Demam Se’i di Penjuru Kota
Demam bisnis se’i sapi berbentuk waralaba telah menyebar ke Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Di Jakarta dan sekitarnya, kedai se’i yang lama tetap eksis, sedangkan kedai baru makin banyak.
Seperti angin, se’i menyerbu ke seluruh pelosok Tanah Air tanpa terasa. Kedai-kedai makanan yang berjualan se’i seolah muncul hanya dalam satu kedipan mata. Para penikmatnya terbius dengan eksotisme rasa daging asap khas Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini.
Demam bisnis se’i sapi berbentuk waralaba telah menyebar ke Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Di Jakarta dan sekitarnya, kedai se’i yang lama tetap eksis, sedangkan kedai baru makin banyak. Kehadiran mereka melengkapi fenomena menguatnya bisnis kuliner lokal—termasuk dalam bentuk waralaba—di tengah serbuan waralaba kuliner asing.
Sejak 2018, Tia Tamara menjajal peruntungannya menjual se’i bersama suaminya, Rama Widiyaswara. Mereka membuka kedai Se’i Sapi Narama di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. ”Awalnya coba se’i yang dijual teman. Aku memang pencinta daging. Karnivor,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (24/8/2021).
Setelah mencicipi se’i di tempat makan milik temannya di Bandung, Jawa Barat, Tia tertarik membuka bisnis serupa di Jakarta. Di Narama, ia menjual nasi se’i seharga Rp 30.000 per porsi atau naik menjadi sekitar Rp 35.000 per porsi lewat aplikasi pengantaran. Pilihan lain yang tersedia adalah mi se’i.
Se’i ternyata semakin diminati di Jakarta. Dari hanya 30 porsi per hari, Tia bisa menjual hingga 100 porsi nasi dan mi se’i per hari menjelang triwulan I tahun 2020. Tia bahkan sempat membuka dua kedai lain. Sayang, pagebluk lantas menghantam sehingga ia harus bertahan dengan usahanya di lokasi pertama.
Kepopuleran se’i turut mengundang Retty Raina Filly, warga Ciledug, Kota Tangerang, membeli waralaba Sei Selatan bersama kakaknya, tujuh bulan lalu. Mereka tertarik membeli waralaba itu lantaran mengenal pemilik dan harga jualnya tidak terlalu mahal, di bawah Rp 50 juta.
Selain itu, pembeli waralaba tak harus menyediakan tempat mangkal karena bisa berjualan secara daring. Dari rumah masing-masing, Retty mengelola waralaba di Ciledug, sedangkan kakaknya mengelola waralaba di Ciputat, Tangerang Selatan.
”Aku senang karena nggak harus menambah biaya sewa tempat, malah aku bisa sambil mengerjakan pesanan makanan lain dari katering yang aku dan mamaku buat,” ujar Retty.
Pemasaran Sei Selatan, menurut Retty, berjalan baik walau ia hanya memasarkannya lewat jalur aplikasi daring di Gojek, Shopee, dan Instagram. Selama pandemi, ia bisa tetap menambah pemasukan berkat berjualan se’i.
Kehadiran kedai-kedai itu berhasil menyabet pelanggan yang tak pernah mengenal se’i. Ratih Sonia Setyawati (27), salah satu penyantap se’i di Petukangan, Jakarta Selatan, mulai keranjingan se’i sejak tahun lalu. Ia bisa memesan paket se’i satu sampai dua kali seminggu lewat aplikasi daring. ”Habis enak, sih, dan gampang kenyang,” katanya.
Sebelumnya, Ratih memang pernah mendengar soal se’i. Tetapi, dirinya mengira se’i berasal dari luar negeri, bukan Kupang. Setelah mencicipi se’i, Ratih ternyata menyukai rasa smokey, bumbu, dan tekstur se’i yang lembut. ”Gara-gara se’i, aku akhirnya bisa makan sayur karena bisa dicampur,” ujarnya.
Modifikasi
Menyebarnya se’i dari Kupang ke Jakarta tak pelak membuat makanan ini mengalami proses modifikasi. Di Jawa, se’i sapi lebih populer ketimbang daging lain. Sejumlah adaptasi terjadi dalam proses pembuatan se’i, pemilihan bahan, sekaligus penciptaan rasa agar sesuai selera masyarakat urban. Kemasan yang menarik juga tak lupa digunakan.
Astrid ”Amel” Amalia dan rekannya, Eric Oktorian, pemilik Koka Sikka di Pasar Santa, Jakarta Selatan, mengasapi daging se’i sapi dan ayam sendiri. Kedai yang berdiri sejak 2018 ini akhirnya harus melakukan improvisasi saat tidak menemukan kayu kesambi untuk pengasapan se’i, seperti yang dibuat di Kupang.
”Kami menggunakan kayu apel dan kebetulan rasanya bisa pas. Proses modifikasi ini kami lakukan menyesuaikan dengan bahan baku yang ada supaya bisa dinikmati sesuai selera pasar,” kata Amel, Kamis.
Daging se’i di Koka Sikka melalui proses pengasapan sekitar delapan jam. Amel dan Eric memilih menggunakan daging sapi impor supaya tekstur se’i lebih empuk sehingga bisa diterima lidah pasar urban yang ”manja” untuk mengunyah. Di Kupang, tekstur daging se’i sapi biasanya lebih alot.
Amel menilai, se’i disukai karena memiliki rasa daging asap yang familiar, tetapi dengan bumbu yang lebih kaya dibandingkan daging asap dari negara lain. Pasar sekarang juga cukup teredukasi tentang se’i. ”Kalau menurut saya, masyarakat perkotaaan sebenarnya cukup eksploratif mencoba makanan baru, seperti se’i,” ujarnya.
Adaptasi juga dilakukan Se’i Sapi Dewa yang baru dibuka di Sunter, Jakarta Utara, Februari lalu. Manajer Pemasaran Se’i Sapi Dewa, Ade Bilal, menyebutkan, mereka melakukan berbagai riset dan uji coba untuk menyajikan daging se’i berkualitas sejak akhir tahun lalu.
Daging se’i di restorannya dibuat melalui pengasapan menggunakan kayu rambutan. Pengasapan bisa berlangsung hingga empat hari. ”Jadi, aroma asapnya memang benar-benar terasa,” kata Ade.
Menggunakan konsep makanan untuk dibawa pulang (food-to-go), Se’i Sapi Dewa juga menawarkan kemasan yang menarik, higienis, dan mudah dibawa. Menurut Ade, menu se’i saat ini sudah sangat populer sehingga pemasaran kepada konsumen tidak terlalu sulit.
Kedai-kedai se’i juga melakukan inovasi guna menciptakan paduan rasa baru. Muncul menu baru, seperti tongseng se’i dan mi se’i. Dalam penyajiannya, se’i tidak hanya dipadukan dengan sambal lu’at, tetapi juga dengan bumbu rendang atau sambal matah, rica-rica, tempong, terasi jeruk, dan lombok ijo.
Restoran Nyapii, contohnya, turut menyediakan topping ala internasional, seperti saus mentai, saus korean spicy, dan saus sweet cheese. Sayur pendamping se’i juga bervariasi. Selain sayur rumpu rampe khas NTT, mereka juga menyediakan bayam crispy.
Penggemar se’i di Jakarta Selatan, Hadian (42), menilai, inovasi pada sambal merupakan hal yang bagus. Strategi itu bisa menarik perhatian konsumen yang tidak terlalu suka pedas. ”Saya pribadi lebih suka se’i yang disandingkan dengan sambal-sambal khas Indonesia. Salah satunya sambal lu’at yang dimodifikasi sedikit agar tidak terlalu asam,” ujarnya.
Metode penjualan se’i juga terus berkembang, terutama untuk bertahan di masa pandemi. Selain menjual paket se’i biasa untuk dikonsumsi di tempat dan layanan pesan antar, restoran seperti Seilera juga menyediakan layanan makan di kendaraan. Pelanggan cukup datang, memarkir kendaraan, memesan, dan membayar dari dalam mobil.
Terobosan lain juga dilakukan Seilera dengan menerapkan sistem cloud kitchen atau penyewaan dapur di beberapa lokasi di Jakarta. Sistem ini diimplementasikan untuk menjangkau pelanggan yang masih bekerja dari rumah. Upaya tersebut membuahkan hasil. Seilera dalam waktu dekat bahkan akan membuka cabang baru di Kemang, Jakarta Selatan.
Co-founder Seilera, Andina Rosnandi, menceritakan, dirinya dan suami membuat Seilera sejak 2019. Dapur pusatnya berada di Joglo, Jakarta Barat. ”Kami memang melewati proses uji coba yang lumayan lama, hampir setahun, sampai kemudian restorannya buka,” ujarnya.
Kebangkitan kuliner
Fadly Rahman, pengamat sejarah kuliner Nusantara, melihat proses se’i menjadi populer sampai ke Jakarta berlangsung dalam dua dekade terakhir. Hidangan ini sebelumnya tidak terlalu dikenal, bahkan di kalangan masyarakat NTT sendiri, terutama orang kota di NTT, hingga awal 2000. Akan tetapi, se’i kemudian menyebar dan diterima sebagai makanan lokal oleh masyarakat NTT.
”Seiring perkembangan industri kuliner Indonesia, industri kuliner mencoba membangkitkan identitas kuliner tradisional di kalangan masyarakat etnis. Ini untuk mengimbangi dan bahkan menyaingi ekspansi serta invasi industri kuliner Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam,” ujar Fadly yang adalah dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Keberadaan media sosial dan dukungan pemerintah turut membantu memopulerkan kuliner tradisional semacam se’i. Ditambah lagi, lanjutnya, para pelaku industri kuliner Indonesia pintar melihat peluang bisnis se’i. Fenomena ini terlihat dari sebagian pelaku industri kuliner se’i yang tidak semua berlatar belakang dari etnis di NTT.
Fadly menuturkan, cara pembuatan daging asap seperti dalam proses pembuatan se’i sebenarnya telah dikenal masyarakat dunia sejak zaman purba. Bedanya, se’i diproses dengan cara diiris tipis memanjang terlebih dulu dan diasapi dengan kayu khusus. Di belahan dunia lain, daging asap biasanya diproses secara utuh.
Pembuatan se’i sekarang menggunakan daging babi, sapi, ayam, dan bahkan ikan, seperti yang terjadi saat ini. ”Artinya, se’i sekarang juga disesuaikan selera masing-masing dengan mengganti bahan daging yang disukai konsumen,” ujar Fadly.
Apa pun ceritanya, se’i adalah bagian dari kekayaan kuliner Indonesia yang perlu dirayakan semua orang, kalau bisa di seluruh dunia. (DOE/TRI/BAY)