Pemerintah Jangan Sepelekan Peringatan UNESCO Terkait Pembangunan di Taman Nasional Komodo
Pemerintah jangan menyepelekan peringatan dari UNESCO meski pembangunan di Pulau Rinca sudah mencapai 90 persen, karena masih ada proyek lain di Taman Nasional Komodo yang belum digarap.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah tidak meremehkan peringatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO agar pembangunan di lokasi wisata Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, dihentikan. Peringatan dimaksud sebaiknya dipandang sebagai perhatian UNESCO terhadap masa depan ekosistem setempat, bukan malah disepelekan.
Sebelumnya UNESCO meminta Pemerintah Indonesia menghentikan semua proyek pembangunan infrastruktur pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Permintaan tersebut tertuang dalam dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO bernomor WHC/21/44.COM/7B yang diterbitkan setelah konvensi daring pada 16-31 Juli 2021.
Peneliti pada lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo, Venansius Haryanto, lewat sambungan telepon pada Rabu (4/8/2021) mengatakan, peringatan UNESCO harus ditanggapi serius. Kendati hanya bersifat permintaan tanpa paksaan, hal itu tak bisa dianggap sepele.
Lembaga kami sangat mengapresiasi peringatan UNESCO terhadap Pemerintah Indonesia terkait pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. ”Sikap ini sudah ditunggu sejak lama, terutama terkait pembangunan di Pulau Rinca, peringatan ini justru sangat terlambat, sebab pembangunan sudah berjalan hampir 90 persen,” katanya.
ARSIP PRIBADI
Venansius Haryanto
Haryanto mendorong Pemerintah Indonesia membatalkan rencana pembangunan yang belum dieksekusi. Pembangunan itu, antara lain, resor eksklusif milik tiga perusahaan yang diizinkan pemerintah, pembangunan dermaga di Pulau Padar, serta relokasi warga Pulau Komodo dalam rangka menjadikan pulau tersebut sebagai destinasi wisata eksklusif.
Pemerintah Indonesia sebaiknya mendorong program-program konservasi, baik darat maupun laut di TNK dengan memosisikan warga di dalam sebagai agen konservasi, pelaku wisata komunitas serta bagian dari komunitas masyarakat bahari. Warga lokal harus jadi pemain utama.
Sikap ini sudah ditunggu sejak lama, terutama terkait pembangunan di Pulau Rinca. Peringatan ini justru sangat terlambat, sebab pembangunan sudah berjalan hampir 90 persen. (Venansius Haryanto)
Ke depan, ia berharap agar Pemerintah Indonesia lebih banyak mendengarkan masukan publik, baik dari pelaku wisata, pelaku konservasi, maupun masyarakat dalam kawasan tersebut. Peringatan dari UNESCO tidak lepas dari aspirasi masyarakat yang menolak pembangunan. Aspirasi itu disuarakan hingga dunia internasional.
Senada dengan itu, pemandu wisata di Taman Nasional Komodo, Doni Parera, mengatakan, peringatan dari UNESCO kepada Pemerintah Indonesia terkait pengelolaan kawasan taman Nasional Komodo sebagai situs warisan dunia sangat tepat dan sesuai dengan harapan pelaku pariwisata.
Selain menyalahi prinsip dasar konservasi, ia juga menyoal tentang prinsip keadilan. Banyak perusahaan yang bermodalkan izin dari kementerian mendapat konsesi hingga ratusan hektar dalam kawasan itu dengan durasi hingga puluhan tahun. Sementara warga asli Komodo di kampung Komodo yang berjumlah hampir 2.000 jiwa hidup berhimpun dalam area 17 hektar.
”Siapa berani merambah keluar dari wilayah itu, siap berhadapan dengan hukum. Mengapa tidak berdayakan warga dalam kawasan untuk kelola lahan menjadi sarana wisata. Dalam hal ini negara berlaku tidak adil,” ujar Doni.
Tidak alami
Menurut dia, banyak wisatawan asing kecewa dengan kehadiran prasarana di sana. Kesan alamiah yang mereka harapkan pun buyar. Bangunan beton untuk fasilitas penjualan tiket dan fasilitas untuk petugas dinilai tidak alami dan mengganggu pandangan. Bangunan itu menggantikan bangunan lama dari material kayu dan ijuk.
”Mayoritas pengunjung yang datang menginginkan melihat komodo di habitat alaminya. Bagaimana komodo berburu mangsa, menjaga telur di sarang, berkelahi ketika musim kawin dan lain-lain,” tuturnya.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Gubernur NTT Viktor Laiskodat
Sementara itu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat lewat siaran pers pada Selasa (3/8/2021) mengucapkan terima kasih karena UNESCO yang ikut memperhatikan Taman Nasional Komodo yang menjadi konservasi alam dan juga kebanggaan NTT.
”Tentu perlu diperhatikan juga bahwa apa yang dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia dan telah disetujui bersama juga Bapak Jokowi sebagai presiden ini membantu agar Taman Nasional itu mempunyai manfaat ekonomi yang luar biasa buat NTT,” ujarnya.
Menurut dia, pembangunan sejumlah prasarana di kawasan itu untuk memberi rasa nyaman bagi wisatawan. ”Di Pulau Rinca kita desain dan dibuat tempat untuk para pejalan kaki sehingga mereka aman dan juga dibangun dermaga yang layak bagi kapal pengunjung,” katanya.
Kompas/Agus Susanto
Wisatawan asing mengabadikan komodo di Pantai Loh Liang, pintu masuk kawasan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (24/8/2016).
Seperti diberitakan sebelumnya, ada kekhawatiran terjadinya privatisasi wilayah oleh pihak swasta. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 21/IV-Set/2012 tertanggal 24 Februari 2012, TNK memiliki luasan 173.300 hektar, terdiri dari 34.311 hektar zona inti dan 22.187 hektar zona rimba.
Dari 173.000 hektar tersebut, terdapat 447,170 hektar yang pengelolaannya akan diserahkan kepada swasta. Rinciannya, PT Segara Komodo Lestari berhak atas 22,1 hektar atau 0,1 persen dari luas Pulau Rinca. Ada pula PT Komodo Wildlife Ecotourism yang berhak atas 274,13 hektar atau 19,6 persen luas Pulau Padar dan 151,94 hektar atau 0,5 persen dari luas Pulau Komodo (Kompas 5/11/2020).