadi di mana-mana, tetapi itu diabaikan pemda. Tidak ada upaya bagaimana mengamankan lingkungan dengan cara mencegah kebakaran itu,” kata Aleta.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) melaporkan, sesuai data Satelit Terra, Aqua, dan Suomi NPP, sampai dengan Jumat (13/8/2021), terjadi 175 titik panas di NTT dengan luasan sekitar 17.500 hektar. Sebagian besar titik panas berada di Sumba Timur, Kabupaten Kupang, Lembata, Flores Timur, dan Sumba Tengah. Titik panas diperkirakan bakal berlangsung hingga awal Desember 2021.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Aleta Baun
Anggota DPRD NTT 2014-2019 itu mengatakan, pemda selalu beralasan kebakaran lahan terjadi karena sistem pertanian lahan kering yang berpindah tempat. Selain itu, peternak juga menghendaki adanya pakan ternak baru dari hasil pembakaran itu.
Padahal, bekas lahan yang terbakar tidak pernah digarap menjadi lahan pertanian setelah musim hujan tiba. Kebakaran itu sifatnya hanya merusak lingkungan. Juga tidak muncul rumput hijau di bekas lahan yang terbakar untuk pakan ternak.
Kebakaran menyebabkan sebagian besar hutan terutama pohon dan satwa endemik di wilayah itu ikut terbakar, seperti di Pulau Sumba dan Timor. Rusa timor di daratan Pulau Timor, misalnya, diduga sudah punah, kecuali puluhan ekor yang ditangkar oleh Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wilayah NTT di Fatukoa, Kupang.
Adapun di Sumba setiap tahun belalang kembara menyerang tanaman petani. Gagal panen pun tak terhindarkan. Serangan belalang itu semakin sulit dikendalikan.
Kebakaran di dalam Taman Nasional Laiway Wanggameti di Sumba Timur, Selasa (4/8/2020). Kebakaran ini menyebabkan sejumlah satwa dan tumbuhan endemik Sumba ikut terbakar, bahkan punah.
Kebakaran juga selalu terjadi berulang di Taman Nasional Laywanggiwanggameti Sumba Timur dan Taman Nasional Manupeuh Tanahdaru, Sumba Tengah, hingga ratusan hektar. Padahal, penetapan dua lokasi itu sebagai taman nasional bertujuan agar menjadi penyangga lingkungan di daratan Pulau Sumba yang terkesan gersang dan tandus itu.
Kekeringnya sumber-sumber air di antaranya terjadi di Timor Tengah Selatan. Aleta bersama kelompok masyarakat adat Molo-Mutis mencatat ada 549 sumber mata air selama musim hujan. Saat ini, yang tersisa hanya 28 sungai dengan debit air antara 1-20 liter per menit.
Padahal, pada tahun 2008, masyarakat adat pimpinan Aleta mencatat terdapat 812 sumber mata air selama musim hujan. Pada puncak musim kemarau, sebanyak 257 sungai masih bertahan.
”Itu hanya terjadi Timor Tengah Selatan, belum termasuk Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, Kabupaten Kupang, dan Kota Kupang,” kata Aleta.
Kekeringan sumber-sumber mata air terus mengancam kehidupan masyarakat di daratan Pulau Timor setiap tahun. Sebagian besar masyarakat di Pulau Timor saat ini mengonsumsi air tanah terutama warga Kota Kupang. Bahkan, sumur bor dengan kedalaman sampai 100 meter itu pun mengalami kekeringan pada puncak kemarau.
Badai Seroja yang menerpa NTT tahun ini juga memperburuk kondisi hutan dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Ribuan batang pohon tumbang, longsor terjadi di mana-mana, rumah-rumah roboh, tanaman pertanian dan perkebunan gagal panen, fasilitas bendungan dan pengairan rusak, dan jalan-jalan rusak. Tetapi, sampai hari ini Pemprov NTT belum memiliki data kerusakan hutan dan pohon yang ada.
Tanaman perkebunan berupa pisang dan kelapa di Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, rusak akibat Badai Seroja. Warga sedang merapikan pohon-pohon yang tumbang akibat badai, Senin (5/4/2021) dini hari.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat terjadi kekeringan dengan status awal atau kekeringan ekstrem di 11 kabupaten/kota di NTT pada Selasa (10/8/2021). Kekeringan dengan status siaga terjadi di 21 kabupaten/kota, dan kekeringan tingkat waspada di 22 kabupaten/kota.
Satu kabupaten/kota bisa mendapatkan tiga kategori kekeringan sekaligus karena wilayahnya berada di di pegunungan, lembah, dataran tinggi, dan pesisir yang memiliki tingkat suhu berbeda-beda.
Keselamatan lingkungan
Pemenang hadiah ”Goldman Environmental Prize” 2013 itu mengingatkan pejabat yang selalu mengejar keuntungan dengan cara merusak dan mengabaikan lingkungan sekitar. Mereka memiliki andil atas merebaknya aneka virus termasuk Covid-19, kekeringan, longsor, badai, kelaparan, dan kemiskinan yang terjadi di NTT. Sebab, setiap kebijakan soal pembangunan sama sekali tidak mempertimbangkan keselamatan lingkungan.
”Hutan-hutan telah ditelanjangi sampai gundul oleh kebakaran, pembangunan, dan pemukiman. Bangga (mereka) karena merasa punya kuasa untuk bisa atur semua. Ingat (dengan) merusak alam, alam punya cara tersendiri untuk kembali membunuh manusia,” katanya.
Ingat (dengan) merusak alam, alam punya cara tersendiri untuk kembali membunuh manusia. (Aleta Baun)
Aleta juga mengingatkan, Badai Seroja yang terjadi beberapa saat lalu sebenarnya peringatan bagi pejabat dan masyarakat untuk kembali ke alam, membangun pola hidup menyatu dengan alam dengan menjaga, memelihara, menanam, dan melindungi. ”Merusak dan mengabaikan lingkungan, alam akan kembali membunuh manusia dengan caranya,” kata Aleta.
Hal itu salah satunya terjadi pada pengalihfungsian hutan adat oleh pemerintah daerah menjadi hutan lahan perkebunan, seperti hutan Pubabu di TTS, sejak Juli 2020. Alasannya ialah untuk menanam kelor, buah naga, porang, dan memelihara ternak sapi.
Ternyata, lanjut Aleta, sudah satu tahun berjalan, proyek itu tidak jalan. Masyarakat adat sudah digusur dari tempat aslinya, dan sebagian hutan sudah dibabat. Kemiskinan pun makin memperburuk kehidupan masyarakat lokal.
Marselina Woi (58), masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, sedang menenun kain adat dengan motif lokal. Kegiatan menenun ini untuk mempertahankan hidup setelah hutan adat mereka diambil alih Pemprov NTT.
Ia menilai, Pemda di NTT selalu tidak nyaman saat melihat suatu kawasan itu dipadati hutan rindang dengan satwa di dalamnya. Mereka ingin segera mengalifungsikan hutan itu dengan pembangunan proyek tertentu.
Maksi Sanaem, anggota Masyarakat Adat Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, mengatakan, pemda telah menggusur rumah adat dan membabat hutan Pubabu dengan alasan menanam kelor, porang, dan memelihara ternak sapi.
”Pohon kelor yang ditanami warga puluhan tahun silam dibabat dengan alasan akan menanam baru, tetapi tidak berhasil sama sekali. Mereka sempat tanam lamtoro, tetapi gagal tumbuh karena tidak ada air,” kata Maksi.
Saat ini masyarakat adat tinggal di rumah gubuk yang dibangun Pemprov NTT berukuran 3 x 4 meter dengan ketinggian 2,5 meter. Ratusan masyarakat adat Pubabu itu tidak lagi memiliki lahan usaha sehingga hanya bertahan dengan menenun.
Namun, hasil tenunan jarang dibeli karena daya beli masyarakat sedang turun dan kualitas tenunan mereka tidak mampu bersaing dengan kualitas tenunan perajin lain di Kota Kupang yang sudah lama menekuni kegiatan itu.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Plang bertuliskan ”Tanah Milik Pemprov NTT” di dalam kawasan hutan Pubabu, yang sebelumnya merupakan hutan adat. Pemprov mengambil alih lahan ini dengan alasan akan mengelola lahan itu demi kesejahteraan masyarakat setempat, Senin (24/8/2020).
Lahan milik mereka telah diambil alih pemda dengan alasan untuk dikelola sedemikian rupa demi kesejahteraan rakyat. Namun, praktiknya, lahan tidak dikelola. Hanya papan nama ”Tanah Ini Milik Pemprov NTT” yang berada di atas lahan seluas 6.000 hektar itu.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT Sony Libing mengatakan, tanah adat Pubabu telah diserahkan secara penuh oleh masyarakat adat kepada Pemprov NTT untuk dikelola pada Jumat (21/8/2020). Pemprov sedang merancang, bahkan sudah memulai usaha pembangunan di lokasi itu dengan melibatkan masyarakat lokal.
”Tidak ada pemerintah yang mau menyengsarakan rakyat, kecuali menyejahterakan mereka,” kata Libing.