Masyarakat Adat di Kalteng Rawan Jadi Korban Kriminalisasi
Nasib masyarakat adat di Kalimantan Tengah masih jauh dari pemenuhan haknya. Pada Hari Masyarakat Adat Internasional, ancaman utama dalam perjuangannya adalah kriminalisasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat di Kalimantan Tengah masih rentan menjadi korban kriminalisasi. Perlakuan ini rentan mengganggu perjuangan mereka mewujudkan beragam hak adatnya.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing menyampaikan hal itu di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Senin (9/8/2021). Dia menyerukannya dalam rangka peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 2021.
Sebagian besar konflik tenurial (pengusaan lahan) di Kalteng kerap dibayangi ”hantu” kriminalisasi. Effendi bahkan pernah terjerat di dalam arus itu. Dia pernah ditangkap aparat setelah dituduh sebagai otak pencurian gergaji bersama lima orang lainnya asal Desa Kinipan. Padahal, saat itu, dia tengah melarang perusahaan perkebunan sawit yang mencoba mengonversi hutan adat mereka menjadi perkebunan.
Effendi lantas dibebaskan begitu kasusnya viral di media sosial. Namun, ancaman-ancaman serupa terus muncul, tak hanya pada warga adat, tetapi juga tokoh desa. ”Pada Hari Masyarakat Adat Internasional ini, kami harap mereka tidak lagi dikriminalisasi negara,” katanya
Menurut Effendi, saat ini, pihaknya tengah mengajukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hutan adatnya. Namun, masih ada ancaman berupa upaya kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak adatnya.
Berdasarkan data Walhi Kalteng, pada 2005-2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal. Kinipan hanyalah satu dari sekian banyak konflik yang tak selesai.
Kompas sudah beberapa kali melihat langsung lokasi pembukaan hutan adat di Kinipan. Hutan itu pada tahun 2016 dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dengan luas lebih dari 16.000 hektar. Sementara dari data koalisi, lebih kurang 3.000 hektar sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. (Kompas, Kamis 27/8/2020).
Tak hanya di Kinipan, di Desa Penyang, Kotawaringin Timur, James Watt, Dilik, dan Hermanus ditangkap karena dituduh mencuri di ladang yang sedang bermasalah dengan perusahaan perkebunan sawit tahun 2020. Hermanus bahkan meninggal di penjara. James Watt dan Dilik bebas setelah menjalani lebih kurang 10 bulan penjara.
Hingga kini, pemerintah sudah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kalteng. Melalui skema perhutanan sosial, pemerintah berupaya mengurangi konflik di lokasi hutan.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat di Dinas Kehutanan Kalteng Ikhtisan Ihtisan menjelaskan, terdapat 184 unit izin perhutanan sosial seluas 270.004 hektar. Jumlah itu meliputi beragam skema, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan hutan adat.
Untuk hutan adat, lanjut Ihtisan, belum ada penambahan sejak tahun lalu. Banyak kendala yang dihadapi untuk mengesahkan hutan adat karena berkaitan dengan berbagai kebijakan. ”Di Kabupaten Pulang Pisau seharusnya ada satu lagi hutan adat yang bisa disahkan, tetapi terkendala peraturan daerah yang belum dibuat,” ungkap Ihtisan.
Hutan adat, menurut Ihtisan, sangat sulit disahkan karena harus diakui komunitas adatnya. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan banyak pihak, tidak hanya pemerintah. ”Masih banyak juga masyarakat di dalam maupun di luar kawasan yang belum ngerti soal program ini,” katanya.
Akan tetapi, Ketua Badan Harian Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalteng Ferdi Kurnianto menjelaskan, pemerintah masih belum serius memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Tidak hanya di Kalteng, tetapi jug di seluruh Indonesia. Belum ada kemajuan dalam proses itu.
”Pengakuan ini tidak hanya di mulut, tidak hanya lisan, tetapi juga ada tulisan. Tulisan dalam artian secara administrasi, banyak syarat yang harusnya dipenuhi pemerintah tapi tidak berjalan,” kata Ferdi.
Dari sisi masyarakat adat, lanjut Ferdi, perlu juga penguatan kearifan lokal dalam melaksanakan perjuangan. ”Saat ini mereka lebih suka menggugat tetapi jangan sampai lupa perjuangan yang dilakukan dengan cara-cara kearifan lokal,” ujarnya.