Jalur Darat Disekat, Nelayan Pun Kena Imbasnya
Virus korona baru tidak hanya membuat jalan di darat disekat. Nelayan di lautan pun ikut ruwet di tengah kerumitan mereka menjalani hidup. Ini akan terus terjadi bila sejak awal tidak ada kesadaran mengantisipasinya.
Perjalanan melintasi Laut Jawa, dari Jakarta ke Cirebon, kali ini tidak biasa bagi Hasan Basri (54). Badai memaksa perahunya berhenti di perairan Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (24/4/2021) dini hari.
Puluhan tahun hidup bergantung hasil laut, badai selalu membuatnya bermunajat, memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Ia tak punya pilihan selain berhenti dan menguras air yang menggenangi perahu. Memaksa jalan sama saja menenggelamkan perahu sepanjang 7 meter dengan lebar 2,5 meter itu.
”Saya sampai baca ayat-ayat Al Quran. Mikirin anak-anak nanti hidupnya bagaimana kalau saya tidak selamat,” ucap bapak empat anak ini di Cirebon, Rabu (28/4). Istrinya bekerja di Arab Saudi sejak 20 tahun lalu.
Baca juga: Ironi Bertempur Tanpa Peluru Melawan Covid-19
Hasan bukan pemudik nakal yang nekat pulang kampung saat pemerintah melarang karena pandemi masih terjadi. Ia hanya nelayan gurem Indonesia yang nasibnya terombang-ambing cuaca dan keberadaan ikan yang tidak menentu.
Sejak awal April lalu, warga Mundu, Kabupaten Cirebon, ini pergi melaut ke perairan Cilincing, Jakarta Utara. Bersama anak dan keponakannya ia berburu rajungan. Hasil tangkapan di Cirebon sedang sepi sehingga nelayan berbondong-bondong ke Ibu Kota. Di sana, mimpi mendapat puluhan kilogram rajungan menanti ditangkap setiap hari.
Untuk bekal melaut, bosnya memberi pinjaman Rp 2 juta untuk biaya solar dan perbekalan. Sebagai ganti, Hasan harus menjual hasil tangkapannya kepada si bos sekaligus bayar utang. Soal harga, tengkulak yang menentukan.
Harga tiket bus melonjak dari Rp 60.000 menjadi Rp 300.000 per orang. Artinya, Rp 900.000 untuk tiga orang untuk pulang melaut.
Awalnya memang menjanjikan. Tangkapan di atas 5 kilogram per harinya. Namun, seiring berjalan, hasil tangkapan mulai menipis hingga tidak lebih dari 5 kg per hari.
Sebaliknya, harga rajungan meningkat dari biasanya Rp 30.000 menjadi Rp 45.000 per kg. Namun, jika sedang melimpah tangkapan, harga komoditas ekspor itu bisa anjlok hingga Rp 15.000 per kg.
”Daripada bertahan di Jakarta tangkapan sepi dan susah makan, mending balik ke Cirebon. Nanti balik lagi setelah Lebaran,” ungkapnya. Seperti biasa, nelayan menitipkan perahunya pada orang-orang di pesisir pantai dengan biaya Rp 100.000 tanpa batas waktu.
Awalnya, mereka hendak pulang naik bus. Namun, Hasan kaget karena tiket bus yang biasanya Rp 60.000 per orang melonjak hingga Rp 300.000 per orang. ”Hal itu disebabkan larangan mudik sehingga harus lewat jalan tikus, daripada disekat dan disuruh putar balik,” katanya.
Jika nekat naik bus, ia harus merogoh Rp 900.000 dari kantongnya yang tipis untuk membiayai tiket anak dan keponakannya yang ikut melaut. Angka itu tidak jauh beda dengan biaya perbekalan perahu. Hasan memilih membawa pulang perahunya ke Cirebon dengan waktu tempuh sehari semalam.
Akibatnya, Hasan hanya membawa pulang Rp 1 juta. Setelah dibagi dengan dua anak buah kapal lainnya, ia mendapat Rp 500.000. Kisah Hasan sempat viral di media sosial karena dianggap mudik lewat jalur laut. Ada yang menilai, polisi kecolongan menghadang pemudik di laut.
”Setelah saya viral, polisi patroli di laut tidak seperti biasa. Ada empat kapal,” ucapnya.
Baca juga: Klakson ”Telolet” yang Hilang di Jalur Mudik
Padahal, menurut dia, dirinya dan nelayan lain tidak sedang mudik. Perjalanan seperti ini lazim dilakukan nelayan. Kebetulan saja kali ini terjadi saat masa mudik Lebaran. Selain itu, tidak satu pun orang darat (bukan nelayan) yang ikut ke perahu. Kepulangan secara bersama-sama, sekitar 20 perahu, juga sudah biasa dilakukan untuk mengantisipasi kecelakaan laut.
Hasan khawatir, aparat bakal melarang nelayan melaut ke luar kota karena larangan mudik pada 6-17 Mei. Padahal, mereka hanya mengikuti lokasi panen rajungan. Lagi pula, selama melaut, nelayan lebih banyak tidur, makan, dan kerja di laut. Mereka ke darat hanya membeli bahan bakar dan menjual hasil tangkapan.
”Saya takut enggak bisa ke laut karena disekat,” ucapnya.
Ketakutan itu beralasan. Hasan sendirian membanting tulang menyelesaikan pendidikan dua anaknya yang masih SMA. Kiriman uang dari istrinya yang bekerja di Arab Saudi tidak lancar lagi.
Istri sudah 20 tahun di Arab. Kalau mengandalkan saya yang nelayan, ya, cuma buat makan sehari-hari. Nelayan itu enggak ada enaknya, banyak utangnya. (Hasan Basri)
”Istri sudah 20 tahun di Arab. Kalau mengandalkan saya yang nelayan, ya, cuma buat makan sehari-hari. Nelayan itu enggak ada enaknya, banyak utangnya,” ujarnya. Hasan juga mengeluhkan tidak merasakan Program Keluarga Harapan karena syaratnya harus ada tanda tangan istrinya. Padahal, istrinya tak di sini.
Danu (35), nelayan lainnya, meyakinkan warga tidak akan nekat mudik dengan perahu nelayan. Risiko melaut tidak pernah ringan. Bila sekadar untuk pulang kampung dan bukan mencari ikan, nelayan lebih memilih menggunakan perjalanan darat.
”Dibayar Rp 200.000 per orang juga saya enggak mau. Risikonya besar,” ungkap anak buah kapal yang mengaku berpenghasilan Rp 50.000 per hari ini.
Dibandingkan menyekat perahu nelayan, Danu meminta pemerintah daerah menyediakan jaring pengaman sosial bagi nelayan di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, nelayan tidak setiap bulan mencari rajungan karena ada masa paceklik.
Terkait itu, Kepala Polres Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi tidak melarang nelayan mencari ikan ke luar kota. ”Tetapi, kalau sudah pulang harus tes swab. Ini untuk mencegah Covid-19. Kami juga sudah memantau tempat-tempat nelayan datang dari laut,” katanya.
Di Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Tegal, Jawa Tengah, ribuan nelayan yang pulang dari melaut juga mulai menjalani tes usap antigen pada Selasa (4/5/2021). Personel TNI/Polri langsung mengarahkan nelayan sejak turun dari kapal ke meja pendaftaran tes.
”Hal pertama yang saya tanyakan, (tes) itu gratis apa enggak? Soalnya saya belum (dapat) bayaran,” kata Mikun (42), nelayan. Pemberian upah anak buah kapal dilakukan setelah hasil tangkapan terjual. Mikun dan 23 nelayan lainnya baru kembali dari berlayar di Perairan Kalimantan.
Warga Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal itu biasanya membawa pulang Rp 9 juta setelah tiga bulan berada di laut. Uang itu tidak hanya memenuhi kebutuhan harian jelang Lebaran, tetapi juga ditabung untuk persiapan melaut lagi. Tes gratis sangat melegakan.
Baca juga: Puluhan Travel Gelap Ditahan di Tegal dan Brebes
Mengetahui tes itu gratis, Mikun bergegas mendatangi meja pendaftaran. Sejumlah nelayan sudah mengantre untuk didata. Setelah menunggu sekitar 5 menit, tiba giliran Mikun. Matanya tertutup rapat ketika hidungnya dicolok alat tes. Ia lalu diminta beristirahat di sekitar lokasi tes.
”Waktu menunggu (hasilnya) lumayan deg-degan. Alhamdulillah (hasilnya) negatif (Covid-19). Saya jadi lebih tenang mau pulang bertemu keluarga di rumah,” ucapnya.
Kelegaan serupa dirasakan Agus (21), nelayan lainnya. Awalnya, ia sempat takut menjalani tes antigen untuk pertama kali. ”Kata orang-orang, sih, sakit. Jadi, tadi agak panik. Untung saja hasilnya negatif. Ribet sedikit tidak masalah, yang penting lega setelah tahu hasilnya,” ujarnya.
Jelang Lebaran, sekitar 400 kapal berbagai ukuran diperkirakan akan bersandar di sejumlah pelabuhan di Kota Tegal. Kapal-kapal itu mengangkut sekitar 8.000 nelayan. Aparat Polres Tegal Kota dan Dinas Kesehatan Kota Tegal berencana melakukan tes antigen kepada seluruh nelayan yang tiba di wilayahnya. Hingga Selasa, sekitar 200 nelayan telah dites dan hasilnya negatif Covid-19.
Kepala Polres Tegal Kota Ajun Komisaris Besar Rita Wulandari Wibowo mengatakan, deteksi dini terhadap penyebaran Covid-19 dengan tes dilakukan sebagai tindak lanjut dari penyekatan mudik. ”Karena para nelayan ini jalurnya laut dan tidak ada penyekatan di laut, maka yang bisa kami lakukan adalah adalah memeriksa mereka,” katanya.
Menurut Rita, seluruh nelayan yang tiba di Tegal akan diperlakukan seperti para pemudik, yakni dites usap antigen. Jika hasilnya positif, mereka akan diminta menjalani tes usap dengan metode PCR. Sembari menunggu hasilnya, mereka diwajibkan menjalani isolasi mandiri.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal Riswanto menyambut baik kegiatan itu. Menurut dia, penapisan terhadap nelayan tetap perlu dilakukan kendati dalam aktivitasnya, para nelayan tidak berinteraksi langsung dengan orang-orang di daratan. ”Tes ini untuk memastikan bahwa mereka aman (dari Covid-19),” tuturnya.
Entah sampai kapan kerumitan menjalani aktivitas di darat dan laut ini. Selama penyebaran Covid-19 belum terkendali, selama itu pula adaptasi baru terus berjalan, termasuk yang dialami Hasan dan para nelayan yang setiap saat bertarung dengan risiko maut saat melaut.
Baca juga: Dalam Waktu Satu Jam, Polres Tegal Ciduk 10 Travel Gelap