Gasper Tiran, bekas penjual daging keliling yang tak lulus sekolah dasar itu, mengangkat pamor olahan daging tersebut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Bara api menyala dari kolong tungku persegi panjang, memanggang irisan daging yang digelar di atasnya. Rabu (25/8/2021) itu, dari sisi tungku, Gasper Tiran (50) menutupi daging dengan daun kesambi. Gasper, bekas penjual daging keliling yang tak lulus sekolah dasar itu, mengangkat pamor olahan daging tersebut.
Gasper yang akrab dipanggil Om Ba’i berasal Kampung Baun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Terlahir dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, ia gagal tamat sekolah dasar pada era tahun 1980-an. Enam saudaranya yang lain juga bernasib sama, putus sekolah.
Kala itu, setiap ada warga yang menyembeli babi atau sapi, ia menawarkan diri untuk menjual dagingnya. Daging digantung pada sebilah kayu, kemudian ia pikul sambil berjalan kaki di dalam kampung hingga ke kampung tetangga. Ia mendapat komisi dari hasil jualan.
Selama bertahun-tahun menabung modal, ia memberanikan diri membeli hewan dan menyembelinya. Dalam hitungannya, ia akan mendapat untung lebih besar. Modalnya pun terus bertambah dan sudah bisa membeli hingga dua babi sekaligus.
Namun, namanya bisnis ada saja pasang surut. Suatu hari pada Februari 1997, seperti biasa ia membeli secara kredit dua babi dengan total harga Rp 800.000. Perjanjian dengan pemilik barang, ia akan membayar lunas keesokan harinya. Karena itu, ia harus menjual daging tersebut.
Hingga petang, daging baru laku beberapa potong, masih jauh dari modal. Ia membawa kembali ke rumah. Sambil berbaring, ia melihat daging yang tergantung itu dan membayangkan utang yang harus dibayar. Ia sampai tertidur. ”Dalam mimpi ada bisikan bahwa daging itu saya pagang. Bisikan itu detail dengan prosesnya. Saya yakin, ini bisikan Tuhan. Tuhan tahu saya ini miskin,” katanya mengenang.
Ia terkejut dan membangunkan istrinya untuk segera mengolah daging itu. Daging diperas. Darah dikeluarkan tinggal serat, kemudian dicampur garam dan aneka bumbu alami. Ia lalu mengambil kayu kesambi (Schleichera oleosa) untuk bara dan daunnya untuk menutupi daging saat pemanggangan berlangsung.
Tanpa diduga, orang yang melintas di depan rumahnya menghirup aroma daging. Mereka singgah dan membeli. Ada yang memborong hingga lebih dari 5 kilogram. Dari penjualan itu, ia mendapat Rp 1,8 juta. Utang Rp 800.000 dibayar dan selebihnya menjadi keuntungan. Itulah tonggak awal bisnis sei.
Eksperimen
Dalam budaya masyarakat suku Timor, termasuk Om Ba’i, pengolahan daging semacam itu hanya untuk daging sapi dan rusa. Orang Timor menyebutnya se’ik. Proses pemanggangan berbeda. Untuk se’ik, daging dipanggang sampai benar-benar garing. Sementara Om Ba’i memelopori bisnis panggang daging babi dan memberi nama sei.
Ia memutuskan mengubah pola bisnis dari jualan daging keliling menjadi jualan sei. Ia terus bereksperimen menghasilkan sei terbaik dengan racikan bumbu istimewa. Dagingnya lembut, gurih, dan beroma khas. Penggunaan kayu kesambi untuk bara dan daun kusambi untuk menutupi daging saat proses memanggang menjadi salah satu penentu kelezatan.
Cita rasa daging sei olahan Om Ba’i kemudian tersebar hingga ke Kota Kupang yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Baun. Setiap akhir pekan, warga Kota Kupang pun ramai-ramai ke sana hanya untuk menikmati sei. Bisnis tersebut kemudian mulai dilirik pengusaha kuliner di Kota Kupang.
Awalnya, mereka membeli sei dari Om Ba’i, kemudian menjualnya di Kota Kupang. Melihat prospek bisnis yang bagus, banyak pengusaha lalu mengolahnya sendiri di Kota Kupang. Selama belasan tahun terakhir, muncul puluhan depot pengolahan sei di Kota Kupang yang mempekerjakan hingga ratusan orang.
Kendati demikian, masyarakat Kota Kupang pada umumnya merasa belum makan sei kalau bukan dari racikan Om Ba’i. Tamu dari luar daerah yang ingin menikmati sei akan disarankan ke Kampung Baun. Bagi mereka yang berbelanja sei, Om Ba’i membatasi maksimal 1 kilogram per orang.
”Bisnis boleh bisnis, tapi kita terikat dengan budaya kita orang Timor. Biar sedikit, kita sama-sama rasa. Tidak ada yang merasa punya uang sehingga bisa memborong sebanyak mungkin. Kami tidak perkenankan,” kata Om Ba’i yang gemar makan sirih pinang itu.
Om Ba”i tidak membuka cabang di tempat lain sehingga penikmati sei harus datang ke sana. Setiap akhir pekan terjual hingga ratusan kilogram. Om Ba”i pun merekrut warga setempat untuk membantu usahanya itu, mulai dari memotong hewan hingga menyediakan hidangan. Total ada 28 karyawan.
Kini, pemesanan secara daring terus berdatangan dari kota-kota di Indonesia dan juga luar negeri. Pada 23 Agustus lalu, ia mengirim pesanan ke Singapura. Daging dikemas dalam plastik tanpa ruang udara agar bakteri tak bisa hidup. Daging lebih tahan lama, bisa sampai tiga hari. Jika dalam kulkas bisa berbulan-bulan.
Kebijakan pemerintah
Om Ba’i kini telah terkoneksi dengan laboratorium pemeriksaan makanan di Jakarta, membuatnya semakin mudah untuk mengirim sei ke sejumlah negara. Terlebih lagi, ia sudah mendapat pengakuan dengan menerima merek dagang dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Om Ba’i berharap dukungan pemerintah terhadap peternakan babi di Indonesia terus ditingkatkan. Ia menyadari, peternakan babi bukan menjadi program prioritas secara nasional, tetapi banyak daerah di Indonesia menggantungkan hidup mereka dari peternakan babi. Di NTT, bisnis babi sangat menguntungkan. Untuk mengolah sei, Om Ba’i membeli babi dari peternak lokal.
”Yang menjadi kendala saat ini adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggulangi deman babi afrika yang melanda NTT. Ratusan ribu babi mati dan sekarang peternak menjerit. Saat masyarakat mau coba bangkit, datang badai Seroja awal April lalu. Ini tahun terberat,” katanya.
Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Haris Oematan yang ditemui di tempat pengolahan sei Om Ba’i mengatakan, Om Ba’i merupakan sosok penting di balik tumbuhnya bisnis sei. Sei, teknik pengolahan daging tradisional dari tanah Timor, kini hadir di meja-meja restoran, menyihir lidah kaum urban. Budaya olahan sei pun mendunia.
Lebih dari 20 tahun, Om Ba’i yang tidak tamat sekolah dasar itu terus bereksperimen melahirkan racikan terbaik, dan belum tergantikan. Tidak berlebihan, Haris yang juga putra dari Pulau Timor itu menyebut Om Ba’i sebagai ”profesor” sei dari Timor. Om Ba’i telah bermetamorfosis secara sempurna, mulai dari pedagang daging keliling menjadi inspirator sei.